- Sebagian besar wilayah Indonesia telah masuk musim hujan. Sisi yang lain, ada bencana banjir tapi juga ada daerah yang kekeringan saat musim kemarau.
- Perlunya pemanfaatan air hujan sebagai sumber utama air bagi kebutuhan sehari-hari. Hal itu telah dipraktekkan di sejumlah tempat di Bali.
- Selain sistem tandon air penampung air, juga ada sumur injeksi yang mengalirkan air permukaan mengisi lapisan akuifer tanah.
- Tiap daerah memiliki tantangan tersendiri dalam konservasi sumber air, misalnya alih fungsi hutan, perambahan, pengurangan lahan tangkapan air, yang berdampak seperti longsor, air bah, dan macetnya distribusi air.
Awal tahun ini, sejumlah bencana alam saat musim hujan mendera beberapa daerah di Indonesia. Di sisi lain, tak sedikit yang kekurangan air terutama saat musim kemarau.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dalam laporan analisisnya menyebut pada Februari ini, perkiraan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia akan tinggi. Namun secara umum curah hujan tahun ini di wilayah Indonesia diprediksi pada kriteria sedang. Kecuali di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur bagian tengah, dan Papua bagian tengah dengan curah hujan tinggi.
Sekitar 88% wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan, kecuali di sebagian Lampung, Jabar bagian Utara, Jatim bagian timur, sebagian NTB, NTT, Sulsel, Sultra, Sulteng, Maluku, dan Papua bagian Selatan.
Dengan potensi ini, sejumlah warga dan komunitas mempraktikkan pemanfaatan air hujan dengan beragam alasan. Pertama, karena daerahnya kering, tak ada akuifer di bawah tanah. Kedua, kesadaran ekologi mengurangi penggunaan air bawah tanah walau kawasannya masih terakses aliran air bersih. Berikut sejumlah contohnya di Bali.
baca : Memanen Air Hujan ala Romo Kirjito
I Wayan Sukadana, warga Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali ini sangat tergantung pada air hujan untuk akses air bersih di rumah maupun penginapannya. Warga kepulauan Nusa Penida sudah turun temurun membuat cubang, sebuah sumur penampung air hujan.
Cubang tersambung pipa paralon yang mengalirkan air hujan dari atap genteng. “Kita pakai filter air dengan pasir kuarsa, untuk minum pakai Nasava filter khusus air minum,” urainya soal pengolahan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum, mandi, dan lainnya.
Selain cubang model tabung seperti sumur, ada warga Nusa Penida yang membuat cubang dengan bentuk balon yang lebih kuat dan tidak mudah retak, serta menghasilkan air lebih jernih karena endapannya terkumpul di bagian bawah.
baca juga : Merekayasa Resapan Air Hujan dan Mencegah Banjir di Kota Semarang. Seperti Apa?
Filter khusus
Warga kompleks Taman Petanu Eco Neighborhood, Alam Santi, Gianyar, juga memanfaatkan air hujan sebagai sumber air utama sehari-hari. Area ini di hilir, terakses air bersih dari pemerintah atau sumur bor, namun penghuni Alam Santi sengaja ingin memanfaatkan air hujan untuk mengurangi tekanan penggunaan air tanah.
Setiap rumah dilengkapi talang air khusus yang kuat, dilengkapi jaring kasa untuk menyaring kotoran, dan terhubung ke tangki air dalam rumah. Ukuran tangki disesuaikan dengan perhitungan jumlah penghuni dan kebutuhan air sehari-hari, serta luas permukaan atap bangunan sebagai media panen air hujan pertama. Ada kalkulator yang mampu memperhitungkan angka kebutuhan air bulanan.
Sebelum menuju tangki, ada beberapa titik pengontrol sumbatan aliran, pipa pembuang aliran air pertama hujan yang kotor dan pipa filter khusus yang membunuh bakteri, kuman, dan lainnya, sehingga air layak minum.
