Mongabay.co.id

Petani Hutan Rinjani, Dulu Panen Jagung, Kini Andalkan Madu

Syarifudin memperlihatkan stup mulai dipenuhi sarang lebah trigona. Di kelompok tani HKm yang dia pimpin, ada 2.000 stup. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Syarifudin memulai pagi dengan menikmati kopi hitam. Selepas itu, dia berjalan ke kebun mete berjarak 50 meter dari rumahnya. Di kebun itu, Syarifudin memeriksa rak-rak berisi stup, kotak kayu persegi yang jadi rumah lebah. Stup itu milik anggota kelompok sekitar 32 orang. Ada 2.000 stup untuk lebah trigona, dan 300 stup lebah Apis cerana.

Saban hari, jika musim panen tiba, kebun mete itu dipenuhi para petani. Mereka panen. Tak pernah ada petani tertukar stup. Selain disimpan dalam rak berbeda, mereka juga menandai stup dengan nama atau tanda lain. Untuk stup Apis cerana, digantung di pohon mete.

“Cerana ini menyengat,’’ kata Syarifudin saat ditemui Mongabay pertengahan Januari 2019.

Satu stup ini rata-rata menghasilkan 500 ml madu. Ada yang kurang 500 ml, ada yang lebih, tergantung cuaca. Musim hujan hasil lebih sedikit dibandingkan kemarau. Produksi madu juga dipengaruhi ketersediaan pakan berupa sari bunga. Syarifudin menanam berbagai jenis bunga di kebun itu, termasuk di pekarangan rumah. Hampir semua sudut atap rumah, sebelum gempa, jadi tempat menyimpan stup trigona. Setelah gempa 5 Agustus 2018, produksi sedikit terganggu lantaran banyak stup jatuh karena rumah roboh.

Kalau hanya beberapa stup, Syarifudin, panen manual. Memeras dengan tangan. Kalau panen cukup banyak, dia pakai alat untuk memeras madu. Alat itu disimpan di rumah Syarifudin, yang sekaligus jadi ketua kelompok usaha bersama Girang Gelek Genem.

Setelah panen, para petani menjual langsung ke langganan. Sebagian petani menitip lewat Syarifudin. Dia dipercaya sebagai pengepul hasil panen madu.

Untuk 250 ml Rp75.000, 500 ml Rp150.000, dan 1.000 ml (satu liter) Rp300.000. Kalau membeli dalam volume banyak, harga bisa turun. Syarifudin juga memberikan kesempatan bagi pedagang.

“Kami titip di koperasi Bank Indonesia, di Kantor KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan-red) juga,’’ katanya.

Untuk panen perdana, setelah memasukkan ratu lebah ke stup, perlu waktu enam bulan. Panen perdana juga hanya menghasilkan 250 ml. Untuk panen seterusnya hanya perlu tiga bulan. Karena masa panen cukup pendek ini, beberapa warga di Dusun Belencong, Desa Mumbulsari, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, kampung halaman Syarifudin, membuat stup sendiri. Ada 2.000 stup jadi milik kelompok tani itu bertambah sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dengan masa panen pendek ini, Syarifudin merasa madu ini masa depan sumber penghasilan rutin kelompok mereka. Tanaman hutan lain seperti mangga dan kopi, hanya panen sekali setahun.

Untuk tanaman musimam yang pernah ditanam tak bisa lagi tumbuh. Tegakan berupa sengon, mahoni, dan bajur di dalam hutan kemasyarakatan (HKm) di Mumbulsari, sudah terlalu rapat.

“Kalau dihitung-hitung lebih banyak hasil dari madu ini dibanding jual mangga,’’ katanya.

 

Madu lebah Apis cerana rasanya manis digantung di pohon mete. Lebah ini menyengat hingga ditaruh di tempat lebih tinggi. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Setelah tutupan pohon rapat

Sebelum membudidayakan madu trigona dan Apis cerana, para petani di kampung yang berbatasan dengan hutan bertani tanaman semusim seperti cabai, padi, dan jagung. Pada 1990-an hutan itu termasuk lahan kritis. Banyak penebangan liar, baik untuk penjualan maupun pemanfaatan lahan untuk tanaman semusim. Daerah itu juga cukup gersang dan banyak ilalang.

Pada 1997, para petani di desa sekitar kaki Gunung Rinjani, seperti meliputi Santong, Selengen, dan Salut di Kecamatan Kayangan, maupun Mumbulsari di Kecamatan Bayan, mendapat hak pengelolaan. Untuk Desa Mumbulsari, mendapat izin pemanfaatan 100 hektar, digarap 126 keluarga petani.

Lahan kritis itu ditanami sengon, mahoni, dan bajur. Petani juga dapat izin untuk menanam buah-buahan, sebagian besar mangga. Lahan kering cocok untuk budidaya mangga. Petani juga menanam kopi, yang lebih banyak buat konsumsi sendiri.

