Mongabay.co.id

Cantiknya Paduan Pelestarian Lingkungan dan Hiburan di BJBR

***

Ketika hari mulai gelap, cahaya-cahaya makin berpendar di tengah hutan bakau. Lampu itu tidak terlalu terang, tetapi penuh warna-warni. Bentuknya juga beragam: ubur-ubur, kepiting, dan ikan.

Dengan latar belakang rimbun pohon bakau, warna-warni lampu aneka satwa laut itu lebih mudah menarik mata. Pengunjung pun berfoto-foto di atas jembatan kayu dengan latar belakang lampu aneka satwa laut itu.

Belasan “satwa laut” itu seperti menyambut para pengunjung yang datang ke Bee Jay Bakau Resort (BJBR). Tidak hanya satwa laut, BJBR menghadirkan banyak sisi cantik hutan bakau di tepi Pantai Probolinggo, Jawa Timur ini.

BJBR merupakan tempat wisata baru di Kota Probolinggo. Lokasinya di Tanjung Tembaga, pesisir utara kabupaten di pantai utara (pantura) Jawa ini. Dari semula hutan bakau kotor penuh sampah, tempat seluas 5 hektare ini kemudian disulap menjadi tempat cantik untuk wisata alam.

 

Pintu gerbang berbentuk jantung menyambut tiap pengunjung yang datang di BJBR, Probolinggo, Jatim. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Jembatan kayu di BJBR, Probolinggo,Jatim, dibangun mengikuti alur hutan bakau agar tidak merusak ekosistem. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sampah Membusuk

Menurut beberapa sumber, BJBR dibangun oleh tiga serangkai Benjamin Mangitung, Justinus Tan dan Juda Mangitung pada 2012. Ketiganya tergerak untuk menata hutan bakau karena kondisinya rusak. Sampah menumpuk dan berbau busuk di muara Kali Banger itu.

Seperti terlihat dalam foto sejarah pembuatan BJBR di situs resminya, muara sungai itu penuh sampah plastik. Karena lokasinya di muara, sampah membusuk itu menggenang bercampur air laut dan lumpur.

Benjamin Mangitung, pengusaha lokal, kemudian berinvestasi untuk mengubah kawasan seluas 89 hektare itu menjadi tempat wisata berbasis hutan bakau. Hingga saat ini, sekitar 15 hektare mereka manfaatkan dengan menambahkan berbagai fasilitas wisata tanpa menebang pohon bakau. Sisanya masih dibiarkan seperti sediakala.

“Tantangannya tidak hanya soal sampah, tetapi juga bagaimana mengembangkan kawasan ekowisata bakau tanpa merusak tanaman yang sudah ada,” kata Benjamin dikutip media resmi BJBR.

Untuk mewujudkan ide itu BJBR membangun jembatan dengan mengikuti alur pohon bakau yang ada. Panjangnya sekitar 700 meter. Agar tidak merusak pohon-pohon yang sudah ada, jembatan itu menyesuaikan dengan alur hutan bakau. “Ketika ada titik yang tidak ada pohonnya, maka di sana dipasang penyangga,” ujar Benjamin.

Menyusuri jembatan itu, pengunjung bisa melihat lebih dalam ke dalam hutan bakau dan mengenal ekosistem di sana. Di dalamnya, Benjamin dan tiga temannya membuat restoran tepi laut dan pondok (bungalow) tempat menginap terbuat dari kayu kelapa. Dengan begitu hutan bakau tetap terjaga dan warga juga bisa menikmati keindahannya.

 

Dua anak bermain dengan ikon BJBR. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sepeda gantung menjadi salah satu atraksi di BJBR. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Wisata Andalan

Tujuh tahun berselang, BJBR kini telah berkembang menjadi tempat wisata andalan bagi warga Probolinggo dan sekitarnya. Tempat ini menjadi pilihan wisata alam di kota tepi pantai utara (pantura) Jawa Timur ini selain tempat lain yang sudah terkenal sebelumnya, termasuk Gunung Bromo dan air terjun Madakaripura, terutama pada akhir pekan dan hari libur.

