Mongabay.co.id

Jepang Bisa Lemahkan Indonesia di Pasar Perikanan Global?

***

Kerja sama bisnis yang dijalin Pemerintah Indonesia dengan Jepang untuk perdagangan produk perikanan, dinilai akan semakin melemahkan posisi Indonesia di dunia perikanan internasional. Tak hanya itu, kerja sama tersebut juga akan menguntungkan perekonomian Jepang.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim di Jakarta, Rabu (30/1/2019). Halim berpandangan, apa yang dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut, seharusnya mempertimbangkan aspek mendasar seperti kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir.

“Dampaknya tidak terasa signifikan bagi kemandirian industri perikanan nasional. Kenapa? Karena Pemerintah berhenti sebatas bagaimana Jepang yang bisa menerima ikan gelondongan asal perairan Indonesia,” ucapnya.

Kerja sama itu memang akan berdampak positif, tapi kecil bagi Indonesia dan hanya akan mempersulit keadaan para nelayan dan masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil saja.

Pendek kata, Halim menyebutkan, Jepang akan mendominasi hingga 80 persen dari kerja sama yang sudah dijalin tersebut. Keuntungan yang akan didapat Jepang, dinikmati melalui pengusaha dan Pemerintah Jepang. Sementara sisanya, baru akan dinikmati oleh buruh-buruh pabrik di Jepang dan Indonesia, yang mayoritas juga berasal dari Indonesia.

“Seperti diketahui, banyak perusahaan Jepang di Indonesia yang meraup untung besar. Sementara nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam negeri masih kelimpungan dan hidup day to day tanpa bisa berkembang dari sisi skala usahanya,” jelasnya.

Buktinya, Halim mencontohkan pemanfaatan tuna di Sendang Biru, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Di sana, tuna yang didapat dari nelayan kemudian langsung diolah oleh perusahaan dari Jepang yang beroperasi di Pasuruan. Kondisi yang sama, juga dialami dengan rajungan yang diproduksi di sekitar pantai utara (Pantura) Jawa.

baca :  Demi Impor Ikan, Jepang Bantu Bangun 6 Pelabuhan Pulau Terluar Indonesia

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dominasi Jepang

Menurut Halim, dengan tetap membiarkan perusahaan Jepang mengksploitasi rajungan di Pantura, maka statusnya akan semakin memburuk. Untuk saat ini saja, rajungan di perairan laut Jawa yang masuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPP RI) 712, statusnya sudah merah alias overfished.

“Jika terus dibiarkan, niscaya timbul konflik antar nelayan. Ironisnya, rajungan yang telah diolah lantas dilabeli ‘sustainable product’ oleh beberapa eksportir,” tegasnya.

Melihat dampak negatifnya, Halim meminta Pemerintah untuk meninjau ulang kerja sama tersebut. Jika terus berlanjut, dikhawatirkan nelayan dan masyarakat pesisir akan merasakan dampaknya dan akan memicu penurunan ekonomi mereka.

baca :  Indonesia Minta Jepang Bebaskan Bea Ekspor Masuk Produk Perikanan dan Kelautan

Diketahui, sejak Selasa (29/1/2019) hingga Jumat (1/2/2019), Japan External Trade Organization (JETRO) mengajak 13 perusahaan Jepang yang bergerak pada bidang perikanan untuk berkunjung ke Jakarta dan Bitung, Sulawesi Utara. Kunjungan tersebut, menjadi bagian dari kerja sama ekonomi dengan negeri Matahari Terbit itu sejak 60 tahun lalu.

Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo mengatakan, kunjungan pengusaha Jepang tersebut akan didorong untuk melakukan investasi dalam pengadaan sistem lemari pendingin (cold chain), yang termasuk di dalamnya adalah lemari pendingin (cold storage). Keberadaan alat tersebut, hingga saat ini masih sangat dibutuhkan, karena tidak semua kawasan pesisir memiliki alat tersebut.

“Pertumbuhan ketersediaan ikan di perairan Indonesia mengalami kendala dalam sektor industrinya. Kita terbatas dengan sistem lemari pendingin. Oleh karena itu, pemerintah mengundang para investor Jepang untuk berinvestasi mengisi kesempatan usaha terkait sistem cold chain,” ujarnya.

Menurut Nilanto, kebutuhan sistem tersebut saat ini sangat mendesak untuk diadakan. Hal itu, mengingat stok ikan sedang mengalami pemulihan sangat cepat. Untuk itu, pihaknya juga mendorong penyediaan jaringan listrik di kawasan pesisir untuk keperluan logistik.

