Mongabay.co.id

Tsunami dan Ketidakjelasan Mitigasi Bencana (Bagian 1)

Air menggenang di lapangan depan Kantor Syahbandar Desa Teluk, Labuan, Pandeglang, Banten, tiga hari pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Desa Teluk di bibir Pantai Labuan, Pandeglang, Banten, hari ketiga pasca tsunami. Saya menginjakkan kaki di lapangan cukup luas di depan Kantor Syahbandar Desa Teluk, Banten. Bangunan cat biru tua itu masih berdiri. Saya pernah ke sini Agustus 2017.

Kala itu, saya menyaksikan sejumlah nelayan mogok melaut karena protes PLTU I Labuan yang dibuang di laut.

Sekitar 50 meter sebelah kanan tembok, berdiri tugu nelayan. Warna keemasan, patung nelayan memegang ikan hasil tangkapan lengkap dengan caping dan pancing namun tembok dua kali semeter hancur. Rata dengan tanah. Sisa-sisa pecahan masih tampak. Lapangan cukup luas yang biasa jadi tempat parkir, penuh genangan air. Sisa-sisa sapuan tsunami berserakan. Potongan perahu, kayu-kayu—kemungkinan bekas rumah-rumah nelayan—, sampah, menumpuk.

Baca juga: Tsunami Selat Sunda Tewaskan 222 Orang, BNPB: Hindari Dekat Pantai dan Tetap Waspada

Saya menuju dermaga. Sebelumnya, dermaga itu selalu ramai dengan nelayan pulang melaut dan menyetor ikan tangkapan ke Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Labuan. Nelayan keluar masuk. Anak-anak bermain di tepi dermaga berpembatas teras, sekitar dua meter. Dari kejauhan tampak PLTU Labuan mengeluarkan asap pembakaran batubara.

Teras dermaga hancur. Berlubang sana sini. PPI tutup. Beberapa penduduk dan nelayan tak sedang menyetor ikan atau membuat ikan asin, seperti biasa. Mereka membongkar puing-puing rumah. Mencari barangkali ada benda berharga masih bisa diselamatkan. Rumah-rumah nelayan, pasar, yang memadati bibir pantai, hancur berantakan. Tak satupun utuh.

 

Desa Teluk, Banten, pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Tak ada proses evakuasi hari itu di Desa Teluk. Sebagian besar penduduk kampung nelayan ini bisa melarikan diri ke tempat lebih tinggi saat tsunami menyapu kampung pada Sabtu (22/12/18) sekitar pukul 21.30.

Ngungsi ke Kampung Mekui. Warange wong siki-siki, kampunge siki. Sing penting selamet wonge. Barang-barang ditinggal kabeh, mlayune kakaenan doang. Atu uwu berita itu langsung jegur. Basah, boro-boro persiapan do gasak bawak duit nggak dibawa. Ayo-ayo anak urang bujangan bujangan sampe serek incu incu. Dulur motore ilang kabeh, kecemplung,” kata Sumiah.

Perempuan Desa Teluk ini mencoba menceritakan, upaya mereka menyelamatkan diri dari kampung tanpa sempat membawa barang-barang mereka.

Baca juga: Banjir dan Longsor Terjang Sumatera Barat, Berikut Masukan Upaya Pencegahan

Malam itu, Sumiah sedang bersantai di depan televisi. Sudah agak mengantuk, namun dia belum terpejam. Tiba-tiba dia melihat orang-orang berlarian. Saat ditanya ada apa, orang berlari sambil teriak tsunami.

Tanpa pikir panjang Sumiah menyeret anak bungsu dan seorang cucunya. Mereka berlari kemana saja orang berlari. Ke tempat tinggi, ke kampung lain.

Siangnya dia mendatangi Desa Teluk. Semua hancur tersapu tsunami.

Amin, nelayan asal Desa Teluk, juga cerita. Malam kejadian, dia bersama nelayan-nelayan lain tengah ngopi di sebuah warung dekat PPI. Sebagian warga mancing di tepi laut.

Lewat pukul sembilan malam pemilik warung mulai beberes menutup warung. Saat itulah Amin, melihat air mulai naik. Sedikit demi sedikit menjilat daratan.

