- Rumah dan mobil Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Barat, Murdani, dibakar orang tidak dikenal pada Senin (28/1/19), sekitar pukul 03.00 waktu setempat
- Hasil pemeriksaan polisi ditemukan kantong plastik beraroma bensin. Diduga kantong plastik itu digunakan pelaku menyulut api. Polisi juga menemukan satu kantong plastik bensin. Sebuah topi menutup CCTV di atas daun pintu
- Teror tengah malam yang menimpa Murdani ini diduga terkait dengan advokasinya terhadap rencana tambang pasir di Kabupaten Lombok Tengah
- Berbagai organisasi lingkungan dan HAM mendesak, Polda NTB serius mengusut tuntas dan mengungkap pelaku serta dalang pembakaran rumah Murdani ini.
Minggu malam (27/1/19), Murdani bersama istri dan dua anaknya, tidur di lantai II rumah mereka. Murdani tak sedang begadang seperti biasa. Malam-malam sebelumnya, Murdani biasa tidur di teras rumah sekaligus jadi ruang tamu.
Sejak gempa, teras itu jadi tempat tidur nyaman bagi Murdani. Termasuk dalam beberapa bulan terakhir dia merasa ada yang mengawasi rumahnya. Murdani tidur di teras sekaligus berjaga.
Senin (28/1/19) dini hari sekitar pukul 03.00 waktu setempat, Murdani dan istri tiba-tiba kaget mencium bau menyengat. Ketika membuka mata mereka melihat kobaran api dari lantai bawah. Api membumbung sampai lantai II. Mereka langsung bangunkan dua anaknya.
Baca juga: Polisi Diminta Usut Dugaan Pembakaran Rumah Direktur Walhi NTB
Murdani menggendong anak kedua, berlari menuju lantai I. Betapa terkejut dia ketika melihat pintu rumah terbakar. Api menghalangi keluar rumah. Murdani berlari ke bagian depan rumah yang menghadap jalan raya, sekaligus kiosnya. Dia kembali masuk rumah, tetapi Murdani melihat api sudah masuk ke rumah.
Dia meminta istrinya membawa anak pertama turun melalui atap kios yang berdekatan dengan teras rumas lantai II.
Melihat ada kebakaran dan teriakan istri Murdani, warga Dusun Gundul, Desa Memeneng, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa tengga Barat, kumpul di depan rumah Murdani. Mereka membobol pintu gerbang dan memadamkan api. Butuh waktu sekitar 45 menit bagi warga memadamkan api.
Baca juga: Fokus Liputan: Kemelut Tambang Pasir Hitam Lumajang (Bagian 1)
Setelah api padam, Murdani memeriksa bagian rumah yang terbakar. Dia melihat bagian depan mobil Avanza sudah hangus. Ban sudah terbakar, kursi bagian depan habis terbakar.
Setelah matahari menyingsing dan aparat kepolisian dari Polres Lombok Tengah, tiba, ditemukan sebuah bantal di bawah mobil, persis di belakang roda depan. Diduga bantal itu dibakar hingga memicu kebakaran mobil Avanza. Selain itu, bagian depan truk yang terparkir sekitar tujuh meter dari mobil Avanza juga terbakar.
Sandal dan sepatu yang bertumpuk di teras rumah Murdani dibakar di depan pintu utama rumah. Kursi kayu di dekat pintu utama juga hangus terbakar. Di depan pintu dapur, meja bambu ada yang menjadikan sebagai penghalang dan sudah terbakar.
“Ini memang niat tidak ingin kami keluar. Dua pintu dipasangi penghalang dan dibakar,’’ kata Murdani kepada Mongabay,Selasa (29/1/19).
Dari hasil pemeriksaan polisi ditemukan kantong plastik beraroma bensin. Diduga kantong plastik itu digunakan pelaku menyulut api. Polisi juga menemukan satu kantong plastik bensin. Sebuah topi menutup CCTV di atas daun pintu.
Baca juga: Nyawa Hilang di Lubang Batubara Bertambah, Aktivis Lingkungan Dapat Teror dan Serangan
Murdani tampak begitu lelah. Sejak peristiwa Senin dini hari itu, , dia kurang istirahat. Dia masih berjaga. Mereka tak tidur di rumah. Kerabat juga datang membantu. Para aktivis datang memberikan dukungan.