“Enaknya bisa ngajak keluarga jalan-jalan ke sini karena dekat,” kata Mukhlisin, salah satu warga Probolinggo.

Sopir angkutan umum itu mengaku sering ke sana bersama keluarganya pada sore hari. Alasannya suasana lebih teduh dan pemandangan juga terlihat lebih indah. Selain itu, berkunjung pada hari-hari biasa juga bisa mendapatkan tiket lebih murah, Rp20.000 dibandingkan pada hari libur atau akhir pekan yang naik dua kali lipat.

Pada akhir tahun lalu, ribuan pengunjung pun memenuhi hutan bakau yang dulu kumuh, tetapi kini disulap menjadi ekowisata tersebut.

Begitu masuk BJBR, pengunjung akan disambut pintu gerbang berbentuk jantung warna-warni. Pintu gerbang itu berdiri di tengah jembatan kayu membelah hutan bakau. Bentuk jantung dan warna-warni menjadi pemikat pengunjung untuk berfoto bahkan ketika baru masuk BJBR.

Dari semula hanya hanya 700 meter ketika baru dibangun, jembatan kayu itu kini sudah mencapai sekitar 2 km. Lebarnya sekitar 3 meter. Letaknya di bagian paling luar dari hutan sehingga di sisi utara bisa langsung melihat laut lepas sementara bagian selatan langsung bertemu rimbun hutan.

Dari jembatan utama, terdapat beberapa jembatan cabang mengarah ke beberapa bangunan dari kayu. Misalnya Musholla Nurul Bahr yang terlihat seperti mengapung di atas laut. Cabang lain mengarah ke lokasi hiburan, seperti sepeda gantung, bioskop mini, restoran, dan pondok menginap itu sendiri.

Semua fasilitas itu terlihat saling melengkapi sebagai tempat wisata alam. Seperti jembatan kayu di BJBR, semuanya telrihat bersih dan rapi.

 

Kuda troya di bagian ujung BJBR, Probolinggo. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Patung koda troya dan cumi-cumi raksasa menjadi salah satu ikon BJBR. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kuda Troya

Sebagai ekowisata, BJBR menghadirkan beberapa atraksi pula, seperti bermain kano dan sepeda gantung. Sayangnya, wisata kano ini hanya bisa dilakukan hanya ketika air pasang. Adapun sepeda gantung bisa dilakukan kapan saja dari satu titik ke titik lain berjarak sekitar 200 meter.

Bagian paling ujung dari jembatan kayu itu adalah kuda raksasa serupa kuda troya terbuat dari kayu. Tinggi kuda troya ini sekitar 7 meter. Terlihat menjulang tinggi di tepi ujung jembatan persis di tepi pantai.

Untuk masuk ke kuda troya ini pengunjung harus membayar Rp10.000 di luar tiket masuk BJBR. Masuk ke perut kuda troya terasa seperti pasukan Yunani di bawah pimpinan Achilles ketika bersembunyi di dalam perut patung kuda dari kayu dan kemudian menyerbu kota Troya. Bedanya, masuk kuda troya kali ini bukan untuk berperang, tetapi menikmati kecantikan hutan bakau yang kini berubah. Dari lautan sampah, hutan bakau itu kini terlihat begitu indah.

Ketika sudah petang, bukan gelap yang datang di BJBR tetapi indah lampu warna-warni di atas pohon bakau. Selain yang berbentuk aneka satwa laut, ada pula dibentuk serupa sayap malaikat ala mitos dewi asmara, Dewa Cupid. Hiasan ini melengkapi gembok cinta yang ditempelkan di salah satu titik.

Bagi warga Probolinggo dan sekitarnya, BJBR kini tidak hanya menjadi ekowisata kebanggaan tetapi juga tempat mengenal habitat bakau. “Ternyata kalau dikelola dengan baik, hutan bakau bisa jadi tempat wisata yang menyenangkan,” kata Masroah, ibu dua anak yang datang bersama suami dan anak-anaknya petang itu.

 

BJBR memiliki banyak titik menarik untuk foto termasuk sayap bidadari ini. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version