Mongabay.co.id

Nasib Petani, Belum Menjadi Prioritas di Negara Agraris

 

 

Bagaimana kondisi pertanian Indonesia saat ini? Sebagai negara agraris, apakah kebijakan pemerintah telah berpihak pada petani yang merupakan pahlawan pangan bangsa?

Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor [IPB] Dwi Andreas Santosa menuturkan, arah kebijakan pemerintah masih jauh dari cita-cita swasembada lima komoditas: beras, jagung, kedelai, gula dan daging. Keran impor pangan terus dibuka.

“Program pemerintah relatif sama, tidak ada perubahan berarti dalam 20 tahun terakhir,” katanya.

Program yang dimaksud adalah pola pemerintah mencapai swasembada. Orientasi terpaku pada peningkatan kuantitas produksi. Abai terhadap petani yang sesungguhnya ujung tombak peningkatan pangan itu sendiri.

Baca: Menanti Nasib Baik Berpihak Pada Petani, Mungkinkah?

 

Nasib petani di Indonesia yang sejauh ini belum mendapat perharian penuh dari pemerintah. Kebijakan masih terfokus pada jumlah komoditas, bukan kesejahteraan untuk pahlawan pangan bangsa ini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Petani, sesungguhnya, harus menjadi tokoh sentral dalam upaya mempertahankan lahan pangan. Sebab, petani masih memegang mayoritas kepemilikan lahan sawah. Sehingga kesejahteraan petani, kata Andreas, menjadi kunci mempertahankan luas lahan pangan. Jika tidak terjamin, sawah bakal beralih fungsi. Ketahanan pangan tidak lagi jadi prioritas.

Untuk itu, insentif bagi petani melalui kebijakan fiskal dan non-fiskal mesti diprioritaskan. “Jika sejahtera dengan lahannya, petani cenderung mempertahankan. Sebaliknya, jika tak terjamin, petani akan mencari nilai ekonomi lebih baik,” terang Andreas yang juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia [AB2TI], baru-baru ini.

Baca: Begini Asa Petani Kertajati di Negara Agraris Ini

 

Petani membajak sawah di Desa Pasawahan, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, belum lama ini. Akibat pembangunan kawasan industri, keberadaan sawah mengalami penyusutan di beberapa daerah di Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Pertanian, akhir 2018, membuat keputusan pengecekan ulang luas sawah dalam rapat koordinasi nasional di Jakarta. Peninjauan kini terkait data penyusutan 645.855 hektar luas baku sawah yang disampaikan pemerintah usai rapat terbatas yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Mengutip data Sensus Pertanian Badan Pusat Statistik [BPS], sebanyak 503.000 hektar sawah petani di Pulau Jawa telah beralih kepemilikan, sepanjang 2003-2013. Kondisi ini menyebabkan sawah berubah menjadi kawasan komersil, perumahan, atau proyek infrastruktur pemerintah.

Sebelumnya, pemerintah juga menyusun Peraturan Presiden tentang lahan sawah abadi. Satu poin yang dikaji adalah insentif petani. Tujuannya, mengimbangi laju alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Selain itu, mengantisipasi perkembangan penduduk dan kebutuhan pangan masa mendatang.

Meski demikian, pemerintah kerap membuat keputusan impor ketika terjadi gejolak harga. Untuk meredam persoalan pangan solusinya hanya impor. “Artinya, pemerintah tidak peduli nasib petani,” ujar Andreas.

Mardha Tillah, Direktur Eksekutif Rimbawan Muda Indonesia [RMI] menilai, selama ini fokus pembangunan pertanian belum menyentuh petani. “Kedaulatan pangan tercapai bila petani berdaulat. Artinya, hak akses lahan bukan sekadar legalitas, mesti merestribusi lahan ke petani kecil melalui agenda reforma agraria dengan tujuan keadilan,” katanya.

Baca: Kedaulatan Pangan, Misi yang Belum Menyentuh Harkat Petani

 

Petani memegang penuh kepemilikan lahan sawah. Kesejahteraan petani, menjadi kunci mempertahankan luas lahan pangan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Lumbung yang hilang

Andreas menyebut, luas lahan pertanian di Indonesia cuma 568 meter persegi per kapita. Kondisi ini lebih rendah dibanding Vietnam [1.000 meter persegi per kapita], Thailand [5.000 meter persegi per kapita], dan Australia [26.000 meter persegi per kapita].

“Ditengah konversi lahan pertanian yang terus menurun, ditambah regenerasi keluarga tani mengalami kemorosotan, semua ini perlu perhatian untuk mempertahankan sektor pertanian,” imbuh dia.

Baca juga: Meringis di Negeri Agraris

 

Dwi Andreas Santosa menunjukkan koleksi bank benih padi. Dari 10 ribu varietas padi di Indonesia, saat ini hanya tersisa 125 varietas. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Di Jawa Barat misalnya, berdasarkan informasi dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015, luas lahan pertanian provinsi ini pada 2014 sekitar 924.307 hektar. Luasnya berkurang dibanding dua tahun sebelumnya yang mencapai 925.042 hektar. Pemprov Jabar meminta petani untuk mempertahankan lahan pertanian yang ada. Sementara, sejumlah pembangunan infrastruktur strategis nasional tengah digarap.

Di antaranya adalah Bandara Internasional Jabar di Kertajati, Kabupaten Majalengka, dan Pelabuhan Patimban di Kabupaten Subang. Proyek-proyek ini diyakini dapat menggenjot perkembangan industri nasional. Di satu sisi, kekhawatiran tergusurnya lahan pertanian selalu ada.

Sejumlah proyek properti juga tengah berjalan di kawasan lumbung padi Jawa Barat. Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Karawang merupakan lumbung padi nasional dengan produksi padi 12.5 juta ton pada 2017. Meskipun, jumlah itu tidak menepatkan Jawa Barat sebagai lumbung padi terbesar lagi.

Rasta (63), petani di Gedebage, Kota Bandung, harus rela menjual sawahnya seluas 30 bata atau 300 meter persegi untuk dijadikan kawasan perumahan. “Tidak ada pilihan lagi karena banyak orang yang sudah menjual. Terpaksa saya ikut,” ucap dia yang kini menjadi buruh tani.

Dari data yang dihimpun, Lembaga Global Harvest Initiative memprediksi, kebutuhan pangan dunia pada 2050, meningkat dua kali lipat dari saat ini seiring meningkatnya jumlah penduduk. Tidak hanya menggenjot hasil pertanian tetapi juga mencari sumber-sumber lahan subur. Semua persoalan ini bersandar pada pemerintah dan negara dunia menempatkan petani dan pertanian sebagai prioritas utama.

 

 

Exit mobile version