Mongabay.co.id

Moratorium Izin Hotel Dicabut, Berbagai Masalah Ancam Jogja

Jogja Istimewa Hotelnya dan Jogja Asat, merupakan hasil karya seniman di Jogja mengkritisi marak pembangunan hotel di Jogja. Foto: Anti Tank

 

 

Rabu, (9/1/19) pagi, Dodok Putra Bangsa, mewaliki Warga Berdaya Yogyakarta, aksi tunggal, ritual mengusir aura jahat dan negatif di sisi utara Balaikota Yogyakarta. Aksi ini buntut kekecewaan atas kebijakan Wali Kota Yogyakarta, yang mencabut setop sementara (moratorium) izin hotel, sejak 1 Januari 2019.

“Ini untuk menghilangkan aura jahat dan negatif yang melekat pada pengayom masyarakat di balaikota ini,” katanya, kepada Mongabay.

Baca juga: Pembangunan Apartemen dan Hotel Marak Ancam Sumber Air dan Keistimewaan Jogja

Dodok berkaos hitam dan jeans biru selutut. Dia berjalan menuju tembok bertuliskan Kantor Wali Kota Yogyakarta.

“Walihotel Yogyakarta.” Begitu gulungan kertas putih bertinta hitam di tembok. Lalu dia ambil kardus dan sebilah bambu menutupi bagian perut dan pinggang. Air kencing dia semburkan ke tulisan Walihotel itu.

Sebungkus garam kasar dia tabur dan lempar di area tembok. Pada akhir ritual, dia berdoa di depan tulisan itu.

“Moratorium mulai 2014 sampai 31 Desember 2018. Kalau niat baik, Pak Wali akan memperpanjang moratorium hingga 2022,” katanya, juga aktivis Jogja Ora Didol.

Menurut dia, tak ada evaluasi moratorium dari 2014-2018 dari pemerintah kota. Masyarakat Jogja, katanya, berhak mengetahui apa saja dampak dan dirasakan hingga kini.

“Air tanah akan menyusut meski pemerintah mengharuskan seluruh hotel gunakan air PDAM, bukan dari sumur dalam lagi,” kata Dodok.

Dia mencontohkan, pada 2014, Kampung Miliran, kering karena Fave Hotel pakai air tanah. Walikota Hariyadi bilang, seluruh hotel tak boleh pakai air tanah tetapi pakai PDAM.

“Ini pembodohan, karena PDAM sendiri pakai air tanah.”

Di Jakarta, katanya, PDAM pakai air kali, di Jogja, PDAM tidak mengelola sungai besar, seperti Gajahwong, Code, dan Winongo untuk sumber air hotel.

“Hotel merampas oksigen. Ratusan kamar dibuat tetapi hotel tak mengimbangi dengan aksi tanam pohon. Rumus satu pohon menyediakan oksigen untuk dua orang,” kata Dodok.

Aksi Dodok bukan pertama kali. Pada Februari 2016, warga Miliran ritual mandi air kembang tujuh rupa dari tujuh sumur di depan Kompleks Balaikota Yogyakarta. Pada Mei 2018, juga lakukan ruwatan untuk bumi Yogyakarta, dengan menarikan Bedhaya Banyu neng Segara oleh para penari dari Pendapa SangArt.

Baca juga: Pembangunan Hotel dan Mal di Yogyakarta Merusak Lingkungan, Mengapa?

Dodok mengatakan, daya dukung lingkungan Kota Jogja, sudah terbebani dengan pembangunan 88 hotel baru sejak 2014, dan pembangunan sejumlah apartemen sejak 2016.

Yogyakarta, katanya, sudah alami polusi udara, kemacetan, kriminalitas dan kelangkaan air makin tinggi dari tahun ke tahun. Dengan izin hotel bintang empat dan lima, katanya, akan makin memperparah Yogyakarta dan sekitar.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 85/2018 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Heroe Poerwadi, Wakil Wali Kota Yogyakarta mengatakan, dengan aturan itu, izin pembangunan hotel buka kembali terbatas hotel bintang empat, hotel bintang lima, serta guest house (home stay).