Sambil menunggu pohon itu tinggi, para petani menanami dengan tanaman semusim. Padi jenis gogo rancah, cabai, dan sayur-sayuran tanam saat musim hujan. Syarifudin juga tanam jagung. Belakangan ketika jagung marak, banyak petani menanam jagung.

“Lima tahun lebih saya tanam jagung,’’ katanya.

Pohon di dalam HKm mulai tumbuh, buah mulai menghasilkan, tanaman semusim mulai berkurang. Dengan sendirinya, jagung yang pernah mendominasi ditinggalkan petani.

Masalah baru muncul. Pendapatan petani mulai berkurang. Kalau dulu hampir setiap bulan mereka mendapat uang dari tanaman semusim, kini mengandalkan buah sekali setahun. Mangga membuat Mumbulsari, terkenal seringkali ketika harga panen panen anjlok.

Pada 2000-an, para petani sudah berburu madu hutan. Hutan masih terjaga jadi sumber madu. Pada 2006, madu hutan sumber pendapatan tambahan petani. Saat itu, belum ada madu budidaya.

Awal 2012, WWF Nusa Tenggara, mendampingi petani di HKm Santong. WWF masuk di Desa Mumbulsari. Dari diskusi panjang dengan petani. Petani mau dilatih budidaya lebah trigona. WWF melatih mereka cara mengenali ratu lebah, mengajar cara memindahkan “bibit,” membuat stup dan mempelajari jenis sumber makanan. Awalnya, mau menaruh stup di kawasan HKm, tetapi kalau madu itu bisa mencari makan di sekitar kebun sendiri, petani memutuskan menyimpan di kebun karena lebih mudah dikontrol dan mudah panen.

 

Ketua petani HKm Mumbulsari, Syarifudin berdiri di depan rak stup madu trigona budidaya di kebun miliknya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Memasuki tahun kedua budidaya trigona, petani merasakan hasil. Sebanyak 32 petani HKm bergabung dalam satu kelompok. Selain pelatihan, mereka juga kerap mengikuti kegiatan-kegiatan untuk peningkatan kapasitas kelompok.

“Sekarang, saya jarang masuk hutan, pas panen saja,’’kata Syarifudin.

Sebelum budidaya madu trigona dan Apis cerana, petani sempat kebingungan buat tambahan pendapatan. Tak semua petani HKm memiliki kebun sendiri. Lahan HKm jadi andalan utama mereka.

Syarifudin sempat khawatir kalau tegakan makin lebat dan tak bisa sama sekali ditanami tanaman semusim, petani akan menebang karena cabai, jagung, padi, dan sayur-sayuran memerlukan sinar matahari. Tegakan pohon di HKm makin lebat.

Kendala HKm Mumbulsari saat ini, pemasaran madu. Kalau panen berlimpah, mereka kebingungan cari pasar. Koperasi milik kantor kantor pemerintah tempat menitip tak bisa menerima semua. Selain itu, toko oleh-oleh tempat menjual juga tak bisa membeli terlalu banyak. Sementara pemasaran lokal di Lombok Utara, sangat terbatas. Tak banyak pembeli datang langsung ke tempat mereka.

Menjual di kios-kios di Lombok Utara, juga tak banyak yang membeli. Apalagi setelah gempa, wisatawan ke Lombok Utara, merosot drastis.

“Sekarang masih banyak sisa panen kemarin ketika gempa. Belum laku. Sedikit tamu,’’ kata Syarifudin.

Sebenarnya, petani ingin menjual langsung madu ke pembeli di luar daerah tetapi belum tahu cara memasarkan. Pemasaran sistem online belum dikenal. Apalagi di daerah mereka jauh dari pusat kota hingga kesulitan mengirim barang via kantor pos atau kurir. Para petani masih bergantung pada toko oleh-oleh dan kantor pemerintah di ibukota provinsi.

“Kalau bisa kami diajar cara jualan keluar daerah,’’ katanya.

 

Jumayar, pemandu wisata susur sungai di Gumantar, menuruni dinding salah satu air terjun di sungai di kawasan hutan. Para pemuda di Gumantar mulai mengembangkan ekowisata. Foto: dokumentasi Jumayar/Mongabay Indonesia

 

 

Hukum adat ketat jaga hutan

Di Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, HKm bersisian dengan hutan adat. Di Desa Selengen, HKm berbatasan dengan Dusun Tangga, dusun paling tinggi. Di Desa Gumantar, hutan berbatasan dengan Dusun Desa Beleq, Dusun Lenggorong, dan Dusun Gumantar.

Secara administrasi desa, Tangga dan Desa Beleq itu berada di desa berbeda. Secara adat, mereka satu kesatuan. Kalau ada acara adat di Tangga, warga Desa Beleq, akan datang. Begitu sebaliknya. Pengelolaan hutan juga mirip. Walaupun di Tangga, batas hutan adat tak sejelas Desa Beleq, mereka meyakini tak boleh merusak hutan. Tak heran, HKm Selengen, kelestarian HKm Santong cukup terjaga. Tegakan cukup lebat. Selengen adalah sentra kemiri. Selain itu, hutan adalah sumber air bersih beberapa desa di bagian hilir.

Hutan Gumantar, didominasi sengon. Sengon ditanami pada 1997-1998. Pada 2009-2011, beberapa investor tertarik mengambil sengon itu. Beberapa investor itu mengutus tim mereka. Mereka melobi para tetua adat, kepala dusun, kepala desa, dan masyarakat dekat hutan. Keinginan mereka, sengon itu ditebang dan masyarakat sekitar hutan mendapat manfaat. Mulai dari proses penebangan, pemilihan, dan pengangkutan. Bahkan ada janji jika pengolahan kayu di sekitar Desa Gumantar.

Saat itu, masyarakat Gumantar tak mengizinkan. Mereka merasa hutan penuh sengon itu hutan milik negara. Kalau perusahaan mau meminta izin, seharusnya pada pemerintah. Hutan itu juga berbatasan dengan hutan adat. Mereka khawatir kalau terjadi penebangan, akan merusak hutan adat Gumantar.

Bagi masyarakat Gumantar, hutan bukan sekadar kawasan yang ditumbuhi pepohonan dan masyarakat memanfaatkan kayu itu. Bagi masyarakat Gumantar, hutan adalah tempat sakral. Hal ini bisa terlihat dari setiap upacara adat di Gumantar mulai prosesi memandikan gong di sebuah sumur di dalam hutan adat. Gong yang disimpan di rumah tetua adat itu dikeluarkan jika ada upacara adat, seperti upacara selamatan hasil pertanian, maulid adat, dan gawe beleq (pesta besar). Setelah dikeluarkan gong itu dibawa menuju mata air di dalam hutan adat. Bahkan, para pengiring gong itu, baik dewasa dan anak-anak harus melepas sandal ketika memasuki kawasan hutan adat.

“Bukan hanya sanksi pemerintah, sanksi adat berat,’’ kata Sahirman, Kepala Dusun Desa Beleq Gumantar.

Denda kambing, sapi, hingga dikucilkan berlaku bagi masyarakat yang menebang liar. Sanksi berat inilah yang membuat masyarakat berpikir panjang jika ingin menebang kayu. Kecuali jika kayu itu untuk kebutuhan komunal.

Ketaatan pada hukum adat ini bisa terlihat ketika gempa, 100% rumah permanen di Dusun Desa Beleq Gumantar, roboh pada 5 Agustus 2018. Saat ini, masyarakat tinggal di hunian sementara (huntara) terbuat dari tripleks, spandek, dan kayu. Masyarakat dusun ini sepakat hunian tetap mereka meminta bangunan semi permanen yang berbahan kayu dan bambu.

Hutan yang berbatasan dengan kampung halaman mereka menyimpan potensi kayu. Kalau mau, warga tinggal jalan kaki dan menebang kayu di hutan. Kondisi ini, terjadi di beberapa desa lain yang berbatasan dengan hutan. Setelah gempa, keperluan kayu untuk pembangunan rumah makin meningkat. Tak sedikit kayu diambil dari hutan. Bagi masyarakat adat Gumantar, mereka tabu mengambil kayu.

“Biarlah kami agak lama di huntara ini, kalau ambil kayu di hutan kami tidak berani,’’ kata Sahirman.

WWF juga masuk mendampingi di Gumantar. Masyarakat memanfaatkan hutan dan kebun sebagai lokasi budidaya lebah trigona. Di kebun yang berbatasan dengan hutan adat, stup digantung di kakao. Stup yang lebih besar dibuatkan tiang penyangga dari bambu. Budidaya madu di Gumantar, tak sebanyak di Mumbulsari, masyarakat lebih banyak mengkonsumsi sendiri.

Mereka memiliki rencana jangka panjang, kalau rekonstruksi gempa tuntas, akan menggalakkan ekowisata. Di hulu hutan Gumantar, ada air terjun Tiu Ngumbak, sebagai lokasi favorit pecinta susur sungai.

“Sebelum gempa sudah banyak tamu datang,’’ kata Jumayar, pemandu wisata.

Dia menunjukkan, beberapa foto di tetelon genggamnya. Foto wisatawan mancanegara sedang menuruni tebing di dinding air terjun. Wisata susur sungai jadi jualan satu agen perjalan wisata di Mataram. Mereka bekerjasama dengan para pemuda di Gumantar.

“Selain susur sungai, tamu juga bisa melihat permukiman adat. Itu kelebihan kami.”

 

 

Madu hasil panen para petani HKm di Desa Mumbulsari, siap dipasarkan. Selama ini mereka titip di toko oleh-oleh dan koperasi milik kantor pemerintahan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Syarifudin memperlihatkan stup mulai dipenuhi sarang lebah trigona. Di kelompok tani HKm yang dia pimpin, ada 2.000 stup. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version