Mongabay.co.id

Tak Ada Kejelasan Kelola Hutan Adat di Papua jadi Celah Pebisnis Kayu Ilegal

Petugas KLHK memeriksa kontainer berisi kayu ilegal asal Sorong, Papua, yang diselundupkan ke Surabaya. Foto: Petrus Riski/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Januari lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, melalui Dirjen Penegakan Hukum, mengamankan 57 kontainer kayu ilegal dari Papua di Makassar, Sulawesi Selatan, menyusul penyitaan di Surabaya, Jawa Timur. Kayu-kayu milik pengusaha ini beredar tanpa perizinan lengkap alias ilegal. Kayu-kayu itu diduga didapat dari hutan-hutan ulayat di Papua.

Di Papua, pemilik hak ulayat protes karena tak ada kejelasan pengelolaan hutan adat mereka. Kala pemilik ulayat jual kayu ke pengusaha, jadi ilegal karena belum ada aturan jelas. Sementara, izin-izin kelola hutan kepada pebisnis terus keluar, pemilik ulayat jadi penonton.

Baca juga: Sudah 384 Kontainer Kayu Merbau Ilegal Asal Papua Diamankan

Pada Jumat ( 11/1/19), sekelompok masyarakat adat, aksi pemalangan Kantor Balai UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Papua di Kotaraja Jayapura, Papua. Aksi ini buntut kasus penahanan kayu-kayu perusahaan.

Pada 8 Januari, ada 57 kontainer kayu ilegal disita Direktorat Pencegahan dan Pengamanan Hutan, Ditjen Gakkum KLHK, di Pelabuhan Makassar. Kayu-kayu ini ini diketahui dari Papua. Kelompok masyarakat ini mengatakan kayu-kayu itu berasal dari wilayah adat mereka.

Masyarakat yang aksi difasilitasi Dewan Adat Papua ini dari Sarmi dan Jayapura. Mereka dikawal ketat aparat kepolisian.

 

Masyarakat pemilik ulayat aksi pemalangan Kantor Balai UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Papua di Kotaraja Jayapura Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Mereka mengatakan, KLHK tidak memberikan kepastian hukum atas hak pengelolaan hutan adat di Papua. Dinas Kehutanan Papua juga tak pro memperjuangan peraturan mengenai hak pengelolaan hutan adat itu. Kondisi ini dinilai menyulitkan masyarakat adat yang menggantung hidup dari hasil hutan kayu.

Kini, kayu-kayu mereka yang sudah diterima industri kayu disita pemerintah. Sebagian lagi masih tergeletak di pinggir jalan. Industri kayu menolak untuk menerima.

Baca juga: Penyelundupan 40 Kontainer Kayu Merbau Asal Papua Digagalkan

Daud Masari, Dewan Adat Suku Oktim, hadir dalam aksi ini. Dewan Adat Suku Oktim meliputi empat distrik yaitu Unurum Guay, Yapsi, Kaure dan Airu di Kabupaten Jayapura. Daud mengatakan, soal hak kelola hutan ini sudah lama jadi kebingungan masyarakat.

“Saya berkali-kali datang dari Unurum Guay ke Dinas Kehutanan (Papua). Pak, ini kebutuhan anak-anak sekolah, nanti bagaimana? Saya minta solusi. Dinas Kehutaan, suru ke polda. Ke polda, polda bilang pak itu bukan kayu police line, urusannya dengan dinas teknis.”

“Saya kembali lagi ke Dinas Kehutanan, ketemu Yan Pugu (Kepala Bidang Perlindungan Hutan), tidak bisa. Ketemu dengan Ridwan (Kepala Bidang Pembinaan Usaha Kehutanan) bahkan ke kepala dinas. (Dia) tolak ke KPK. Saya ke KPK, KPK bukan punya urusan ke situ. Mereka hanya pantau jangan sampai ada korupsi di dalam. Loh, kita ini nanti bagaimana?” katanya.

Daud bingung mengapa mengambil hasil hutan di wilayah adat disebut pembalakan liar. Padahal, katanya, hutan tempat mereka mengambil kayu adalah hak ulayat, bukan hutan negara.

Sisi lain, pemerintah telah mengeluarkan izin hak pengusahaan hutan (HPH) untuk perusahaan-perusahaan di wilayah hutan masyarakat adat ini. Di Sarmi, misal, ada PT Wapoga Mutiara Timber. Di konsesi HPH ini, masyarakat pemilik ulayat tak bisa lagi mengambil hasil hutan.

Perusahaan membayar sejumlah uang kepada ondoafi setempat. Karolus Uran, Ondoafi Kampung Ratra Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi mengatakan, sampai saat ini dia dibayar Wapoga Rp75.000 perbulan.

“Saya punya honor dari perusahaan Rp75.000 per bulan. Sampai hari ini saya masih terima itu. Itu yang saya menyesal. Saya mau ambil beras Rp75.000 tidak cukup. Saya punya hutan masih ada ini, belum hancur. Jadi saya koordinasi dengan dewan adat supaya jalan keluar bagaimana.”

Mereka, katanya, mau kerja di HPH Wapoga tak bisa. “Itu dia punya wilayah. Jadi itu yang kami alami. Yang biasa dibayar per kubik itu satu kubik Rp500.000. Satu truk lima kubik Rp2,5 juta. Itu yang kami datang supaya jelas.”

Dominggu Samobra, Ondoafi Suku Samobra dari Distrik Yapsi juga bercerita tentang pengalaman harus berurusan dengan aparat karena bermasalah dengan perusahaan pemilik izin HPH.

“Sudah berkali-kali saya ditindak aparat. Saya punya anak buah dipukul di dalam hutan HPH. Itu yang saya alami di Yapsi. Maka bertanya saya, ini masyarakat dari mana? Kami mau bekerja seperti apa? Karena tanah adat itu yang kita sudah bekerja. Di dalam tanah adat yang sudah ditunjuk oleh nenek moyang kita,” katanya.

 

Kusnadi, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi saat memberi keterangan kepada wartawan. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Yesaya Kaya dari Kabupaten Sarmi, Distrik Bongggo, Kampung Tetom Jaya ikut dalam aksi ini. Dia mengatakan, masyarakat sebenarnya bisa saja menuntut perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah mereka. Selama perusahaan beroperasi, hutan hancur padahal yang bayar kepada warga hanya kayu besi.

“Kalau kami mau tuntut bisa saja. Perusahaan besar ini seperti Wapoga, Yulim Sari, kami bisa tuntut. Kenapa? Daun gatal tidak dibayar. Aset kita itu belum dibayar. Rotan tidak dibayar. Bayar hanya kayu besi. Kami dirugikan.”

Kaya juga menceritakan, pengalaman menyelamatkan petugas Kehutanan yang dipukul masyarakat saat hendak mengamankan kayu-kayu yang menurut pemerintah ilegal ini.

“Kami minta kalau ada persoalan-persoalan itu supaya bisa dijelaskan aturan mana yang bisa mendukung.”

Dia menyoroti, pungutan liar di pos-pos pengamanan sepanjang jalan pengangkutan kayu. Mereka harus membayar kayu-kayu yang dicap ilegal oleh pemerintah ini.

“Kami di Kabupaten Sarmi mengalami persoalan begitu berat saat mengangkut kayu. Kami bisa jalan aman tetapi sepanjang jalan kami dituntut, setiap pos Rp150.000. Aturan ini ada atau tidak?” Dia katakan, ada juga pos-pos bayar sampai Rp300.000.

Masyarakat pun menyampaikan tuntutan agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan tentang hak pengelolaan hutan adat. Proses pembuatan peraturan ini, katanya, sudah lama terkatung-katung.

Mereka juga meminta kayu-kayu yang terlanjur ditebang bisa lanjut terdistribusi. “Kayu kita yang sekarang di jalan-jalan mau bagaimana? Lebih baik jadikan kayu bakar?”

Mereka mengancam akan membawa massa lebih banyak kalau tak ada solusi atas berbagai persoalan ini.

Masyarakat menuntut pelaksanaana putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyatakan, hutan adat bukan hutan negara.

Kusnadi, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi, KLHK mengatakan, masyarakat ini tak memahami regulasi. Dia menyayangkan aksi pemalangan ini.

Dia bilang, kementerian sebenarnya sudah mengakomodir MK35. Putusan ini, katanya, tak bisa berjalan tanpa ada aturan di level daerah, yaitu peraturan daerah.

Perda hutan adat belum ada padahal sangat penting untuk mengatur batas-batas wilayah adat. Kondisi inilah, katanya, jadi alasan KLHK belum mengeluarkan norma, standard, kriteria, dan prosedur (NSPK) untuk hak pengelolaan hutan adat.

Kusnadi mengaku belum berkoordinasi dengan Dirjen Gakkum tetapi berjanji meneruskan aspirasi masyarakat dan akan mendorong penerbitan NSPK.

 

Sebanyak 384 kontainer kayu merbau ilegal asal Papua diamankan. Foto: Dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

 

 

Akses legal warga adat

Aiesh Rumbekwan, Walhi Papua, sudah lama menyoroti kasus pembalakan liar ini. Dia bilang, para pengusaha yang beraktivitas ilegal ini sebenarnya bekerja sama dengan masyarakat pemilik ulayat. Kebutuhan uang, katanya, membuat masyarakat menerima siapapun yang mau membeli hasil hutan mereka.

“Bicara soal produk hukum nasional dan daerah, masyarakat tidak tau itu. Yang mereka tau pohon di saya punya tanah. Yang mau kerjasama, mari.”

Walhi Papua bersama berbagai organisasi masyarakat sipil di Papua, terus mendorong akses legal masyarakat adat dalam mengelola hutan mereka. Hak kelola masyarakat adat, katanya, sebenarnya sudah diatur jauh sebelum ada putusan mahkamah Konstitusi No 35 (MK35) soal hutan adat bukan lagi hutan negara.

Di Papua, katanya, Undang-undang Otonomi Khusus, sudah mengamanatkan hak pengelolaan hutan adat. Hal itu diatur dalam Perdasus Nomor 21/2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan.

Sayangnya, hingga kini tak bisa terimplementasi karena belum keluar NSPK dari KLHK.

Dia bilang, upaya keluar NSPK pernah dilakukan Dinas Kehutanan Papua, tetapi tidak jelas hingga kini.

“Ketika ada akses legal, tidak perlu orang luar datang bicara menyelamatkan hutan. Karena tidak ada akses legal, sekarang masyarakat adat bekerja sama dengan para pihak yang dianggap ilegal. Wajar saja.”

Agenda Walhi, mendorong wilayah kelola rakyat sebagai solusi perubahan iklim di luar skema pemerintah. Menurut mereka, wilayah kelola rakyat adalah pendekatan mitigasi efektif mencegah perubahan iklim.

“Solusi yang kami tawarkan, memanfaatkan kearifan lokal. Ketika mereka tidak diberi ruang, terus masyarakat akses ke hutan bagaimana?”

Dia meminta, pemerintah tak perlu ragu. Kearifan masyarakat adatlah, katanya, yang selama ini membuat hutan masih terjaga.

 

Perwakilan masyarakat adat menyampaikan tuntutan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam di Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Kadis Kehutanan Papua Tersangka

Masih terkait kayu ilegal, Kepala Dinas Kehutanan Papua, Jan Jap Ormuseray sudah jadi tersangka. Ia tindak lanjut kasus suap oleh pengusaha JPH kepada FT yang mengaku orang dekat kepala dinas ini.

Tangkap tangan terhadap terhadap FT pada Rabu (7/11/18), Tim Sapu Bersih Pungutan Liar Unit Pemberantasan Pungli (UPP) Papua. FT mengatasnamakan orang kepercayaan Kepala Dinas Kehutanan. FT memaksa JPH menyerahkan uang Rp5 miliar agar kasus dapat diselesaikan oleh Kadis Kehutanan Papua.

Dalam penelusuran Mongabay, FT adalah Direktur PT Semarak Dharma Timber (SDT). Kantor perusahaan ini beralamat di Kotaraja Jayapura. JPH adalah, Direktur Victory atau Victory Cemerlang Indonesia Wood Industry Unit III (CIWI III), berkantor di Waena, Jayapura.

SDT, dimiliki keluarga Tamstil dengan induk perusahaan Patria Group. Perusahaan ini mendapat konsesi HPH seluas 164.180 hektar tertanggal 20 Maret 2014 berlokasi di Distrik Senggi, Kabupaten Keerom.

SDT juga punya pabrik kayu di Distrik Waris, Keerom. Mengantongi usaha industri SK Menteri Kehutanan tertanggal 1 Maret 2013 untuk 36.000 kubik kayu gergajian per tahun.

Selain konsesi HPH, ada dua konsesi sawit milik Patria Group, yaitu PT. Semarak Agri Lestari dan PT. Patria Agri Lestari. Keduanya, ada di lahan alokasi penggunaan lain (APL) untuk pencadangan Kota Terpadu Mandiri Senggi Distrik Keerom. PAL sudah dapat IUP SK No. 03 dari Kepala BKPM Papua tertanggal 5 Oktober 2016.

Victory punya pabrik kayu di Nimbontong, Distrik Unurumguay, Kabupaten Jayapura, tempat Dinas Kehutanan menyita ratusan kubik kayu ilegal. Di Unurumguay, perusahaan ini mendapat izin usaha industri Nomor No. 13 tertanggal 3 April 2017 untuk 16.668 kubik kayu gergajian dan 2.564 kubik veneer per tahun.

PT Victory Cemerlang Indonesia Wood Industries juga punya izin sawit di ‘segitiga emas’ antara perkebunan PTPN II dan PT Tandan Sawita Papua di Arso Timur. Dapat izin lokasi dari bupati melalui Surat Keputusan Nomor 93 tahun 2013. Juga IUP SK Kepala BPTPM Papua Nomor 1 tertanggal 16 Maret 2015.

Yan Richard Pugu, Kepala Bidang Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Papua ditemui akhir tahun lalu mengakui, PPNS Dinas Kehutanan Papua sedang menangani kasus penemuan kayu ilegal PT. Victory. Adapun kasus lain yang sedang ditangani PPNS Dinas Kehutanan adalah dokumen palsu 81 kontainer kayu asal Nabire.

“Penyidikan lima perusahaan 81 kontainer, kasus kedua masih gelar perkara atau pengumpulan bahan keterangan, bahasa yang familiar di PPNS ke arah penyidikan kayu yang ditemukan di lokasi industri Victory. Itu yang sementara ditangani,” katanya.

Diduga kasus PT.Victory yang ditangani PPNS inilah yang terkait kasus suap kepada FT oleh JPH. Yan menolak mengomentari dengan alasan agar tak mengganggu proses hukum Polda Papua.

 

 

Keterangan foto utama:     Petugas KLHK memeriksa kontainer berisi kayu ilegal asal Sorong, Papua, yang diselundupkan ke Surabaya. Foto: Petrus Riski/ Mongabay Indonesia

 

Penyelundupan kayu merbau ilegal asal Papua sejauh ini berhasil digagalkan Dirjen Penegakan Hukum KLHK. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Exit mobile version