Saat ini, katanya, hotel maupun penginapan di Kota Yogyakarta yang terdata ada 624, terdiri dari bintang lima (4), bintang empat (14), bintang tiga (30), bintang dua (19), bintang satu (19), Melati tiga (29hotel, Melati dua (43), Melati tiga (314), dan losmen 152.

Halik Sandera, Direktur Walhi Yogyakarta mengatakan, kebijakan Pemerintah Yogyakarta ini memperlihatkan masih berpihak kepada investor ketimbang aspek lingkungan.

Dengan hotel masif, katanya, terjadi penurunan muka air tanah, akan muncul masalah baru terkait persaingan distribusi air dari PDAM antara ke hotel dan warga.

Belum lagi, katanya, tak pernah ada evaluasi kebijakan pembangunan hotel di Jogja, baik dampak terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan.

“Seharusnya kajian dan evaluasi jadi dasar kebijakan moratorium dicabut atau tidak. Faktanya, moratorium dicabut karena peluang investasi besar bagi hotel bintang empat dan lima.

Dia mengingatkan, penting bagi Pemerintah Yogyakarta audit lingkungan terhadap izin-izin pembangunan skala besar pasca lima tahun moratorium. Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan, juga penting sebagai dasar pembangunan.

Data Amrta Institute, tarif pajak air tanah di Yogyakarta Rp2.000 per meter kubik. Tarif air PDAM untuk bangunan komersial, termasuk hotel Rp16.500 per meter kubik.

Sebagian besar hotel dan apartemen, katanya, tak gunakan air PDAM karena biaya cukup tinggi. Dia contohkan, hotel 400 kamar perlu dana Rp2 miliar per bulan. Untuk bikin sumur dalam, hanya perlu biaya Rp500 juta. “Selain murah, mencuri air tanah juga sangat mudah,” kata Nila Ardiani, Direktur Amrta Institute.

 

Aksi Dodok Putra Bangsa ritual di depan kantor Walikota Jogja mengusir aura negatif. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Audit dan evaluasi

Eko Teguh Paripurno, Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, mengatakan, seharusnya Pemkot Jogja lakukan evaluasi air tanah terlebih dahulu lalu diimbangi kebijakan pemanenan air yang diikuti perencanaan dan penanaman air.

“Harga air bukan hanya eksploitasi dan distribusi, juga pemuliaan air. PDAM harus ikut bertanggungjawab pada konservasi air tanah pada reservoar yang diambil,” katanya.

Pemetaan akifer detil, katanya, perlu dilakukan agar tak salah tempat pemuliaan air. “Jangan sampai pembangunan perangkat pemanenan air hujan pada posisi salah hingga tak mengisi akifer yang diambil.”

“Jika pilihannya hotel berbintang, maka ancaman bagi masyarakat yaitu akses air hilang karena hilang atau rusak,” kata Eko.

Masyarakat sekitar hotel, katanya, berpotensi kehilangan akses dan kontrol hak atas air karena kualitas dan jumlah. Begitu juga pengelolaan limbah hotel seperti air, sampah, dan tinja.

Masalahnya, kata Eko, permukaan air tanah di Yogyakarta dan Sleman, terus menurun hingga 20-35 cm setiap tahun. Kondisi ini menyebabkan, warga mengalami kesulitan mengakses air tanah.

Pemerintah daerah, katanya, perlu memperbaiki tata kelola air tanah, antara lain dengan meningkatkan daerah imbuhan air. Dengan meningkatkan daerah resapan yang mampu menambah air tanah secara alamiah, diharapkan mampu mengatasi krisis air.

“Pastikan imbuhan air seimbang dengan air yang diambil hingga tak akan ada kelompok masyarakat dirugikan.”