Amin Abdullah, Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM) datang dari Lombok Timur, memberikan dukungan pada Murdani. Amri Nuryadin, dari Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) juga datang. Beberapa tokoh masyarakat dan anak muda kerabat Murdani juga selalu berjaga.
Buntut suarakan penolakan tambang?
Selama ini, Walhi NTB cukup kritis terhadap persoalan lingkungan di provinsi itu. Mulai dari isu reklamasi Teluk Bima, tambang di Pulau Sumbawa, tambang emas di Pulau Lombok, hingga tambang galian C, termasuk tambang pasir. Murdani menduga suara yang lantang terhadap tambang pasir ini yang membuat dia kerap mendapat teror.
Galian C di Lombok, khusus di Kabupaten Lombok Tengah, kerap jadi pemicu keributan warga. Ada pro dan kontra. Warga yang kontra merasakan dampak buruk galian C itu, mulai jalan kampung rusak, longsor mengintai permukiman mereka, sampai air irigasi keruh karena penambangan.
Sejak tiga tahun silam, Walhi NTB kerap menggelar aksi penolakan tambang galian C. Beberapa kali pemerintah harus turun ke lapangan untuk menutup tambang yang dilaporkan Walhi.
“Kalau ancaman lewat SMS sudah sering,’’ kata Murdani.
Dia bilang, operasi tambang galian C cukup marak di kabupaten-kabupaten di Pulau Lombok. Operasi tambang galian C, kata Murdani, mungkin terlihat sepele, dan terkesan hanya beberapa hektar. Namun, katanya, kalau digabung, luas bisa ratusan hektar.
“Pemiliknya tidak tunggal, dan sebagian besar pribadi-pribadi.”
Murdani, tidak terus menerus tinggal di Kota Mataram, di mana Kantor Walhi NTB, berada. Dia biasa pulang kampung halaman, bahkan lebih sering tinggal di rumahnya di Desa Menemeng itu.
Setahun silam, warga meminta Murdani membantu advokasi penolakan rencana tambang pasir di perbatasan antara Desa Memenang dan Desa Bilebante. Desa yang terkenal dengan air dan persawahan ini, juga dikenal memiliki kandungan pasir bagus.
Sebagai aktivis Walhi dan warga kampung desa itu, Murdani mengadvokasi persoalan itu, baik di lapangan maupun kebijakan. Beberapa kali warga berhasil menggagalkan rencana tambang pasir. Murdani mengawal proses perizinan.
“Warga tahunya berhasil, jika tidak ada aktivitas penambangan, padahal proses izin perusahaan jalan terus,’’ katanya.
Mengadvokasi tambang pasir di kampung halaman sendiri ternyata tak semudah bayangan Murdani. Sejak mengadvokasi kasus itu, dia kerap mendapat teror. Paling sering, rumahnya disambangi orang pada malam hari. Kalau Murdani kebetulan ada kegiatan di luar daerah, dia meminta kerabatnya datang menginap di rumah.
Cerita-cerita tak baik juga didengar Murdani dari gosip di kampung. Mulai dari Murdani ada kepentingan menolak tambang pasir, hingga belakangan ada gosip dia menerima suap dari perusahaan.
“Bersuara lantang salah, pas saya pasif dikira sudah terima sogokan. Saya merasa memang agak lain ketika mengadvokasi di kampung halaman sendiri,’’ katanya.
Meskipun begitu, Murdani tak mau berspekulasi siapa yang melakukan teror. Dia meyerahkan sepenuhnya pada aparat kepolisian. Namun, katanya, Walhi juga membentuk tim investigasi.
Dugaannya, pelaku tak akan jauh dari orang-orang yang selama ini merasa terganggu dengan suara lantang Murdani dan Walhi.
Fajarudin, tokoh masyarakat Desa Memeneng, menuturkan, Murdani kerap di depan ketika ada isu penolakan tambang termasuk rencana penambangan pasir di Desa Bilebante dan Desa Memeneng. Teror yang dirasakan Murdani, pernah juga dia alami ketika jadi kepala dusun.
Warga Dusun Gundul, yang dia pimpin kompak menolak tambang pasir. Walaupun tambang itu tidak semua ada di dusun mereka, tetapi dampak mereka rasakan.
“Sudah biasa (diteror) kalau lewat SMS,’’ katanya.
Tambang pasir di Desa Bilebante dan Desa Memeneng, dimiliki beberapa orang, bukan satu perusahaan. Ada banyak pemain, tetapi ada kecurigaan pemodal besar di belakang mereka. Mengingat rencana luas lahan tambang pasir mencapai 200 hektar.
