Mongabay.co.id

Izin Kebun Sawit di Buol Bermasalah, Mengapa Pelepasan Kawasan Hutan Tetap Keluar?

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Sekitar 6,5 tahun lalu, Jumat(6/7/12), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama tim dari Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, menangkap Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah. Dia terlibat suap sejumlah Rp3 miliar atas proses pengurusan izin perkebunan sawit milik pengusaha Sri Hartati Cakra Murdaya.

Hartati Murdaya, Direktur Utama perusahaan sawit PT. Hardaya Inti Plantations (HIP), mendapat vonis 2,8 tahun penjara oleh Mejelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, pada 4 Februari 2013. Sedangkan, Amran Batalipu menerima ganjaran 7,5 tahun penjara.

Pada November 2018, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Surat Keputusan Nomor 517 berisi tentang pelepasan dan penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan sawit, HIP di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 9.964 hektar.

Baca juga: Dugaan Suap Izin Kebun Sawit, Bupati Buol Ditangkap KPK

KPK meminta KLHK mengkaji kembali keputusan pelepasan hutan produksi untuk perkebunan sawit di Buol ini. Izin prinsip keluar dengan cara suap.

”Saya baru dengar lahan dulu yang dikeluarkan dengan cara suap itu pelepasan kawasan hutannya sudah terjadi, beberapa bulan terakhir. That’s not acceptable di mata KPK,” kata Laode M Syarif, Wakil Ketua KPK dalam diskusi “Melawan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam”, di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Laode mengatakan, pelepasan kawasan hutan itu agak sensitif karena terjadi kaus suap di sana. Amran Batalipu, mantan Bupati Buol memberikan izin prinsip perkebunan kepada Siti Hartati Murdaya, selaku bos HIP atau PT Cipta Cakra Murdaya (CCM).

”KLHK harus instropeksi diri soal itu. Seharusnya izin prinsip itu tidak jadi karena didapatkan dengan menyuap. Saya pikir tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang legal dalam pelepasan kawasan hutan yang dulu izin prinsipnya didapatkan dari suap,” katanya.

Baca juga: Hartati Murdaya Bebas, Petani Buol Protes

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi mendesak KLHK membatalkan SK pelepasan kawasan hutan. Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN untuk tak menerbitkan hak guna usaha (HGU) kepada HIP.

Belum lagi, katanya, penerbitan surat keputusan itu bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 soal moratorium izin sawit, yang keluar 19 September 2018.

”Apalagi, perusahaan ini sudah dipidana kasus suap atas penerbitan di wilayah yang sama,” katanya.

Dia menilai, Inpres itu tidak didengar, tidak dipahami dan tak dijalankan KLHK. Dia merasa aneh, Menteri LHK bisa menerbitkan surat keputusan kontradiktif dengan aturan lebih tinggi.

Inpres itu diterbitkan atas intsruksi presiden untuk menghentikan pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan evaluasi izin-izin yang sudah terbit dalam waktu tiga tahun setelah aturan itu terbit.

Zenzi mempertanyakan dan menyesalkan, alat pemerintah dalam memverifikasi pelepasan kawasan hutan hingga dapat meloloskan perusahaan yang sudah tersandung hukum. Dengan penerbitan izin pelepasan kawasan ini, katanya, menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam tata kelola dan penyelamatan kawasan hutan.

Hingga kini, Walhi belum bisa mengakses data pertimbangan tim terpadu merekomendasi wilayah hutan ini untuk berubah jadi non hutan.

Baca juga: Ingkari Kesepakatan Jakarta, Petani Buol Blokir Jalan PT HIP

Abdul Haris Lapabira, Direktur Walhi Sulteng menduga terjadi pelanggaran hukum dalam proses pelepasan kawasan hutan itu dan mendesak KLHK membatalkan surat keputusan itu.

”Surat keputusan ini menjelaskan bagaimana terjadi pembangkangan aparat negara terhadap Instruksi Presiden pada September lalu.”

Berdasarkan data Walhi, Sulawesi Tengah memiliki luas daratan 6,1 juta hektar, 4,2 juta hektar itu hutan. Jadi, Sulteng ini salah satu penyumbang hutan terbesar di Indonesia.

“Ini juga sering bertentangan kebijakan negara terkait sektor sumber daya alam.”

Banyak ancaman industri perkebunan skala luas dan homogen datang mengkapling tanah masyarakat. Bahkan, katanya, hingga kini, ada 700.000 hektar kebun sawit perusahaan di provinsi ini.