“Di rumah, saya perlu air bawah tanah biasanya selama seminggu saja bila benar-benar musim kering, setelah hujan lagi, gerimis saja, tangki mulai mengisi kembali,” ujar Petra Schneider, pendiri Alam Santi, sebuah agensi usaha dan konsultan sustainibility living. Ia menyebut banyak model air hujan lainnya yang disesuaikan dengan situasi geografis.
menarik dibaca : Simon Sanjaya, Sang Inovator Air Hujan
Sedangkan di Kantor PPLH Bali di Denpasar, bak penampungan air hujan ditempatkan di atas permukaan tanah. Risikonya terpapar matahari sehingga memungkinkan organisme hidup. Namun untuk menguranginya, tandon dicat hitam.
Perbedaan lainnya, filter air menggunakan material lapisan-lapisan batu, kerikil, arang, ijuk untuk mengurangi cemaran dan diletakkan di dalam pipa saluran air ke tandon. Namun aliran air hujan pertama masuk ke pipa buangan karena kotor.
Model ini memungkinkan untuk skala kecil karena air tidak disalurkan kembali ke pipa-pipa konsumsi air dalam rumah seperti toilet dan dapur.
baca juga : Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau
Sumur injeksi
Recharge well atau sumur imbuhan/resapan ini diyakini sebagai salah satu cara efektif menjawab krisis air. Dampaknya jangka panjang untuk mengisi lapisan tanah akuifer yang mengandung air. Ukurannya jauh lebih besar dibanding biopori dan lebih cepat menginjeksi air ke tanah. Sehingga cadangan air tanah terjaga, tidak terbuang ke sungai lalu ke laut. Juga mengurangi risiko banjir.
“Saat hujan, air permukaan paling banyak tapi kotor. Harus ada penyaring kotoran dan bisa ditanami tumbuhan atau rumput agar tanah tak lari ke sumur,” jelas Gede Sugiarta, salah satu staf Yayasan IDEP yang membuat demplot recharge welldi kantornya, Kemenuh, Sukawati, Gianyar.
Sumur resapan ini menjadi programadopt a wellmengandalkan kolaborasi agar bisa dibuat lebih banyak. Cara kerjanya juga mengandalkan air di talang bangunan, dialirkan ke sumur resapan berkedalaman sekitar 3 meter, yang disaring alami dengan lapisan kerikil, dan ijuk.
menarik dibaca : Cara Ini Lebih Efektif Menyimpan Air ke Tanah Dibanding Biopori
Krisis makin nyata
Tiap daerah di Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam konservasi sumber air. Misalnya alih fungsi hutan, perambahan, pengurangan lahan tangkapan air, dan lainnya. Dampaknya makin nyata, misal longsor, air bah, dan macetnya distribusi air oleh pemerintah.
Di Bali sudah ada beberapa riset mengenai krisis air ini. Saat ini jumlah turis ke Bali totalnya lebih dari 10 juta orang per tahun dari luar dan dalam negeri. Sementara jumlah penduduk lebih dari 4 juta orang. Permintaan air sekitar 5,4 juta meter kubik per tahun sementara persediaan sekitar 4,7 meter kubik.
Dengan rata-rata kebutuhan air setiap orang sebesar 183 liter/hari (konsumsi, mandi, dsb), menjadikan kebutuhan air penduduk lebih 750 juta liter per hari. Belum lagi untuk kebutuhan turis. Jika jumlah kamar 77.496 kamar (kompilasi data PHRI Bali 2014), dan rata-rata per kamar perlu 2000 liter saja, maka jika kamar itu terisi 50% diperlukan sedikitnya 160 juta liter per hari. Namun ada ratusan villa yang tak teregistasi, akomodasi online, dan lainnya. Belum untuk kebutuhan kolam renang.
Dari data 2015, jumlah penduduk yang dilayani PDAM 78 ribu unit dari 800 ribu orang penduduknya. Jika dibanding dengan unit rumah tangga maka cakupannya sekitar 45%. Total produksinya 1200-an liter per detik, sementara kebutuhan 1400an liter per detik. Defisit hampir 200 liter per detik.
Apa siasat pemenuhan air bersih untuk pembangunan yang terus melaju?