Mongabay.co.id

Bandara Yogyakarta Baru di Wilayah Rawan Bencana, Bagaimana Upaya Mitigasi? (Bagian 2)

Foto: Tommy Apriando

 

 

 

 

Ada potensi tsunami dengan tinggi gelombang 10-15 meter di bibir pantai yang berjarak 300 meter dari area landas pacu New Yogyakarta International Airport (NYIA), terutama jika terjadi gempa megathrust dengan magnitude 8,5-9 SR. Begitu penelitian Widjo Kongko, selaku perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) soal potensi gempa bumi dan tsunami di laut selatan dekat NYIA.

Untuk itu, perlu ada kepastian pembangunan infrastruktur penghalang tsunami untuk mengantisipasi potensi tsunami dengan ketinggian 10 hingga 15 meter di bibir Pantai Kulon Progo.

Baca juga: Potensi Tsunami Besar di Laut Selatan Jawa, Widjo: Siapkan Mitigasi (Bagian 1)

Rahman Hidayat, Asisten Deputi Bidang Infrastruktur Pelayaran, Perikanan dan Kepariwisataan Kementerian Bidang Maritim, mengatakan, pemerintah telah menyusun masterplan pengurangan risiko bencana tsunami. Bahkan pada 2012 hingga 2017, sudah ada diskusi kelompok terfokus terkait bandara NYIA. Para pakar tsunami telah mengingatkan ancaman potensi tsunami, tetapi kesadaran mitigasi gempa dan tsunami minim. Rencananya, NYIA beroperasi April tahun ini.

“Anggaran khusus untuk mitigasi bencana ini tak ada, adanya alokasi dana rekontruksi dan rehabilitasi pasca bencana,” katanya di Yogyakarta, seraya bilang, anggaran mitigasi bencana di Indonesia, belum masuk APBN.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98/2017 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandara Baru di Kulonprogo, Pasal 16 mengatur tentang pelaksanaan mitigasi bencana.

Baca juga: Ketika Lahan Subur Tergusur Demi Bandara Baru Yogyakarta (Bagian 1)

Pada poin E disebutkan, pemerintah memerintahkan kepada Pemprov Yogyakarta, Pemkab Kulonprogo, dan Pemkab Purworejo, membangun kawasan mitigasi bencana.

“Kenyataannya, sampai sekarang belum. Kami dan kawan-kawan dari Transformasi Cita Infrastruktur berkali-kali memberikan usulan untuk pembangunan mitigasi. Tidak ada tanggapan serius,” katanya.

Dia mengatakan, tidak ada alokasi anggaran khusus infrastruktur untuk mitigasi gempa dan tsunami. Padahal, Indonesia, terkepung potensi gempa dan tsunami berbasis penelitian para ahli.

Menurut Rahman, pemerintah sejauh ini hanya menyiapkan dana rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa dan tsunami.

 

Lahan subur pertanian warga Kulon Progo yang akan berganti menjadi bandara baru. Foto: Jogja Darurat Agraria

 

Peraturan Presiden Nomor 98/2017 yang terbit pada 23 Oktober 2017 menyebutkan, Gubernur Yogyakarta, Bupati Kulon Progo, dan Bupati Purworejo sesuai kewenangan wajib melakukan pembangunan dan pemeliharaan sistem peringatan dini bencana tsunami dan penghalang tsunami.

Baca juga: Kala Warga Terus Bertahan, Tak Rela Lahan jadi Bandara Baru Yogyakarta (Bagian 2)

Aturan itu tercantum di Pasal 16. “Bagaimana pengawalannya? Ini pertaruhan, karena ada ancaman potensi tsunami di Kulon Progo,” kata Rahman.

Sementara, PT Angkasa Pura I (AP-I), sedang ngebut pengerjaan pembangunan bandara itu dan target mulai beroperasi April 2019. Kementerian Perhubungan menyebutkan, NYIA akan jadi penunjang utama wisata Candi Borobudur yang berlokasi di Magelang.

“Lahan bandara khusus AP-I kelola seluas 587,3 hektar didesain tahan gempa dan tsunami. Sekarang bagaimana implementasi di lapangan, perlu kita sama-sama cek karena ini kan pembangunan sedang berlangsung,” kata Rahman.

Menanggapi potensi gempa dan tsunami di laut selatan Jawa termasuk NYIA di Kulonprogo, Project Manager NYIA Taochid Purnama Hadi meyakini seluruh bangunan bandara tahan gempa hingga 8,8 SR serta tsunami hingga 12 meter.

Seperti keterangan pers sebelumnya, AP-I mengatakan, terminal bandara di lantai dua ada tambahan 15 meter. Artinya, ketika terjadi tsunami (12 meter) masih aman. AP-I selaku pengelola juga berkoordinasi dengan Pemerintah Kulon Progo untuk memanfaatkan kawasan tepi pantai sebagai penyangga bandara. Nantinya, di daerah penyangga itu akan ditanami vegetasi yang berfungsi sebagai penghalau tsunami.

AP mengklaim, memiliki sistem mitigasi bencana pembangunan NYIA. Mitigasi itu, katanya, dengan pembangunan bandara dengan ketinggian tertentu di atas permukaan laut. “Desain untuk memitigasi dampak tsunami, bangunan lantai satu itu ketinggian sembilan meter,” kata Israwadi, Corporate Secretary AP-I.

