Mongabay.co.id

Para Petani di Riau Ini Mulai Bertani Organik

Badri mengecek tanaman cabainya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Namanya Badri. Petani Kampung Buantan Lestari, Siak, Riau, ini adalah kader sekolah lapang petani gambut dari Badan Restorasi Gambut. Dia mulai mengurangi penggunaan pestisida atau pupuk kimia untuk tanah dan tanaman dengan beralih ke F1 embio, pupuk organik yang didapat masa sekolah.

“Kita lebih hemat dan tak perlu keluar modal banyak. Di sekitar kita banyak bisa dimanfaatkan. Dari alam kita kembalikan ke alam,” katanya.

Tak semua petani ikut kata-kata Badri. Kebiasaan pakai pupuk kimia sudah berlangsung lama. Mereka senang praktis, lebih cepat dan tak perlu keluar tenaga membuat pupuk organik.

Sebagian petani juga berangggapan, lahan mineral di Buantan Lestari, sudah subur, cukup beri sedikit kimia untuk ketahanan tanaman.

Kenyataannya, petani masih mengeluh dengan tanaman yang terserang hama, hasil tak sempurna bahkan gagal panen.

Badri bilang, kesalahan awal tanah tak dipupuk baik dan terlalu banyak bahan kimia. Dia mengingatkan petani, tetapi tak ditanggapi. Petani lain kurang yakin dengan saran Badri, termasuk melihat cara dia bertani.

Satu hari, Badri panen sawi, jagung dan kacang panjang. Sebagian petani mulai membuka diri, bertanya dan minta diajarkan. Mulai dari menyiapkan lahan, penggunaan pupuk dan merawat. Badri pun tidak pelit berbagi pengalaman.

“Bertani itu harus rajin dan tekun. Jangan banyak tanya tapi tidak praktikkan,” kata Badri.

Lahan pertanian di Buantan Lestari, mayoritas tanah mineral, warga banyak tanam padi. Ada juga tanaman holtikultura dan palawija, jarang sawit.

Badri bilang, sekalipun tanah mineral dan subur sejak awal, penggunaan pupuk organik tetap perlu. Ketergantungan memakai pupuk kimia akan terus menambah hama bukan mengatasi. Bahkan, hama, katanya, menyebar ke lahan petani lain, yang tak pakai pupuk kimia sekalipun.

Selain mengajar cara bertani, Badri juga menjelaskan macam-macam pupuk. Dia hapal kandungan dalam berbagai merek pupuk, fungsi untuk tanah dan tanaman, maupun mengatasi masalah tanaman.

Rustam mengangguk-angguk di bawah pondok. Dia sedang bicara dengan Badri membahas rencana tanam cabai. Dekat pondok itu ada pupuk kandang dan bibit cabai mulai tumbuh. Rustam tertarik setelah lihat cabai Paijo. “Dia belajar dengan Badri juga,” katanya.

Cabai petani kampung ini dijual ke tengkulak Rp20.000 per kilogram. Beragam produksi tani selalu ada pembeli, tinggal telepon dan janjian, petani tunggu di lahan dan pembeli datang.

 

Misriati di rumah bibit Kelompok Perempuan Rosela Indah samping rumah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Misriati, lain lagi. Dia membagi pengalaman khusus pada anggota Kelompok Perempuan Tani Rosela Indah Kampung Buantan Lestari. Sebagai ketua kelompok, bersama Badri, mewakili Kampung Buantan Lestari, Siak, Riau.  Dia mengajar anggota bikin F1 Embio sampai mereka bisa produksi sendiri di rumah masing-masing.

Kelompok Tani Perempuan Rosela Indah dibentuk dua tahun lalu. Misriati belum genap setahun gantikan ketua sebelumnya. Perempuan ini menanam kol, terong, seledri, kacang panjang, cabai dan bermacam sayur-sayuran dengan polybag di halaman rumah masing-masing. Tiap sabtu, mereka gotong royong di rumah bibit di samping tempat tinggal Misriati.

Kelompok ini tidak pernah pakai pestisida. Sebelum kenal F1 Embio, mereka pakai pupuk kandang. Perbedaan itu tampak pada tanah dalam polybag yang cepat gembur. Tanaman tumbuh lebih berisi dan padat. Hasilnya cukup membantu ekonomi dan menambah penghasilan keluarga. “Setidaknya untuk kebutuhan dapur tidak perlu beli,” kata Misriati.

Kelompok Rosela Indah ada 15 orang. Sebagian sudah berusia lanjut tetapi aktif dalam tiap kegiatan. Mereka perlu lahan untuk mengembangkan pertanian kelompok. Sekitar 2,5 meter tanah di bahu jalan depan rumah Misriati ditanami kacang panjang. Tanah ini milik Dinas Pekerjaan Umum Siak.

Kelompok Rosela Indah jual tanaman langsung bersama polybag. Pembeli biasa orang-orang yang kebetulan lewat, melihat tanaman dan mampir ke rumah bibit. Dua pot tanaman seledri siap panen Rp15.000.

Cerita lain datang dari kader sekolah lapang petani gambut di Kampung Jatibaru, Kecamatan Bungaraya, Siak. Tak jauh dari Kampung Buantan Lestari.