“Terus surut sekaligus, terus muntah, muntah semua,” kata Amin menggambarkan ‘muntahan’ tsunami datang malam itu.

Menurut Amin ada gelombang lebih kecil setidaknya dua kali sebelum gelombang ketiga yang terbesar menyeret rumah-rumah dan perahu-perahu nelayan.

Amin melihat semacam pusaran air sebelum kemudian mengajak anak dan istrinya lari menuju ke tempat lebih tinggi. Tak satupun benda sempat dibawa.

“Jangankan harta benda, pakai kolor doank,” katanya menunjuk sehelai baju kaos dan celana pendek selutut yang dia kenakan sampai hari ketiga ini. Amin bersyukur, seluruh keluarga, istri, anak dan orangtuanya selamat dari terjangan tsunami.

Sejak puluhan tahun lalu tinggal di Labuan, tsunami tanpa tanda apapun seperti ini baru pertama kali dialami Amin.

 

Sumber: BNPB

 

Baik Sumiah, Amin dan masyarakat Desa Teluk, lain tak menyadari tempat tinggal mereka selama ini berada di kawasan rawan bencana. Bagi para nelayan, hidup mereka memang di tepi laut.

Pemerintah menetapkan masa tanggap darurat mula-mula 14 hari untuk Pandeglang dan Serang, sampai 4 Januari 2019 dan tujuh hari untuk Lampung Selatan, sampai Desember 2018. Untuk Banten, 27 Desember 2018 sampai 9 Januari 2019.

Pada 28 Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 426 orang meninggal dalam peristiwa ini dan 23 orang lain masih hilang. Korban luka 7.202 orang, lebih 40.000 warga mengungsi.

Baca juga: Gempa dan Tsunami Palu-Donggala, Ratusan Orang Tewas, Infrastruktur Rusak Parah

Selain korban manusia, seminggu setelah gelombang tinggi dan besar menyapu pesisir pantai Selat Sunda dan Lampung, BNPB juga telah mengantongi catatan kerusakan 1.269 rumah, 78 penginapan dan warung, 434 perahu dan kapal, 69 mobil, 38 sepeda motor, satu dermaga dan satu shelter. Shelter termasuk kategori rusak berat.

Hingga beberapa minggu, BNPB masih terus memverifikasi pencatatan data. Data korban meninggal menurun, ternyata ada pencatatan ganda di Pandeglang dan Serang.

Kalau lihat peta, sebagian besar pesisir pantai berteluk terkena tsunami kecuali Cilegon. Wilayah yang dilaporkan mengalami dampak lebih parah merupakan tepi-tepi lekukan yang paling menjorok ke laut dibanding cekungan seperti Carita, Tanjung Lesung, dan Sumur.

BPBD Lampung dan Banten, mencatat panjang pantai terdampak tsunami 312,78 km, tersebar di empat kabupaten, Tanggamus 75,38 km, Lampung Selatan 66,25 km, Pandeglang dan Serang 171,15 km.

Pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau, praktis jadi pulau paling terdampak, seperti Pulau Sebesi dan Pulau Sebuku. Penduduk Pulau Sebesi, sekitar 1.600 jiwa, diungsikan ke Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.

 

Lapangan di depan Kantor Syahbandar Desa Teluk, Labuan, Pandeglang, Banten, tiga hari pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Melihat dampak dan potensi susulan bencana, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), unit di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) rekomendasi masyarakat dan wisatawan untuk tak beraktivitas dalam radius lima km dari puncak kawah Gunung Anak Krakatau.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga melarang masyarakat beraktivitas di sekitar pantai pada radius 500 meter hingga satu km dari garis pantai.

Tsunami vulkanik yang melanda Banten dan Lampung, ini mengakibatkan 351.000 penduduk terdampak, 209.628 jiwa di Banten dan 141.611 di Lampung. Kurang seminggu 99,1% layanan telekomunikasi sudah pulih di wilayah terdampak tsunami. Sembilan pos puskesmas juga didirikan Kementerian Kesehatan di Pandeglang dan satu di Serang.

Rumah Sakit Umum (RSU) Berkah Pandeglang dan RSUD Drajad Prawiranegara Serang juga ditunjuk sebagai rumah sakit rujukan korban tsunami.