Taochid mengatakan, landas pacu dibuat ketinggian bidang empat meter di atas permukaan laut dan lokasi pada jarak 400 meter dari bibir pantai. Terminal, jaraknya satu kilometer dari landasan pacu hingga ada jeda waktu penyelamatan diri bila ada kemungkinan terburuk gempa maupun tsunami.

Mereka membahas panjang lebar terkait risiko bencana itu dengan pakar, akademisi dan ahli bidang terkait dari Jepang guna membuat simulasi gempa dan tsunami di bandara baru itu.

“Kami juga konsultasi dengan BMKG pusat soal potensi-potensi ancaman tsunami dan karakteristiknya.”

NYIA di Temon, Kulonprogo, digadang-gadang tahan gempa maupun tsunami meski lokasi di tepian Laut Selatan Jawa yang juga berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Sejumlah fasilitas keselamatan bakal dibuat untuk menunjang mitigasi bencana di bandara itu.

Lantai dua terminal setinggi enam meter dari lantai dasar dengan konsep sebagai tempat evakuasi sementara (TES) untuk penumpang dan komunitas bandara. Ketika ada tsunami, penumpang tak perlu panik dan langsung diarahkan mengamankan diri di lantai dua.

Gedung terminal ini juga dilengkapi konsruksi sacrifice column atau kolom dikorbankan ketika tsunami menerjang. Letaknya ada di sisi terminal namun dalam konstruksi tersendiri. Kolom ini membantu menggemboskan energi hempasan gelombang yang bersifat destruktif sebelum mencapai fisik terminal. Jadi, efek hempasan itu tidak merusak konstruksi terminal dan penumpang di dalamnya aman.

“Saat ini, masih mengkaji lebih komplet struktur itu dan merumuskan bentuk berupa gedung atau justru hanya tembok,” kata Taochid.

Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan yakin, NYIA sudah memperhitungkan dengan skala gempa dan tsunami yang besarmengacu hasil kajian ahli terhadap struktur bandara di Kulon Progo.

Potensi tsunami, merupakan salah satu risiko yang diantisipasi dalam pembangunan bandara.

 

Spanduk protes menolak bandara di Palinan, Kulon Progo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, kata Budi, telah menunjuk para ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB), UGM, bahkan Jepang, untuk mengantisipasi dampak tsunami dengan skala besar serta menyiapkan mitigasi bencana. Salah satu upaya mitigasi, katanya, dengan membangun lantai terminal bandara rentang ketinggian mencapai delapan meter. Tujuannya, agar para penumpang bisa naik saat tsunami.

Di kawasan tepi pantai juga akan ditanami pepohonan dan dibuat gundukan untuk menghalangi ombak tsunami saat menjangkau bandara.

“Jadi tsunami, Insya Allah, sudah kami mitigasi, baik struktur maupun bandara itu berjalan,” kata Budi.

Tri Budi Utama, Ketua Tranformasi Cita Infrastruktur (TCI) mengatakan, ada empat target pengurangan dampak dalam pembangunan mitigasi ini yaitu kematian akibat bencana, jumlah penduduk terdampak bencana, jumlah kerugian akibat bencana, dan kerusakan infrastruktur.

Menurut dia, bukan hanya infrastruktur di tepi pantai yang dibangun juga bangunan gedung terminal harus dirancang “ramah” tsunami sekaligus berfungsi sebagai bangunan shelter dan evakuasi.

Dia mengusulkan, model atau skenario mitigasi tsunami untuk bandara dengan membangun sand dune atau bukit pasir dan ditanam cemara udang. “Sementara yang paling efektif, model ini. Kami ada beberapa model namun biaya cukup besar,” katanya.

Tri menambahkan, model itu merupakan sistem gali timbun untuk membuat bukit hutan cemara dengan tanah dari pasir sebelumnya. Cekungan karena penggalian bisa untuk penampungan air bersih yang menghubungkan Sungai Serang di timur bandara dan Sungai Bogowonto, di barat bandara. Kawasan di cekungan ini juga bisa maksimal sebagai sarana olahraga dan pariwisata seperti golf.

“Dengan perkiraan investasi Rp50 miliar, kami perkirakan konsep ini akan memberikan keuntungan lebih Rp6,3 miliar pertahun.”

Sebelumnya, Halik Sandera, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta mengatakan, pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) NYIA tertutup, tanpa melibatkan pihak terdampak. Pembangunan bandara juga tak sesuai tata tuang, dan amdal juga tak memuat kajian risiko tsunami utuh dan lengkap.

Menurut Halik, pembangunan bandara baru sudah berimplikasi perampasan lahan produktif, penggusuran pemukiman, mata pencaharian hilang di tapak rencana dan di lokasi infrastruktur pendukung. Bahkan, katanya, tak ada kajian pengurangan risiko tsunami dalam penyusunan Amdal, hingga tak ada jaminan keselamatan. (Selesai)

 

Keterangan foto utama:   Penggusuran lahan pertanian warga di Temon Kulon Progo untuk proyek bandara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version