Dalam konteks bencana, katanya, tak membangun hotel dan apartemen adalah pencegahan paling sempurna. Dalam konteks konservasi, harus dapat dipastikan kalau lahan hotel bukan konservasi, cagar budaya atau sepadan sungai.

Pemerintah, katanya, harus menata ulang tata ruang hotel, apartemen dan mal di lokasi bukan padat penduduk. Dengan begitu, meminimalisir perebutan akses, ruang, air dan udara.

Pemerintah perlu memastikan data-data berhubungan dengan jumlah air, sistem sanitasi, kualitas udara, serta kajian kualitas lingkungan.

“Pemerintah Jogja harus bisa membuat zonasi hotel dalam tata ruang perkotaan, dengan batasan jumlah yang dibangun, dan sesuai nilai dan kebudayaan masyarakat,” katanya.

Setyawan Purnama, peneliti Univesitas Gajah Mada juga pakar hidrologi, mengatakan, sekitar 50% Kota Yogyakarta dan Sleman, terancam krisis air. Laju penurunan permukaan air tanah di kedua daerah itu terus meningkat setiap tahun karena tingginya kebutuhan, sedang masukan air ke tanah makin menurun.

“Kebutuhan air di Yogyakarta dan Sleman, tinggi karena penduduk bertambah dan tingkat ekonomi naik hingga memiliki kecenderungan penggunaan air tinggi.”

Berdasarkan data Dinas pekerjaan Umum, Energi dan Sumberdaya Mineral Yogyakarta, 2011, penurunan muka air tanah di Yogyakarta mencapai 30 centimeter per tahun. Di Sleman, penurunan antara 15-30 centimeter tiap tahun.

Penurunan air tanah itu terjadi 28 titik di cekungan air tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Beberapa seperti di Kecamatan Mlati, Ngemplak, Godean, Moyudan, Umbulharjo, Kotagede, dan Kecamatan Mergangsan.

“Kalau per tahun air tanah turun sampai 30 centimeter, dalam 10 tahun bisa turun hingga tiga meter,” kata Setyawan juga pengajar Geografi Lingkungan.

Bila masukan air tak lebih banyak dari penggunaan, katanya, khawatir terjadi krisis air di masyarakat.

Data Direktorat Tata Lingkungan, Geologi, dan Kawasan Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral 2011 menunjukkan, potensi atau ketersediaan air tanah dangkal di Yogyakarta-Sleman, mencapai 604 juta meter kubik per tahun.

Untuk tanah dalam 9 juta meter kubik per tahun. Data Sensus Penduduk, BPS Yogyakarta 2010, penduduk Sleman 1.093.110 jiwa dan Kota Yogyakarta 388.637 jiwa.

“Kebutuhan masyarakat di perkotaan mencapai 130 liter per hari. Apabila tak diimbangi masukan air seimbang khawatir terjadi kerawanan air meluas di Kota Yogyakarta dan Sleman, belum lagi laju pertambahan penduduk tiap tahun.”

Menurut dia, penurunan air tanah juga terjadi karena daerah resapan berkurang karena marak konversi lahan.

Lahan-lahan terbuka, katanya, makin sulit karena berubah fungsi jadi perumahan dan bangunan komersial seperti mal, hotel, dan apartemen.

Dia menyarankan, pemerintah menahan laju konversi lahan terbuka, terutama di daerah resapan air, yaitu Sleman. Masyarakat, katanya, bisa berkontribusi mencegah penurunan air tanah melalui gerakan hemat air dan memanfaatkan atau menampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 

 

Keterangan foto utama:    Jogja Istimewa Hotelnya dan Jogja Asat, merupakan hasil karya seniman di Jogja mengkritisi marak pembangunan hotel di Jogja. Foto: Anti Tank

 

Pembangunan Apartemen Uttara di Jalan Kaliurang Kilometer 5,5, Sleman, Yogyakarta. Foto: Tommy Apriando

 

 

Exit mobile version