Saat saya menyusuri sebagian jalanan di pesisir Pantai Carita, Anyer, dan Tanjung Lesung, pada hari ketiga pasca tsunami, akses jalan nyaris tanpa hambatan. Sehari sebelumnya, Presiden Joko Widodo, sudah datang mengunjungi beberapa titik terparah dampak tsunami.

Saat itu, presiden langsung memerintahkan BMKG membeli alat pendeteksi tsunami yang selama ini belum dimiliki negara meski titik rawan tsunami bertebaran di sepanjang pesisir pantai pulau-pulau di Indonesia. Alasannya, alat itu mahal.

Laporan BPBD kepada BNPB, evakuasi korban di laut sempat terhambat karena cuaca ekstrim seperti ombak tinggi di laut dan bibir pantai.

Saat itu, alat berat masih kurang, padahal urgen guna mempercepat proses penyelamatan dan pencarian serta membuka akses jalan terputus.

Dari rombongan relawan, saya mendapat informasi pada malam ketiga setelah tsunami akses jalan ke Kecamatan Sumur, satu titik terparah, ditutup karena air kembali pasang. Keesokan hari, akses buka kembali.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, mengatakan, wilayah terdampak tsunami luas hingga kesulitan penanganan bersamaan.

Terbatasnya alat derek juga jadi kendala memindahkan kendaraan rusak yang menghalangi jalan. Pemilik mobil tersebar di berbagai rumah sakit, bahkan ada yang sudah pulang.

 

Petugas melakukan pencarian korban tsunami Selat Sunda, Banten. Foto: BNPB

 

 

Mitigasi

Secara umum sebagian masyarakat Indonesia dan pemerintah daerah belum siap menghadapi bencana. Hasil kajian BNPB mengenai kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana, menunjukkan ada peningkatan pengetahuan. Meskipun begitu, pengetahuan ini belum menjadi sikap, perilaku dan budaya yang mengaitkan kehidupan dengan mitigasi bencana.

Dengan kata lain, kata Sutopo, budaya sadar bencana Indonesia masih rendah hingga perlu upaya serius dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesadaran.

Hasil penelitian indeks kesiapsiagaan per kota dan kabupaten di Indonesia pada 2012, menunjukkan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah masih rendah.

“Pengetahuan bencana meningkat tapi kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan dini, dan mobilisasi sumber daya masih minim.”

Setahun kemudian BNPB bersama UNFPA punya pilot survey pengetahuan, sikap dan perilaku menghadapi bencana.

Hasilnya, tingkat pengetahuan tentang bencana sudah baik tetapi masih belum jadi sikap dan perilaku.

Proses membentuk budaya masyarakat yang tangguh menghadapi bencana, kata Sutopo, perlu proses panjang, lintas generasi dan harus terus menerus. Pengurangan risiko bencana harus jadi investasi pembangunan di semua sektor.

“Tidak boleh hanya adhoc, perlu komitmen tinggi dari pemerintah dan pemda.”

Mengutip Kroeber dan Kluckhohn (1952), Sutopo mengingatkan tiga kelompok manusia berdasarkan cara pandangnya terhadap alam. Pertama, kelompok tradisional ditandai sikap tunduk dan pasrah terhadap alam.

Kedua, kelompok transformasi yang berusaha mencari keselarasan dengan alam. Ketiga, kelompok manusia moderen yang berhasrat menguasai alam.

Dari tipologi ini, Koentjaraningrat (1987) memasukkan orang Indonesia dalam kelompok tradisional dan sebagian kelompok transformasi.

“Jadi, sekalipun mengantongi telepon genggam terbaru dengan fasilitas ramalan cuaca, orang Indonesia cenderung pasrah terhadap alam,” kata Sutopo.

Mitigasi merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana ketika terdapat potensi bencana. Mitigasi sebagai serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana.

Dia jelaskan, ada dua jenis mitigasi, pertama, struktural misal, pembangunan bendungan, talud, bronjong, shelter tsunami, konstruksi tahan gempa, sistem peringatan dini, sumur resapan, dan lain-lain. Kedua, non struktural, misal kelembagaan, legislasi, penataan ruang, perencanaan, sosialisasi, diklat, penelitian, gladi, asuransi, penghijauan dan reboisasi.

 

 

Sayangnya, ucap Sutopo, mitigasi bencana yang bisa dimaknai upaya menyiapkan diri menghadapi risiko bencana, tak jadi prioritas.

Padahal, dalam beberapa bencana di Indonesia, mitigasi bencana berhasil menyelamatkan korban jiwa. Dia contohkan, saat erupsi Gunung Kelud di Jawa Timur, 13 Februari 2014, mitigasi bencana menyelamatkan 90.000 jiwa melalui evakuai aman dan tertib.

Peringatan dini banjir di Sungai Ciliwung dan Bengawan Solo, juga mampu memberikan peringatan kepada masyarakat untuk evakuasi atau mengantisipasi banjir setiap tahun.

Pembangunan sistem peringatan dini longsor kerjasama BNPB dan Universitas Gadjah Mada, kata Sutopo, juga menyelamatkan masyarakat di Karanganyar, Aceh Besar, Temanggung, dan lain-lain.

“Juga ada pembangunan bendung mini untuk panen hujan di Bantul, Yogyakarta,” kata Sutopo.

Mitigasi, katanya, harus terintegrasi dalam program pembangunan. Pengurangan risiko bencana dan harus menjadi prioritas pembangunan nasional dan daerah.

Untuk itu, BNPB berharap anggaran pengurangan risiko bencana dan mitigasi bencana naik.

Kajian Bappenas menyebutkan, idealnya untuk kegiatan pra bencana,–termasuk pengurangan risiko dan mitigasi bencana–minimal 1% dari APBN atau APBD. Cadangan penanggulangan bencana,—untuk dana siap pakai atau dana darurat dan pasca bencana— juga harus ditingkatkan, selain perlu juga asuransi bencana.

 

Kearifan lokal

Selain itu, dalam manajemen dan perencanaan penanggulangan bencana, perlu memadukan ilmu pengetahuan teknologi (Iptek) dengan kearifan lokal.

Sutopo memberi contoh memadukan iptek dan kearifan lokal dalam mitigasi bencana. Masyarakat di sekitar Gunung Slamet di Banyumas, punya kearifan lokal anstisipasi erupsi Gunung Slamet. Tandanya, air jadi panas di Pancuran 7 dan Pancuran 3, Baturaden. Satwa turun gunung di Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang, Banyumas.

Baca juga: Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok Ini dari Gempa

Kearifan ini didampingi penerapan iptek untuk mitigasi erupsi Gunung Slamet dengan pemasangan empat seismograf dan sensor vulkanik, membuat peta kawasan rawan bencana. Juga, penyusunan rencana konstruksi, sosialisasi, simulasi atau gladi serta pengembangan desa tangguh bencana termasuk desa nelayan di pesisir pantai.

Akhinya, kata Sutopo, dalam penanggulangan bencana dari manusia ke manusia. Sistem peringatan dini bencana harus menyeluruh. Satu sistem terdiri dari kumpulan sub sistem, yaitu alat, sosialisasi, edukasi, kearifan lokal, partisipasi masyarakat, mata pencaharian masyarakat, politik lokal, kebijakan publik, dan lain-lain.

“Jadi semua sistem harus dikaji menyeluruh,” katanya.

Ia meliputi bagaimana peringatan dini dari alat bisa diterima masyarakat, kemudian mengikuti perintah peringatan dini itu. Sayangnya, hal ini seringkali kurang dipahami dan saat bencana terjadi saling menyalahkan. Masing-masing, katanya, merasa sudah memasang alat peringatan dini, padahal tak menyeluruh dalam satu sistem.

 

Perkampungan adat Desa Beleq, Lombok Utara, tetap utuh mesti gempa menghantam berulang kali. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia

 

 

Mati suri

Saat Presiden Joko Widodo meminta BMKG membeli alat peringatan dini tsunami, BNPB langsung mengusulkan kepada presiden agar tak hanya membeli alat. BNPB usul pemerintah melanjutkan masterplan pengurangan risiko bencana tsunami (PRBT) yang pernah dibuat tahun 2012.

Setelah gempa bumi 8,5 SR pada 11 April 2012, dalam pertemuan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II lima hari setelah gempa, di Istana Bogor, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan BNPB menyusun masterplan PRBT bersama kementerian, lembaga terkait dan perguruan tinggi.

