- Masyarakat di 16 desa, Kabupaten Ende, NTT menggelar ritual adat Rore Rusa dan Tiwu yaitu menangkap ikan dengan tangan di Teluk Rera Wete.
- Ritual Tiwu merupakan ritual semacam sasi, dimana masyarakat hanya boleh menangkap ikan saat ritual tersebut selama enam bulan kemudian, dan dilarang selama enam bulan berikutnya.
- Ritual tahunan merupakan tradisi para leluhur sebagai symbol pertumpahan darah antara Deken Deta Sengaki melawan pendatang dari luar Flores yang ingin menguasai dataran dan wilayah Nabe.
- Ritual Rore Rusa dan Tiwu mengajarkan masyarakat adat Nabe untuk menjaga lingkungan dan perikanan yang berkelanjutan.
***
Mendung mulai menggelayut di atas langit desa Nabe kecamatan Maukaro kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Siang itu, Selasa (22/1/2019), ratusan orang desa Nabe dan semua anak suku (Ana Kalo Fai Walo) yang menetap di luar desa, bahkan kabupaten lain di pulau Flores mulai berdatangan. Tepat pukul 13.00 WITA, kepala suku (Mosalaki Sengaki) mulai melantunkan doa. Air laut pun mulai pasang dan sekeliling hutan bakau tergenang air.
Seekor kambing atau rusa dalam bahasa setempat, dibawa ke tepian muara bersama ratusan ekor ayam. Mosalaki Sengaki pun menyembelih kambing dan ayam-ayam tersebut dibantu anak sukunya lalu di buang ke air laut di tengah muara.
“Ritual adat ini dinamakan Rore Rusa, menyembelih kambing dan ayam sebelum besoknya masyarakat turun ke laut menangkap ikan secara gratis yang merupakan karunia Tuhan,” sebut Simon Se, Mosalaki Sengaki kepada Mongabay-Indonesia, Selasa (22/1/2019).
baca : Meriahnya Panen Teripang Buka Sasi di Kampung Folley Raja Ampat. Begini Ceritanya
Simon, menjelaskan, ritual adat Rore Rusa dilaksanakan sehari sebelum semua masyarakat adat, anak suku, turun ke laut menangkap ikan menggunakan tangan.
Tradisi tahunan ini diwariskan turun temurun oleh para leluhur. Muara di hutan bakau ini dipilih karena di tempat tersebut pernah terjadi pertumpahan darah antara Beke Ndeta Sengaki melawan pendatang dari luar Flores yang ingin menguasai dataran dan wilayah Nabe.
“Selain ucapan syukur, memberi makan leluhur yang telah meninggal dunia guna menyelamatkan dan mengamankan wilayah Nabe, juga memohon perlindungan Tuhan melalui para leluhur agar masyarakat adat Nabe esoknya bisa masuk ke laut menangkap ikan,” tutur Simon.
Dua orang anak suku menggunakan sampan mengambil kambing sembelihan. Beberapa pemuda dengan sigap menguliti dan memotong kambing tersebut.
Kaum perempuan pun mulai membuat tungku dan mengumpulkan kayu bakar dari ranting-ranting bakau yang kering. Puluhan tungku terlihat berjejer di sisi utara tenda tempat ritual.
Ada yang menanak nasi dan ada yang memasak air panas. Ayam-ayam yang telah disembelih pun disiram air panas. Para perempuan mulai mencabuti bulu-bulu ayam lalu memasak dagingnya.
“Daging dimasak tanpa menggunakan bumbu atau penyedap masakan modern, hanya menggunakan garam saja. Nantinya semua makanan disantap bersama semua anak suku lambang kebersamaan dan persatuan,” ungkap Marselinus Minggu, Mosalaki Dere Waru.
baca juga : Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal Di Raja Ampat
Usai ritual diadakan musyawarah antara Mosalaki bersama segenap anak suku. Kedua belah pihak saling mengevaluasi hak dan kewajiban dalam sebuah dialog yang berjalan demokratis.
Lalu dilanjutkan dengan memberi makan leluhur di rumah adat. Semua anak suku pun makan bersama Mosalaki menggunakan alat makan dari anyaman dan tempurung atau batok kelapa.