Di wilayah sama, pemerintah daerah mencanangkan proyek pembangunan pertanian penggunaan air seperti sawah oleh masyarakat. Pemerintah daerah sudah membangun pertanian dan irigasi. Kalau sampai bisnis skala besar masuk, katanya, akan menghilangkan pertanian berbasis masyarakat.

Baca juga: Sekarang Perusahaan Sawit Tak Boleh Masuk Kabupaten Buol

Berdasarkan hasil bacaan data citra satelit Walhi menyebutkan, areal yang dilepas merupakan hutan lebat dan berlereng curam. Meski demikian, perusahaan sudah terlebih dahulu membuka lahan dan menanam sawit sebelum mendapatkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan dari KLHK.

“Seharusnya, wilayah ini tak ada perubahan fungsi hutan dan pelepasan hutan, apalagi di tengah kebijakan Inpres Moratorium,” kata Achmad Rozani, Manajer Data Base dan GIS Walhi.

Walhi mendesak, pemerintah segera membatalkan surat keputusan pelepasan kawasan. Dia meminta pemerintah pusat dan Pemerintah Sulteng, konsisten menjalankan Instruksi Presiden.

“Sambil menunggu niat baik pemerintah untuk mencabut SK itu, kami juga masih dalam tenggat waktu untuk menyiapkan gugatan tata usaha negara sebagai upaya lain untuk membatalkannya,” kata Haris.

 

Bupati Buol, Amran Batalipu terpidana KPK terkait kasus suap izin perkebunan sawit dengan perusahaan Siti Murdaya. Foto: Depdagri.co.id

 

 

Sesuai aturan?

Apa kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan? Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pelepasan kawasan hutan ini tidak menyalahi aturan.

”Kalau dari sisi legalitas, tidak ada masalah. Segala persyaratan, dasar hukum, dan dokumen sudah kuat, tidak ada masalah,” katanya usai acara “Diseminasi Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018”, di Jakarta, pekan lalu.

Meskipun begitu, KLHK, katanya, membentuk tim khusus guna mendalami hal ini. Tim terdiri dari Badan Pengukuhan Kawasan Hutan (BPKH), KLHK dan Dinas Kehutanan Sulteng. “(Mengkaji) dari berbagai aspek. Untuk cek di lapangan, dari tutupan hutan dan semua aspek agar hasil lebih komprehensif.  Pak dirjen (Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK, red) sudah menurunkan tim ke lapangan,” kata Siti Nurbaya saat ditemui di Kemenko Perekonomian, di Jakarta, Kamis (31/1/19).

Saat menanggapi KPK, Siti menyebutkan, izin berbeda dengan yang diucapkan Laode. “Ya lain (izinnya), gatau saya. Maka, lagi dikumpulin datanya.”

Kalau disebut-sebut dia melanggar Inpres Moratorium Sawit, katanya, aturan itu punya klasifikasi-klasifikasi untuk penundaan perizinan pelepasan kawasan hutan. ”Inpres juga ada klasifikasi, ada yang tak boleh sama sekali ya itu izin baru. Kalau yang di Buol itu sudah ada izin prinsip, ini nerusin aja sebenarnya. Kalau sudah ada izin prinsip, berarti seluruh syarat sudah terpenuhi,” katanya. Siti tak menyinggung soal izin prinsip itu bermasalah bahkan menyeret sang bupati dan pengusaha ke meja hijau.

Sigit Hardwinarto, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK menolak menjawab rinci soal pelepasan kawasan hutan di Buol dan luasan izin pelepasan kawasan hutan untuk sawit yang masih ‘menunggu’ keluar.

”Prinsipnya sudah sesuai aturan. Saya perlu menyusun terlebih dahulu (data),” katanya.

Berdasarkan Inpres Moratorium, ada pengecualian bisa dilakukan Menteri LHK untuk pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Dia sebutkan, untuk permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk pekebunan sawit yang telah ditanami dan diproses berdasarkan ketentuan Pasal 51 PP Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Menurut Zenzi, aturan penghentian pelepasan kawasan hutan sesuai Instruksi Presiden September lalu itu mutlak. ”Kewenangan itu (pelepasan kawasan hutan) bukan menyangkut enak dan tidak enak, itu tanggung jawab Menteri LHK terhadap fungsi lingkungan dan hak orang lain di wilayah itu.”