Dalam masterplan 146 halaman yang disusun selama dua bulan pasca gempa Aceh ini ada pembelajaran yang bisa diambil dari bencana gempa yang membuat masyarakat panik dan tak evakuasi dengan benar.

Kapasitas sistem peringatan dini tsunami atau sering disebut sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) sebagai satu-satunya early warning system negara di bawah BMKG. Meski telah berjalan baik—karena kurang dari lima menit setelah kejadian berhasil mengeluarkan peringatan dini tsunami—, namun banyak masalah dalam diseminasi atau penyebaran informasi dari nasional ke pemerintah daerah lalu ke masyarakat.

Salah satu poin evaluasi dalam masterplan ini menyebut aspek teknis peringatan dini perlu fokus pada rantai peringatan dini tsunami. Respon pemerintah pengambilan keputusan evakuasi dan arahan dukungan pemerintah daerah dalam evakuasi.

Dalam rantai peringatan dini BMKG pada gempa Aceh 2012, kurang lima menit BMKG berhasil mengeluarkan peringatan dini pertama, yang disebarluaskan lewat berbagai moda komunikasi. Lalu, mengeluarkan peringatan lanjutan sesuai format dan prosedur dan langkah lanjutan.

Namun diseminasi atau penyebarluasan informasi masih terhambat karena peringatan dini pertama sampai keempat tidak diterima beberapa pihak karena kendala teknis seperti perangkat tak berfungsi, listrik mati, faksimil tidak diterima, SMS terlambat. Juga kendala non teknis seperti nomor telepon genggam resmi lembaga belum didaftarkan ke BMKG, pesan email atau SMS diterima di alamat pribadi, atau email tak dibuka.

Kala itu, situs BMKG juga crash karena pengunjung berusaha mengakses meningkat drastis. Pesan peringatan dini pertama sampai keempat format panjang belum dipahami rantai utama peringatan baik di nasional, daerah pun media.

Bagaimana respon pemerintah daerah? Agar dapat menerima pesan dengan baik, BPBD harus bisa menerima pesan singkat 24 jam sehari, tujuh hari seminggu tanpa gangguan sistem alat komunikasi maupun sumber daya listrik. Gempa yang dapat menimbulkan tsunami bisa terjadi kapan saja, Pusdalops BPBD harus dapat menindaklanjuti kapanpun.

 

Kondisi Desa Teluk, Banten, pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Sayangnya, peringatan dini belum dapat menjangkau cepat kepada masyarakat. Pelayanan peringatan dini tsunami, saat itu dinilai perlu menggunakan prosedur tetap (protap). Protap penting untuk pengambilan keputusan dan penyebaran informasi dengan cepat.

Dalam peringatan dini tsunami juga perlu ada pendelegasian wewenang resmi. Sebab, peringatan dini tsunami harus tersebar dalam waktu singkat. Biasa, kala terjadi gempa bumi, listrik padam dan jalur komunikasi terputus segera.

Tak kalah penting, sinkronisasi protap dari provinsi, kabupaten dan kota karena tsunami bisa terjadi lintas batas administratif. Saat masterplan ini dibuat, kondisi BPBD di daerah sebagian besar jauh dari kapasitas untuk mengendalikan operasi pemberian peringatan dan evakuasi.

Meski BMKG telah menginstal perangkat warning receiver system (WRS) yang memungkinkan BPBD menerima pesan peringatan dini dalam waktu kurang lima menit, saat itu alat tak berfungsi optimal.

Pada kejadian 11 April 2012, sirine-sirine tanda evakuasi ada yang aktif, ada yang gagal. Sirine-sirine aktif dari BMKG bukan pemerintah daerah. Belum ada kejelasan pembagian peran antara pemerintah daerah dan BMKG dalam memberi perintah evakuasi kepada masyarakat. Kondisi ini, katanya, bikin kerancuan di lapangan.

Sirine yang tidak berfungsi atau harus dinyalakan manual di lapangan bikin terlambat, kurang lebih satu jam setelah gempa terjadi. Ada beberapa masalah teknis seperti listrik padam dan tak ada baterai cadangan, komunikasi terputus.

Juga peralatan sirine tak terawat baik, beberapa petugas juga tak tahu cara menyalakan alat.

Ketidakjelasan dalam pengambilan keputusan membuat masyarakat bingung atas makna dan fungsi sirine. Ada masyarakat menganggap, bunyi sirine adalah tanda peringatan dini. Mestinya, sirine bermakna perintah evakuasi.

Celakanya, saat masterplan disusun, sirine di beberapa daerah belum diserahterimakan ke daerah karena belum punya dana perawatan. Saat itu, perawatan sirine BMKG kontrak ke pihak ketiga tetapi perawatan belum baik.

Dalam kasus gempa Aceh 2012, tempat evakuasi sementara (TES) juga tak bermanfaat maksimal. Masyarakat panik, ditambah lagi tak paham makna sirine dan jalur evakuasi, berlarian dengan bingung. Mereka evakuasi mandiri, masih dengan kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Sebagian masyarakat bahkan tak mendengar arahan dari pemerintah daerah untuk evakuasi. Mereka lari ke dataran tinggi dan tak memanfaatkan gedung TES. Masalah lain, gedung TES hanya untuk evakuasi tsunami. Jadi, perawatan dan biaya operasional dinilai membebani pemda.

Respon masyarakat terhadap gempa yang mendahului tsunami sangat beragam. Keputusan masyarakat untuk evakuasi dipengaruhi pengalaman sebelumnya.

Di Sumatera Barat, cukup jauh dari pusat gempa, masyarakat merasakan gempa tak kuat. Sebagian warga tak evakuasi, hanya keluar rumah. Sebagian lagi evakuasi setelah mendengar sirine.

Di Banda Aceh, karena gempa kuat dan masih ada trauma tsunami 2004, masyarakat cenderung segera evakuasi ke tempat aman atau tinggi.

 

Penampakan tepian pantai di Banten, yang porak poranda pasca tsunami. Foto: BNPB

 

Karena minim pemahaman dan infrastruktur penyelamatan, masyarakat masih panik dan bikin macet pada jalur-jalur evakuasi karena sebagian besar menyelamatkan diri dengan kendaraan dan sama-sama menuju satu titik evakuasi tertentu.

Selain itu, tak ada arahan hingga evakuasi tak sesuai dan melampaui golden time, 10-30 menit, setelah gempa. Masyarakat cenderung tak langsung evakuasi tetapi berusaha kembali ke rumah mencari keluarga.

Saat itu, masyarakat tak menerima peringatan dini secara resmi dari pemerintah daerah namun dari SMS dan televisi atau radio. SMS diterima orang per orang. Televisi dan radio menerima pesan melalui alat instalan di master control room media BMKG.

Media sesuai prosedur sudah menyampaikan peringatan dini melalui breaking news. Namun, dalam masterplan disebutkan media belum mengerti makna pesan peringatan dini pertama sampai keempat. Hingga informasi yang sampai ke masyarakat terbatas. Radio komunitas berperan penting dalam diseminasi informasi ini.

Sirine bukanlah peringatan dini tetapi perintah evakuasi resmi oleh pemda. Waktu itu, masih ada masyarakat yang merasa perlu mendapat kepastian gejala tsunami dan pergi ke pesisi pantai untuk melihat air surut. Selain masih ada juga yang memaksakan diri evakuasi dengan kendaraan, masyarakat masih tak sepenuhnya percaya pada bangunan evakuasi vertikal jadi masih mencari tempat tinggi meski jauh.

 

 

Rencana induk tak beranggaran

Lantas, apa yang direncanakan dalam masterplan hingga BNPB meminta pemerintah mengaktifkan kembali masterplan ini? Ada empat program yang disusun.

Pertama, penguatan rantai peringatan dini. Harus ada kejelasan dan kerangka hukum jelas siapa yang memberi peringatan dini dan kewenangan dalam mata rantai peringatan dini disertai pendidikan dan pelatihan atas jenis dan makna peringatan dini. Ini kunci penting pengambilan keputusan, tindak lanjut dan informasi kepada masyarakat.

Penguatan juga dilakukan dengan penyusunan protap dan peningkatan komunikasi yang tangguh. Penguatan rantai peringatan dini juga harus dilengkapi sirine atau alarm yang dipasang pemda dan bisa berbunyi kurang dari 10 menit setelah gempa bawah laut.