Rencana tambang ini juga membuat masyarakat terbelah. Ada yang pro dan kontra. Dia khawatir, kalau terus terjadi akan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
“Mudah-mudahan polisi cepat mengungkap, biar jelas siapa para pelaku.”
Desak polisi ungkap pelaku dan dalang pembakaran
Edo Rakhman, Wakil Departemen Advokasi Walhi Nasional dalam jumpa pers di Jakarta menduga, peristiwa yang menimpa Murdani erat kaitan dengan kerja-kerja advokasi Walhi NTB. Sejak 2016, Walhi NTB aktif membongkar kasus tambang pasir ilegal di wilayah itu dan mendesak pemerintah tak memberikan izin tambang pasir.
“Kita masih proses mengumpulkan fakta. Dugaan kami, ini erat kaitan dengan kasus-kasus lingkungan yang jadi konsen Walhi NTB sejak 2016 hingga 2017. Tahun 2018, kawan-kawan Walhi NTB fokus penanganan dampak bencana alam,” katanya.
Sebelumnya, Murdani juga sempat mendapatkan beberapa kali ancaman dari pihak tak dikenal, baik melalui pesan singkat, maupun sosial media. Jadi, tak heran jika Walhi menduga ini erat kaitan dengan advokasi Walhi NTB.
Dia meminta, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bertindak cepat, melindungi Murdani beserta keluarga sembari kasus proses di kepolisian.
“Kita sedang melacak apakah dalam satu atau dua hari sebelum peristiwa ini Murdani menerima ancaman atau tidak, yang jelas, ancaman melalui pesan singkat diterima Murdani sejak 2016. Kami menduga ini ada motif percobaan pembunuhan. Sebab, pintu depan dan belakang rumah Murdani dibakar,” katanya.
Kencana Putri dari Amnesty International Puri mengatakan, yang dialami Murdani serangan serius terhadap pejuang hak asasi manusia.
“Kasus ini rangkaian panjang yang banyak menyerang pejuang HAM terutama fokus di sektor lingkungan. Sebelumnya, kasus hampir sama dialami Jatam Kaltim. Rumah tempat mereka bekerja di Kaltim, dirusak, sampai sekarang belum diketahui siapa pelakunya,” katanya, seraya memberikan contoh lain, kasus pembunuhan Salim Kancil—yang menolak tambang pasir–di Lumajang.
Dalam deklarasi HAM PBB 1998, menyerukan negara memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada aktivis HAM. Aktivis lingkungan, katanya, merupakan pejuang HAM karena bekerja membela hak-hak warga mendapatkan lingkungan yang sehat dan aman.
“Dalam kasus Murdani, kami tahu dia mengadvokasi dan membela hak-hak rakyat di sektor sumber daya alam ekstraktif seperti tambang. Ada kelompok yang tidak suka terhadap apa yang dia lakukan.”
Dengan pelaporan kepada Polda NTB, katanya, merupakan langkah hukum untuk memastikan penyelidikan independen, transparan, imparsial guna mengungkap aktor di balik pembakaran rumah Murdani.
Pemerintah, katanya, juga harus memastikan perlindungan bagi Murdani dan keluarga. Perlindungan ini penting, katanya, karena sampai sekarang polisi belum mengetahui siapa yang bertanggungjawab atas peristiwa ini.
Ainul Yaqin, dari Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII) mengecam pembakaran rumah Murdani. Dia meminta, Komnas HAM segera bertindak. Dalam catatan YPII, 2010-2018, kekerasan dialami aktivis sebanyak 171 orang, didominasi aktivis lingkungan.
Andreas Harsono, periset Human Rights Watch (HRW) juga angkat bicara. Dia mendesak, Polda NTB serius menyelidiki dan mengungkap kasus ini baik pelaku maupun dalangnya. Selain itu, katanya, investigasi juga bisa dilakukan oleh wartawan-wartawan di Lombok, agar kasus terungkap terang benderang.
Muhammad Isnur, advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, kasus Murdani merupakan ancaman nyata bagi aktivis lingkungan dan HAM.
“Peristiwa ini tak bisa terpisahkan dari penyerangan yang lain. Belum lama ini, misal, Kantor Jatam Kaltim diserang. Hingga kini polisi belum ungkap kasus ini.”
