- Banjir besar dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan sejak hujan berintensitas tinggi melanda wilayah tersebut sejak Selasa (22/1/2019) hingga Kamis (24/1/2019).
- Banjir berketinggian 1,5 – 2 meter ini meliputi 78 desa dari 52 kecamatan di 10 kawasan kabupaten/kota di Sulsel. Dengan korban 30 orang meninggal, 47 orang luka-luka, dan 3.321 warga diungsikan.
- Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah mengatakan penyebab banjir akibat pendangkalan parah dari dam Sungai Bili-Bili dan kondisi DAS Jeneberang yang super kritis akibat terjadinya eksploitasi sumber daya hutan di hulu
- Walhi Sulsel menilai bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi saat ini merupakan potret buruk pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang di Sulsel.
***
Banjir besar dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Selatan sejak hujan berintensitas tinggi melanda wilayah tersebut sejak Selasa (22/1/2019) hingga Kamis (24/1/2019).
Berdasarkan informasi terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah terdampak bencana alam banjir ini meliputi 78 desa dari 52 kecamatan di 10 kawasan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. Wilayah itu adalah Makassar, Gowa, Maros, Barru, Wajo, Sidrap, Bantaeng, Pangkep, Jeneponto, dan Sopeng. Ketinggian air beragam mulai dari 1,5 meter hingga 2 meter dan mengakibatnya terputusnya akses jalan, termasuk jalur Trans-Sulawesi.
Sementara itu, longsor terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Gowa, yakni Kecamatan Tinggimoncong, Bontomarannu, dan Manuju. Salah satu wilayah yang paling parah terdampak longsor adalah Dusun Pattiro, Desa Pattakilang, Kecamatan Manuju, di mana sebanyak 23 orang dinyatakan hilang pasca-kejadian tanah longsor ini dan 6 orang dinyatakan tewas.
Dari data terakhir BNPB, Kamis (24/1/2019) menyatakan bahwa jumlah korban meninggal diketahui 30 orang, 47 orang luka-luka, dan 3.321 warga diungsikan. Selain itu, terdapat 76 rumah dinyatakan rusak, sebagian bahkan hanyut terbawa aliran air, 2.694 rumah terendam, 9 jembatan, 2 pasar, dan 13 sekolah rusak. Korban jiwa paling banyak terdapat di wilayah Kabupaten Gowa, sebanyak 16 jiwa.
baca : Tata Kota Buruk, Banjir Rendam Makassar

Menurut Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah, penyebab banjir akibat pendangkalan dam Sungai Bili-Bili yang sudah serius untuk ditangani.
“DAS Jeneberang itu sudah masuk kategori DAS yang super kritis akibat terjadinya eksploitasi sumber daya hutan di hulu seperti perladangan berpindah, dan sebagainya,” katanya kepada media, Rabu (23/1/2019).
Selain itu, banjir juga disebabkan dibukanya dua bendungan, yakni Bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa dan Bendungan Lekopaccing di Kabupaten Maros, akibat intensitas hujan tinggi.
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya penanganan, termasuk menurunkan tim penyelamat ke lokasi-lokasi yang terdampak parah, membangun posko pengungsian dan menyalurkan bantuan makanan dan pakaian, termasuk melalui helikopter, di daerah-daerah yang sulit dijangkau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah menetapkan Sulawesi Selatan sebagai salah satu wilayah yang akan diterjang cuaca ekstrem. Selain hujan lebat, angin kencang juga bisa mencapai 25 knot, yang diperkirakan berlangsung hingga akhir Januari 2019mendatang.
baca juga : Beginilah Kondisi Drainase dan Pesisir Makassar

Momentum Pulihkan Lingkungan
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin, bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi saat ini merupakan potret buruk pengelolaan sumber daya alam dan tata ruang di Sulsel.
“Ribuan warga menjadi korban dalam bencana ekologis ini, bahkan menjadi bencana ekologi terparah di Sulsel, di mana menerjang mulai dari Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Jeneponto, Barru, Wajo, Maros, Sidrap, dan Pangkep,” katanya.
Meski pemicu bencana ini awalnya adalah faktor hidrometeorologi, di mana terjadi hujan dengan intensitas tinggi dan angin kencang,namun jika kondisi lingkungan baik-baik saja dan pemanfaatan ruang di atur dengan benar dan ditaati oleh semua pihak, maka tidak akan terjadi bencana separah saat ini.
“Kami mengapresiasi sikap cepat Gubernur dengan meninjau langsung kondisi DAS Jeneberang yang telah kami tegaskan mengalami degradasi yang sangat drastis,” ungkap Amin.
baca juga : Muram, Potret Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel tahun 2018