Sirine ini akan membantu warga mengetahui tsunami akan datang dan semua orang segera evakuasi. Sistem peringatan dini tsunami juga harus dilengkapi teknologi peringatan sederhana terutama untuk wilayah pesisir yang padat kampung nelayan misal dengan memanfaatkan pengeras suara masjid atau lonceng gereja untuk memberi peringatan evakuasi atau sistem yang dipasang di infrastruktur penting seperti pelabuhan, depo BBM, kilang minyak dan lain-lain.

Kedua, pembangunan dan pengembangan tempat evakuasi sementara. Juga harus dibuat rencana evakuasi berdasarkan informasi yang benar dengan peta bahaya tsunami atau peta risiko tsunami yang detil per kabupaten yang diperkuat dengan kerangka kebijakan hukum di daerah.

Peta evakuasi tsunami memperlihatkan rute-rute arah evakuasi bagi masyarakat menjauhi pantai dan menuju tempat evakuasi dan rambu sesuai kebutuhan. Peta harus disebar di beberapa tempat di sepanjang pantai terutama di wilayah padat penduduk, tempat objek wisata, resor atau hotel dan pusat kegiatan masyarakat.

Mengenai tempat evakuasi sementara ada beberapa kriteria yang disebut dalam masterplan yakni harus tahan gempabumi, punya jumlah lantai yang aman—lebih tinggi dari perkiraan tsunami—, dan dalam kondisi normal bangunan juga berfungsi sebagai bangunan umum hingga memenuhi aspek keberlanjutan.

Untuk kelompok masyarakat pesisir, perlu dibangun menara tempat evakuasi sementara dengan tinggi 7-10 meter yang kokoh dan tahan hingga gempa 9 SR serta kuat menahan hempasan gelombang tsunami.

Letaknya harus disebar di sepanjang pantai dalam jalur evakuasi tsunami. Lokasi harus dicapai dalam jarak tempuh berlari 20 menit. Atau dapat juga diletakkan di atas jalan raya sekaligus berfungsi sebagai jembatan penyeberangan.

Selain menara juga harus ada bangunan tempat evakuasi sementara yang lokasi di keramaian, strategis dan mudah dijangkau.

Dalam membangun ini harus dilibatkan tokoh masyarakat agar ruang disediakan seusia kegiatan yang dibutuhkan.

Partisipasi masyarakat akan menumbuhkan rasa memiliki. Bangunan umum seperti masjid, sekolah, rumah sakit, kantor juga dapat sebagai tempat evakuasi.

Ide lain, bukit buatan, untuk daerah pemukiman di dataran pantai landai dan luas dan tak ada bangunan gedung tinggi. Bukit buatan ini bisa jadi sebagai taman kota, lapangan olahraga atau fasilitas umum lain.

Bagi daerah pantai dengan perbukitan bisa cukup menggunakan bentang alam yang ada dengan membuat jalan atau rute evakuasi memadai. Rute ini bisa juga sebagai jogging track.

Ketiga, penguatan kapasitas kesiapsiagaan pusat pengendalian operasi (pusdalops) penanggulangan bencana sebagai lembaga yang memandu evakuasi sekaligus pusat informasi bencana. Ini dilengkapi pembentukan dan penguatan relawan sebagai garda terdepan dalan evakuasi darurat dengan pelatihan rutin.

Keempat, pembangunan kemandirian industri instrumen kebencanaan. Indonesia, kata Sutopo, harus jadi tuan rumah untuk ini. “Indonesia harus jadi laboratorium kebencanaan,” katanya.

Masterplan ini memerlukan dana Rp16,7 triliun. Sayangnya, setelah berjalan dua tahun pembahasan, 2013-2014, berhenti pada 2015 karena tak ada anggaran. (Bersambung)

 

Keterangan foto utama:      Air menggenang di lapangan depan Kantor Syahbandar Desa Teluk, Labuan, Pandeglang, Banten, tiga hari pasca tsunami. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Evakuasi korban tsunami di pesisir pantai di Lampung. Foto: Basarnas

 

 

 

 

 

Exit mobile version