Gatot Suroyo, Ketua Kelompok Masyarakat Gambut Sejahtibaru Dusun Sri Mersing, memanfaatkan lapangan bola yang sudah lama ditumbuhi semak tinggi. Mereka bersihkan tanpa bakar. Ranting kayu dan rumput dikumpulkan di pinggir lahan hingga lapuk sendiri.

Mereka juga buat kolam lele dan nila di tepi lahan. Tanah dan air kolam mereka siram F1 Embio untuk menaikkan ph. Gatot mengajar langsung cara buat pupuk F1 Embio dan pelet makanan ikan serta kelinci.

Beberapa bulan lalu, mereka merayakan panen jagung dan kacang tanah. Sekarang, mereka menunggu kelapa hibrida dan nenas berbuah. Hanya labu yang tak sempat dinikmati karena rusak terserang jangkrik.

Penduduk Jatibaru, mayoritas petani sawit. Ini jadi tantangan Gatot untuk merangsang petani lain beralih ke pertanian ramah lingkungan.

Menurut Gatot, pola pikir masyarakat sudah bergantung sawit. Alasan mereka, sawit tak merepotkan dan tak perlu sering ke kebun. Sedang cabai, sayur-sayuran harus rutin dirawat dan sering turun ke ladang.

Bahkan, F1 Embio yang dikenalkan Gatot dipakai untuk lahan sawit oleh petani. Gatot pun punya sawit dua hektar. Dia berharap, petani begitu juga anggota kelompoknya tetap kompak mencoba tanaman baru.

Gatot tanam sayur-sayuran dan ubi jalar di pekarangan rumah. Anggota lain juga. Sebelumnya, lahan mereka sudah berisi sawit. Dia berencana menebang sawit sembari mencari pendapatan lain sembari menanti tanaman pengganti membuahkan hasil.

Kamis, 10 Januari sore, mereka menerima bantuan alat pertanian dari BRG yang diambil di Pekanbaru. Masing-masing satu mesin pencacah multifungsi, pemotong rumput lengkap, kultivator, mesin pompa air dan selang ukuran dua inci 100 meter. Ditambah dua alat pengukur pH tanah dan dua alat pengukur pH air.

 

 

Cabai merah setelah dipetik dari lahan Badri. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pupuk organik

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut menyelenggarakan sekolah lapang petani gambut di Desa Harapan Jaya, Kecamatan Tempuling, Indragiri Hilir, Riau, April tahun lalu.

Sebanyak 42 petani dari 21 desa diberi pemahaman pentingnya membuka lahan tanpa bakar. Mereka juga dilatih buat pupuk organik F1 Embio, pertanian terpadu, memasarkan hasil panen dan mengembangkan kearifan lokal. Setelah menimba ilmu lebih kurang satu minggu, tugas selanjutnya membagi pengalaman pada petani di tempat asal dengan membentuk demplot.

F1 Embio diciptakan Joko Wiryanto, alumnus Teknik Industri Universitas Pasundan. Penelitian mulai 1988 dengan berbagai macam bahan. Pada 1993, Joko pertamakali mencoba untuk padi di Tasikmalaya dan Lumajang.

Ide awalnya, mengatasi kesulitan petani akan kebutuhan pupuk. Setelah itu, Joko terus memperkenalkan pupuk buatan pada petani di berbagai daerah. “Memang tidak dibisniskan. Murni memudahkan petani,” katanya, saat dihubungi.

BRG menggaet Joko, sebagai guru sekolah lapang petani gambut sejak 2017, untuk berbagi hasil penelitian pada petani dampingan BRG di Indonesia.

Bahan-bahan pupuk mudah didapat dan murah. Sediakan, nenas tua atau yang mulai membusuk, gula merah, tepung ubi atau sagu, vitamin b kompleks, terasi dan kotoran ayam.

Proses bikin juga tak rumit. Masukkan nenas parutan, gula merah yang diiris halus, vitamin b kompleks, terasi dan tepung yang telah dilarutkan. Aduk sampai mendidih. Diamkan beberapa jam sampai dingin. Masukkan kotoran ayam dari tempat pembuangan. Diamkan selama 18 jam, tutup dan jauhkan dari sinar matahari.

Sebelum digunakan, campurkan satu liter F1 Embio dengan 60 liter air dan satu kg gula merah lagi. Aduk sampai rata dan diamkan lagi selama 24 jam. Setelah itu siap digunakan.

F1 Embio bisa digunakan pada tanah mineral maupun gambut. Dalam keterangan Joko di media, pupuk itu dapat meningkatkan perkembangan organisme tanah dan demi keseimbangan sistem ekologi dalam tanah, meningkatkan daya serap tanah terhadap air serta menjaga ketersediaan air. Juga mampu mengikat unsur nitrogen dari udara, melarutkan unsur fosfat, mengurai selulosa dan merombak sisa-sisa organik tanah.

Pupuk ini juga bisa mengurangi keasaman tanah gambut dan menaikkan ph tanah tanpa dibakar. Gatot membuktikan di lahan pertaniannya. Ph tanah naik dari 3,5 jadi lima. Sebelum pakai F1 Embio, Gatot dan petani lain menumpuk rumput dan ranting kayu hasil tebangan, lalu dibakar untuk dapatkan abu. “Sejak Kampung Jatibaru jadi dampingan BRG, kebakaran hutan dan lahan jauh berkurang sejak 2015.”

 

Keterangan foto utama:     Badri mengecek tanaman cabainya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Tanaman organik Gatot di depan pekarangan rumah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version