Zenzi menemukan keganjilan di dalam surat keputusan yang dikeluarkan menteri. Salah satu poin dalam surat itu menyebutkan, HIP mendapatkan hak menyelesaikan konflik kalau ada hak pihak ketiga di kawasan pelepasan hutan itu.

Poin itu, katanya, dinilai bertentangan dengan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam UU itu, pejabat yang berwenang menerbitkan izin wajib mengendalikan dan mengontrol dampak dari izin yang diterbitkan.

”Ini berbahaya. Artinya, KLHK melepaskan tanggung jawab kepada konsekuensi kewenangan yang dia ambil,” kata Zenzi.

Pemerintah Sulteng, melalui keterangan dikutip dari Antara tampak senada dengan KLHK, dan mencoba menjelaskan kronologi proses pelepasan kawasan itu.

Moh Haris Kariming, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Sulteng, menyebutkan, permohonan pelepasan kawasan hutan oleh HIP berproses sejak 1997 dengan penerbitan persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan sesuai surat Menteri Kehutanan tertanggal 27 Februari 1997.

Surat keputusan itu, katanya, memberikan persetujuan pencadangan kawasan hutan tahap II seluas sekitar 31.750 hektar di Kabupaten Buol.

Persetujuan ini ditindaklanjuti dengan penataan batas 32.113,30 hektar sesuai Berita Acara Tata Batas tertanggal 13 November 1997.

Dalam perkembangan terjadi dinamika regulasi, baik berkaitan moratorium pelepasan kawasan hutan, penunjukkan kawasan hutan Sulteng tahun 1999, revisi rencana tata ruang provinsi pada 2013 dan 2014, mekanisme pelepasan kawasan hutan hutan produksi konversi. Juga ada moratorium penundaan izin melalui Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) yang berimplikasi terhadap penundaan dan pengurangan areal yang semula 32.113,30 hektar.

Keputusan penyusutan areal itu setelah penataan batas ulang dan pembahasan oleh panitia tata batas kawasan hutan bentukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 3 Februari 2017. Areal pelepasan kawasan hutan pun jadi 9.964 hektar.

Dia sebutkan, susunan panitia tata batas Kabupaten Buol, diketuai Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu, sekretaris Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Sulteng. Anggota tim, Kepala Bappeda Kabupaten Buol, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Buol, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Buol, Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Untuk Hutan Lindung, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi untuk Hutan Produksi, Kepala KPHP/KPHL di Wilayah Buol serta camat setempat.

Haris menyatakan, pelepasan kawasan hutan diawali penataan batas ulang oleh pemohon melalui konsultan yang ditunjuk, disupervisi Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XVI Palu selaku Unit Pelaksana Teknis KLHK di daerah.

Haris bilang, berita acara tata batas yang telah ditandatangani Panitia Tata Batas termasuk wakil-wakil dari Pemerintah Buol, antara lain, Kepala Bappeda Buol, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Setda Buol, Camat Tiloan, Camat Bukal, Camat Bokat, dan Camat Bunobogu.

Dalam rapat koordinasi 3 Mei 2018, Bupati Buol tetap menolak pelepasan kawasan hutan. Gubernur Sulawesi Tengah sesuai surat bernomor 522 tertanggal 28 Mei 2018, menyampaikan kepada Menteri LHK hasil rapat koordinasi soal Bupati Buol tetap pada sikap menolak pelepasan kawasan hutan. Masalah inipun, katanya, mereka serahkan sepenuhnya kepada Menteri Menteri LHK untuk memutuskan sesuai kewenangan.

Pada 23 November 2018, Menteri LHK terbitkan keputusan pelepasan kawasan hutan itu.

Soal rencana Pemerintah Buol akan melakukan upaya hukum melalui Peradilan Tata Usaha Negara atas keputusan Menteri LHK ini, kata Haris, itu hak konstitusional Pemerintah Buol untuk memperoleh kepastian hukum.

Bupati Buol sejak 2014, konsisten menolak perusahaan sawit. Amiruddin Rauf, Bupati Buol saat ini menolak perusahaan sawit masuk wilayah mereka. Bahkan, mendorong pengelolaan tanah untuk rakyat.

“Bupati berusaha menjalankan pekerjaan sejalan dengan inpres tapi menteri yang diangkat presiden malah berlawanan. Itu menurut kami perlu diperiksa oleh presiden,” ucap Zenzi.

 

 

Keterangan foto utama:      ILustrasi. Kawasan hutan dilepas untuk sawit dan sudah ditanami sebelum ada izin pelepasan . Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version