Isnur pesimis, kepolisian sanggup cepat dan mengungkap sampai ke dalang. Melihat kasus lain, baik teror maupun penyerangan pada aktivis lingkungan dan HAM, seringkali kepolisian lambat mengungkap.
Peristiwa yang dialami Murdani, katanya, tak bisa dianggap kasus biasa. “Penting kepolisian mengungkap kasus ini. Tak hanya menangkap pelaku lapangan juga aktor di balik pembakaran rumah Murdani.”
“Ancaman bisa jadi bukan hanya kepada Murdani dan keluarga saja. Saksi-saksi, teman-teman Murdani juga terancam. Di kasus Salim Kancil, LPSK memberikan perlindungan terhadap 20 saksi. Di kasus ini, LPSK juga harus segera bertindak mengamankan saksi-saksi.”
YLBHI, katanya, juga serius mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan kementerian maupun lembaga negara lain memiliki payung hukum proteksi kepada aktivis.
Kasus ini, katanya, kuat dugaan ada kaitan dengan bisnis tambang. Bukan tak mungkin, ada kekuatan besar di balik peristiwa itu.
“Kami juga membentuk tim tandingan bersama-sama tim investigator kita. Khawatir aparat hanya menyentuh pelaku di lapangan. Harus menyentuh dalang.”
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga menilai kejadian yang menimpa Murdani bentuk pelanggaran serius terhadap pembela HAM atas lingkungan. Mengacu pada laporan situasi pembela HAM atas lingkungan periode November 2017- Desember 2018, terbitan Elsam, terdapat delapan hak dilanggar karena tindakan dan ancaman kekerasan terhadap pembela HAM atas lingkungan.
Kekerasan itu, meliputi pelanggaran integritas personal, hak kebebasan, hak berpindah, hak bertempat tinggal, hak hidup, hak perempuan, hak anak, dan hak rasa aman.
“Pembakaran kediaman Murdani jelas pemberangusan hak rasa aman, juga mengancam hak atas hidup dia dan keluarga bahkan warga sekitar pemukiman. Pembakaran properti juga merenggut hak atas penghidupan layak,’’ kata Wahyu Wagiman, Direktur Eksekutif Elsam, dalam rilis kepada media.
Laporan itu juga menerangkan, tindakan intimidasi adalah bentuk pelanggaran paling sering terjadi sepanjang 2018. Dalam kasus Murdani, pola intimidasi kembali terjadi. Pembakaran tempat tinggal meninggalkan pesan kuat bahwa perlawanan antara lain atas aktivitas pertambangan justru jadi bumerang. Aksi pembakaran dan intimidasi ini, katanya, dengan harapan menekan suara para pembela HAM atas lingkungan di Indonesia.
Elsam mendorong, dugaan pembakaran rumah Murdani berelasi dengan kasus pengusaha tambang, katanya, harus jadi perhatian serius kepolisian.
Elsam juga mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pelaksana Pasal 66 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup guna memastikan perlindungan hukum bagi pembela HAM atas lingkungan. Elsam menuntut, Polda NTB untuk mengusut pelaku dan motif pembakaran serta mendapatkan hukuman setimpal.
Selain itu, Elsam mendesak, penguatan peran pemerintah daerah dalam memastikan ekspansi bisnis tak melanggar HAM dan merusak lingkungan.
Beka Ulung Hapsara dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kepada Mongabay mengatakan, pemerintahan Jokowi perlu mendorong perusahaan menerapkan prinsip-prinsip panduan mengenai bisnis dan hak asasi manusia yang digariskan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam mendampingi kelompok masyarakat yang dilanggar hak asasinya, aktivis lingkungan dan HAM kerap mengalami berbagai perlakuan seperti ancaman kekerasan, kriminalisasi, dan pembunuhan.
Perlakuan buruk terus menimpa aktivis HAM dan pejuang lingkungan, katanya, antara lain sampai sekarang belum ada regulasi khusus mengatur perlindungan terhadap pejuang HAM.
Perlindungan aktivis HAM, katanya, harus diatur universal hingga tidak perlu setiap sektor. “Kalau negara aktif melindungi pembela HAM dan lingkungan, kekerasan atau pelanggaran menurun. Sebaliknya penghormatan atas hak asasi makin meningkat.” Kontribusi berita juga dari Tommy Apriando
Keterangan foto utama: Murdani, Direktur Eksekutif Wlahi NTB menunjukkan truk miliknya yang dibakar pada malam kejadian. Tampak juga mobil Avanza putih yang dibakar. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia