Mongabay.co.id

Sejak Giat Tanam Mangrove, Warga Kampung Payum Tak Perlu Mengungsi

Warga Gane Dalam yang berangkat dan pulang dari kebun mereka dengan menggunakan perahu. Warga setempat menggynakan perahu ke Teluk Kasawari untuk mencapai kebun-kebun mereka karena kawasan pantai ditumbuhi mangrove. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kampung Payum, Kelurahan Samkai, berada di pinggiran Merauke, Papua. Penduduknya orang asli Marind. Suku lain juga ada, seperti Bugis, Buton dan Makassar.

Masuk kampung itu, terlihat rumah-rumah di sebelah kiri terbuat dari pondasi kayu bulat. Ada yang menggantung jaring di halaman, ada sedang merajut jaring untuk tangkap ikan dan udang. Sebagian besar penduduk adalah nelayan.

Kala musim panas, tanah terbelah atau pecah-pecah karena kekeringan. Sebagian penduduk membiarkan mangrove tumbuh. Daerah ini langganan banjir karena kenaikan atau air laut pasang. Dampak banjir penduduk mengungsi ke tempat lain di dataran agak tinggi. Belakangan, warga Payum mulai bergiat tanam mangrove dan mereka mulai merasakan manfaafnya.

Kanisius Kahol, Ketua RT23 Kelurahan Samkai bercerita, awalnya banyak warga Kampung Wambi mencari udang dan ikan di daerah ini. Mereka membangun bevak, usai melepas penat setelah seharian mencari udang dan ikan. Akhirnya, mereka memilih menetap di Pantai Payum, hingga kini. Mereka tinggal di Dusun Tanjung Kelapa, Yamai, Ermasu, dan Nowari. Dusun dekat Pantai Buti.

Menurut warga, terjadi kesepakatan antara warga Payum asal Wambi dengan pemilik tanah. Mereka terus membangun bevak, seiring pertambahan jumlah makin banyak hingga berdirilah rumah penduduk. Makin banyak bevak, mereka memperluas Kampung Payum hingga melewati garis pantai.

Sementara penduduk Payum, yang mayoritas nelayan merupakan orang asli Marind. Pada 1970-an, pemerintah memasukkan mereka dalam RT23.

 

Hasil tangkapan nelayan langsung dibeli tak jauh dari pantai. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, awalnya hanya satu jaring, hingga mereka bergantian ke pasar menjual hasil tangkapan. “Kami harus jalan kaki pulang pergi ke pasar lebih baik, istirahat di Payum,” katanya.

Dulu, hasil tangkapan ikan melimpah, per hari menghasilkan Rp300.000. Ikan dan udang belimpah. Tutupan hutan mangrove lebat. Pelahan, penduduk bertambah, hutan mangrove terkikis. Kala, musim penghujan, mereka terkena banjir pasang dan harus mengungsi.

Daerah Payum, terletak di pantai yang berhadapan dengan Laut Arafura. Saat musim barat, ombak kencang.

Menyadari bahaya, warga Payum, pun mulai giatkan tanam mangrove. “Menjaga hutan mangrove tetap baik sangat penting,” kata Kahol. Itulah mengapa dia dan warga Payum, bergiat menanam mangrove dan bikin pembibitan.

 

Mangrove yang ditanam warga di Pantai Payum, Merauke. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Amalia Ester Padwa, Kepala Kelurahan Samkai, sepakat dengan sikap warga Payum yang menanam mangrove ini. Warga, katanya, swadaya menanam dan pelihara mangrove.

Koordinator penanaman mangrove, Ketua RT23. Kahol bertekad, menggiatkan tanam mangrove sebagai upaya pencegahan banjir setiap tahun saat musim penghujan. Kelurahan Samkai, katanya, biasa membantu mengungsikan warga Payum, dari pinggir pantai ke tempat aman.

“Ini sering terjadi, akhirnya ada usaha Ketua RT menanam bakau untuk menahan air laut, abrasi dan lain-lain,” kata Padwa.

Sejak 2015, Kahol mulai pembibitan mangrove. Belakangan, Dinas Lingkungan Hidup juga membantu pembibitan mangrove warga.

Setelah warga Payum rajin tanam mangrove, kata Padwa, kini tak perlu lagi mengungsikan mereka saat pasang datang. “Sejak 2017, tidak lagi mengungsikan warga. Sebelumnya, RT 20-23 di bibir Pantai Payum, selalu diungsikan dari rumah mereka. Sejak bakau ada, tak banjir ke darat,” kata seraya mengimbau warga terus menjaga mangrove. Dia juga mengucapkan terima kasih pada Dinas Lingkungan Hidup Merauke dan para peneliti bakau asal Universitas Negeri Musamus.

Warga menyadari, tanam mangrove banyak datangkan manfaaf. Tak hanya mereka aman dari banjir, penahan abrasi, juga jadi habitat udang dan ikan atau biota laut lain.

Elias Mitte, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Merauke mengatakan, Merauke memang terancam abrasi pantai. Gerakan menanam mangrove merupakan salah satu upaya melindungi pantai dari abrasi.

Dia bilang, dinas pernah tanam mangrove di Pantai Payum sampai Dusun Ndalir. Juga coba tanam mangrove di Okaba dan Tubang.

Menanam mangrove ini, katanya, ternyata tak mudah, terlebih di daerah berpasir. Selain itu, pantai di Merauke, pasang surut, dan angin kencang hingga jadi tantangan tersendiri untuk memelihara mangrove. “Saat bibit masih kecil, tersapu ombak, bila ditanam di lumpur batang bisa hidup.”

Mereka sudah coba tanam ribuan bibit mangrove, katanya, tetapi sebagian tak bisa bertahan.

Nova Suyawati, pengajar Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke bilang, ada dua lokasi penanaman mangrove, di Pantai Kayakai dan Payum. Di Payum, mangrove tumbuh sangat bagus, kerapatan tanaman luar biasa.

“Mungkin karena dipantau Dinas Lingkungan Hidup, warga sekitar, sesekali mahasiwa Universitas Musamus Merauke penelitian. Daerah ini sangat indah,” katanya.

Di Kampung Kayakai, mangrove tumbuh dengan batang lebih besar di ujung Muara Kali Maro. Warga sekitar mayoritas sebagai nelayan dengan hasil laut, seperti ikan, udang, kepiting, mumumu, kerang-kerangan, dan beberapa siput kecil. Dua kampung itu, katanya, bisa jadi daya tarik wisata.

 

Keterangan foto utama:    Ilustrasi. Mangrove yang terjaga banyak bisa melindungi dari bencana dan jadi rumah biota laut seperti udang dan ikan hingga bermanfaat bagi nelayan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Jarring jenis ini untuk menangkap udang di Merauke. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version