Menurut catatan WALHI Sulsel hingga kini masih ada enam aktivitas tambang yang beroperasi sepanjang aliran sungai Jeneberang. Aktivitas ini dinilai membuat laju sedimentasi meningkat cepat sehingga membuat pendangkalan pada sungai.
“Pemerintah dan penegak hukum sepertinya terus membiarkan aktivitas tambang tersebut, yang hingga kini kami duga tak berizin,” ujarnya.
baca juga : Nurdin Abdullah: Sawit dan Tambang Bukan untuk Sulawesi Selatan
Amin berharap, bencana ini akan menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk pemulihan lingkungan hidup, khususnya dalam hal menilai kembali dan menindak semua kegiatan ekstraktif mulai dari hulu-hilir, terlebih lagi yang tidak memiliki dokumen lingkungan. Karena aktivitas itulah yang paling berkontribusi terhadap bencana ekologis ini.
“Bukan hanya itu, kegiatan di pesisir terutama reklamasi juga penting untuk di-review. Karena bagaimanapun juga pesisir merupakan tempat akhir air mengalir sehingga tidak boleh ada kegiatan reklamasi yang dapat menghambat aliran air ke laut. Pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas untuk keselamatan banyak orang,” tambahnya.
Amin juga berharap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota melakukan revisi peraturan terkait pemanfaatan ruang (Rencana Tata Ruang Tata Wilayah/RTRW, Rencana Detail Tata Ruang/RDTR, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan/RTBL).
“Pengaturan tata ruang dan wilayah harus diintegrasikan dengan peta rawan bencana milik BPBD. Ini sangat penting sebagai acuan dalam pengaturan pemanfaatan ruang, perizinan, dan tentu memiliki peran besar dalam meminimalkan risiko bencana,” katanya.
Hal penting lainnya, menurut Amin, adalah keterbukaan informasi publik. Saat ini, peta-peta terkait daerah rawan bencana terbaru, peta perda RTRW, RDTR, RBTL, dan peta lokasi izin usaha baik pertambangan maupun pemanfaatan hutan, sangat sulit diperoleh.
“Padahal, jika informasi seperti ini dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat lewat website pemerintah, maka semua pihak dapat melakukan pengawasan sehingga apabila ada kejanggalan di lapangan dapat dilaporkan.”
Keberadaan informasi ini dinilai akan membantu semua pihak dalam mewujudkan lingkungan yang baik dan tentu dapat meminimalkan risiko bencana agar bencana ekologis yang terjadi saat ini tidak terulang kembali di kemudian hari.
Aktivis lingkungan, Asmar Exwar, turut menyatakan keprihatinannya atas banjir dan tanah longsor ini. “Kita sangat prihatin dengan kondisi ini, kita juga berduka atas warga yang telah menjadi korban bencana baik banjir genangan, rob, banjir bandang dan tanah longsor,” katanya.
perlu dibaca : Mendorong Pembangunan Berbasis Ekologi dalam RPJMD Sulsel, Seperti Apa?

Menurutnya, dilihat dari besaran wilayah yang terpapar bencana, Gowa dan Jeneponto bisa dikatakan cukup meluas.
“Banjir di Kabupaten Gowa sangat di pengaruhi oleh intensitas hujan dan debit air sungai Jeneberang, serta kondisi land use pada daerah tangkapan air hingga hilir sungai. Kondisi DAS yang mengalami degradasi lingkungan,” katanya.
Dari situasi ini, dalam konteks pengurangan risiko bencana, Asmar berharap pemerintah provinsi dan kab/kota sudah harus mulai melakukan pengkajian ulang terkait wilayah rawan bencana dan kondisi rentan yang mempengaruhi tingkat risiko bencana, khususnya pada ancaman bencana banjir dan tanah longsor.
“Perlu segera pengkajian tata ruang wilayah serta melakukan mitigasi bencana dan pemulihan lingkungan. Karakteristik risiko bencana bisa saja berbeda per wilayah kab/kota, tergantung kondisi existing DAS, pemukiman, industri, daerah budidaya dan lainnya,” jelasnya.
Selain itu, kegiatan maupun rencana aktivitas pembangunan yang berpotensi menimbulkan risiko bagi lingkungan dan meningkatkan potensi bencana harus dihentikan.
“Pemerintah provinsi dan kab/kota harus mengalokasikan sumber daya mereka untuk mengatasi persoalan lingkungan agar dapat menjamin keselamatan warga dari ancaman bencana.”
baca juga : Lima Rekomendasi untuk Pembangunan Pesisir dan Laut di RPJMD Sulsel

Rekomendasi Pemulihan Lingkungan
Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku, pada pertemuan di Coffe Galang Café dan Resto Makassar, Jumat (25/1/2019) memberikan sejumlah rekomendasi arahan pengendalian banjir pada DAS Jeneberang, Tallo dan Maros berbasis jasa lingkungan, sebagai respons atas bencana banjir dan longsor ini.
Rekomendasi ini antara lain perlunya rekayasa vegetative dalam mengendalikan banjir yaitu melalui pemanfaatan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air melalui upaya rehabilitasi hutan dan lahan, penghijauan, RTH, dan lainnya.
Selain itu, diperlukan juga rekayasa teknis dalam pengendalian banjir di antaranya dengan penanaman berdasarkan kontur, sistem pertanaman Lorong, penggunaan mulsa, pembangunan DAM pengendali, beronjong, sabo, embung dan bangunan rekayasa teknis pengendali banjir lainnya.
Pertemuan ini juga merekomendasikan perlunya pengimplementasikan konsep perencanaan kota dalam pengelolaan aliran sungai yang diintegrasikan dengan masterplan drainase.