Selain mengajak Jepang untuk berinvestasi, Nilanto kemudian menyatakan harapannya kepada pemerintah Jepang untuk menghapus tarif impor sebesar 7 persen yang selama ini diberlakukan bagi produk hasil perikanan Indonesia. Menurutnya, hal ini berbeda dengan pemberlakuan tarif impor nol persen yang diberikan Jepang kepada Thailand dan Vietnam.

Untuk kerja sama investasi dan perdagangan dengan Jepang, Nilanto memaparkan bahwa pada 2017 negara tersebut menduduki peringkat ketiga di Indonesia sebagai negara investor terbesar di sektor perikanan. Jepang sukses menanamkan investasinya senilai Rp151,38 miliar atau 9,18 persen dari total nilai investasi asing.

“Jepang juga menduduki peringkat kedua sebagai negara importir terbesar produk perikanan Indonesia, dengan nilai ekspor Indonesia ke Jepang mencapai USD 672,44 juta,” tuturnya.

baca juga :  Benarkah Kinerja Ekspor Perikanan Indonesia Ungguli Negara Pesaing?

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Keberlanjutan

Tentang kebijakan yang sudah dibuat Indonesia dalam empat tahun terakhir, Nilanto mengungkapkan bahwa itu menjadi kebijakan yang relevan dengan tujuan Pemerintah untuk berkontribusi pada keberlanjutan sumber daya perikanan nasional, baik yang bermigrasi jauh (high migratory species) ataupun yang begerak di antara kedua negara (standing stock).

Our fisheries resources are bounced back already, setelah empat tahun kita melakukan moratorium dan pembatasan jenis alat penangkapan ikan,” ujarnya.

Menurut Nilanto, apa yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia tersebut, menjadi langkah yang penting karena perikanan adalah sumber daya hayati yang vital untuk keberlangsungan keamanan pangan secara global untuk masa yang akan datang. Untuk itu, dia mengajak kepada siapapun untuk bisa mendukung upaya berkelanjutan pada sektor perikanan dan kelautan.

Manfaat lain dari upaya berkelanjutan yang sedang berlangsung sekarang, adalah beralihnya aktor utama untuk sektor perikanan tangkap di laut. Jika dulu sektor tersebut didominasi oleh kapal-kapal berukuran besar dengan alat tangkap yang besar juga, maka saat ini nelayan skala kecil dengan kapal berukuran kecil di bawah 10 gros ton (GT) menjadi aktor utamanya.

“Kami dapatkan informasi dari masyarakat, mereka bisa mendapatkan ikan-ikan tuna besar yang berukuran antara 30-40 kilogram, karena ikan sekarang sudah mulai banyak merapat ke arah pantai. Itu karena fishing mortality jauh berkurang. Ikan sekarang ada kesempatan untuk berkembang biak,” jelasnya.

baca juga : Indonesia Serius Implementasikan Prinsip Ketertelusuran Perikanan dan Fair Trade, Seperti Apa?

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo, dan Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Rifky Effendi Hardijanto dan perwakilan dari perusahaan Jepang dalam pernyataan kerjasama sektor perikanan di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (30/01/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, Indonesia mengedepankan keberlanjutan sumber daya dalam melakukan bisnis perikanan di Indonesia. Untuk itu, dia mengingatkan perlunya menjaga keberlanjutan ketersediaan perikanan di Indonesia demi memastikan keamanan pangan dan keberlanjutan bisnis perikanan di masa mendatang bisa tetap terjaga.

“Sumber daya berkelanjutan, bisnis berkelanjutan,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Susi juga meluruskan informasi bahwa reformasi bidang perikanan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia bukan bertujuan untuk membatasi bisnis, mengurangi porsi bisnis, atau pun mengurangi keuntungan pengusaha. Melainkan, untuk membuat industri perikanan lebih mudah mendapatkan sumber material yang berkelanjutan melalui komitmen yang dibangun bersama.

“Kita ingin pasar sudah mulai mengenali sustainability policyyang dilakukan sebuah negara. Saya berharap Jepang akan mendukung policy-policypublik yang menjaga keberlanjutan dari sumber daya alam kita. Untuk apa? Untuk bisnis terus jalan, bukan untuk menyusahkan pengusaha,” terangnya.

 

Exit mobile version