Menjaga Lingkungan
Mosalaki mengatakan hutan mangrove, tempat ritual Rore Rosa merupakan sebagai simbol sejarah terjadinya pertumpahan darah sehingga harus dijaga kelestariannya. Ribuan pohon bakau tumbuh subur memenuhi areal sepanjang garis pantai wilayah desa Nabe.
“Dulu sejak dari tanah lapang di rumah terakhir yang berada di pinggir pantai, hutan bakau masih berjarak sekitar 30 meter lagi. Saat ini jarak 50 meter dari bibir pantai sudah tertutup oleh bakau,” tutur Bona Beke, warga Nabe yang menetap di Larantuka.
Simon selaku Mosalaki Sengaki yang berperan sebagai pengayom semua anak suku tegas mengingatkan kepada segenap anak suku serta siapapun yang menetap di Nabe untuk tidak boleh menangkap ikan menggunakan bom.
Menggunakan racun atau tuba dari akar pohon pun dilarang. Meskipun masih sedikit digunakan saat ritual adat sebagai simbol guna membuat ikan pingsan sementara sebelum ditangkap.
menarik dibaca : Ribuan Orang Berkumpul di Pantai di 7 Kabupaten di NTT. Ada Apa?
Serentak Menangkap Ikan
Jarum jam pagi itu, Rabu (23/1/2019) baru menunjukan pukul 05.00 WITA. Simon selaku Mosalaki Sengaki terlihat berjalan menuju muara tempat akan dilaksanakan ritual. Ribuan warga dari sekitar 16 desa di kecamatan Maukaro dan Wewaria mulai berkumpul di hutan bakau dekat muara.
Kaum lelaki dan perempuan terlihat membawa bakul anyaman tempat menyimpan ikan dari daun Lontar atau Enau dan Gebang berbentuk besar dengan tali yang dililitkan di pinggang.
Usai Mosalaki Sengaki membuat ritual adat dan berjalan melewati muara yang dipenuhi lumpur, semua anak suku pun berjalan di belakangnya. Setelah masuk ke laut, Sengaki dihantar perahu ke tengah laut.
Sebuah batang kayu ditancap di laut. Di atasnya dipasang tempurung kelapa untuk meletakan sesajen dan ayam. Setelah membuat ritual adat meminta restu. Sengaki yang berdiri di atas sampan memegang tombak di tangan kananya.
Sengaki menombak seekor ikan dan mengangkatnya ke udara sambil berteriak. Ritual Tiwu pun dimulai. Semua orang terlihat berbaris dan berjalan merangkak sambil meraba-raba ikan yang berada di dalam lumpur yang tertutup padang lamun.
Ikan ditangkap atau ditusuk menggunakan besi runcing yang ujungnya dipasangi tali. Ada yang menggunakan panah dan juga tombak dari bambu yang ujungnya dipasangi kawat runcing.
“Teluk Rera Wete ini kami pagar atau larang masyarakat menangkap ikan. Jadi sistemnya buka tutup. Enam bulan boleh menangkap ikan dan enam bulan sesudahnya dilarang tangkap ikan,” jelas Simon.
baca juga : Begini Komitmen Flores Timur NTT Memerangi Ilegal Fishing
Marselinus Meo dan Gabriel Posentis warga desa Khaberangga Tengah mengaku setiap tahun selalu mengikuti ritual Tiwu. Selain untuk menjaga kebersamaan, ritual ini pun unik dan mungkin satu-satunya di kabupaten Ende.
Luas Teluk Rera Wete sekitar 100 hektar yang menjorok ke timur. Daerah berlumpur ini dipenuhi padang Lamun (Enhalus acoroides). Ikan yang ditangkap saat Tiwu rata-rata Belanak, Tembang dan Baronang.
Mosalaki dalam strata sosial yang berlaku di masyarakat Flores bagian tengah, meliputi wilayah Lio, Ende, Nagekeo dan Ngada diartikan sebagai kepala sebuah komunitas sosial (suku), tuan di sebuah wilayah adat, atau pemimpin di sebuah tanah ulayat.
Saat ritual adat Tiwu yang digelar setahun sekali, setiap penggarap tanah suku atau Fai Walu Ana Kalo wajib membawa sebotol arak, sekilo beras serta seekor ayam. Ini sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada leluhur pemilik tanah yang digarap. Memberi makan para leluhur.