Mongabay.co.id

Berebut Lahan di Hutan Harapan, Nasib Restorasi?

Memandang pilu, Hutan Harapan, yang sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

“Hutan tempat kami bergantung hidup, bukanlah sekadar ucapan, ini kenyataan,”kata Rusman, kepada saya melalui percakapan seluler.

Rusman, adalah pengurus adat Batin Sembilan, tinggal di Sungai Kelompang, Jambi. Suara terdengar tegas saat mendengar klaim wilayah adat oleh rombongan Jufri. “Hutan adat, tapi bukan hutan duit,” katanya.

Sejak lama, katanya, dia mendengar nama Jufri jual beli lahan kepada masyarakat luar. Namun, dia tak pernah bertemu selama ini. “Saya baru bertemu kemarin, saat mereka demo di camp PT Reki (Restorasi Ekosistem-red),” katanya.

Baca juga: Hutan Harapan Masih Hadapi Beragam Ancaman

Berdasarkan data perusahaan, di area klaim Kelompok Jufri, banyak indikasi jual-beli lahan dan pembalakan liar. “Hutan Harapan memiliki bukti “jual-beli” lahan hutan kepada para pendatang dengan mengatas namakan Suku Anak Dalam, dengan transaksi sekitar Rp1 miliar,” kata Adam Aziz, Head of Strategic Partnership and Land Stabilization Reki.

Kasus ini, katanya, sudah dilaporkan ke Kapolda Jambi, Kapolri, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Selama 2018, kasus pembalakan liar di Masai Rusa, termasuk Pangkalan Ranjau, sampai 18 temuan.

Dalam silsilah Suku Batin Sembilan, kata Rusman, terbagi dalam beberapa wilayah, dan batas-batas sungai sebagai penanda tempat kelompok. Jadi,wajar kalau ada kelompok satu tak mengenal kelompok lain selain nama.

 

Hutan Harapan, dengan beragam keterancaman. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Pada Rabu (6/2/19), Kelompok SAD Pangkalan Ranjau, aksi di Camp Hutan Harapan, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Rombongan ini Jufri dengan sekitar 70 orang lain.

Demonstrasi Kelompok SAD Pangkalan Ranjau atau dikenal dengan sebutan Kubu lalan menuntut pertanggungjawaban Reki atas pembakaran rumah warga Suku Anak Dalam, September 2017.

“Komitmen Reki bertanggungjawab atas pembakaran rumah adik saya tertuang dalam surat yang mereka tandatangani dan disaksikan pejabat KLHK, hingga kini mereka ingkar,” kata Jufri, Pimpinan Adat Suku Anak Dalam Pangkalan Ranjau.

Pembakaran pondok warga SAD di Pangkalan Ranjau, September 2017 menurut Reki, selaku perusahaan pemegang izin restorasi adalah bagian dari tindakan pengamanan.

“Yang dimaksud rumah milik SAD oleh Jufri cs dan LSM Agra, pertama, pondok terpal plastik dan kedua, rumah warga pendatang, bukan SAD, yang menebang hutan masih bagus dan terindikasi transaksi jual beli melalui anggota Jufri,” kata Adam.

Pembalakan liar dan pembukaan hutan, katanya, di zona lindung Hutan Harapan. “Ini tindakan pidana. Karena itu penertiban sesuai prosedur, didahului sosialisasi, pemberian informasi, tindakan persuasif serta meminta membuat pernyataan tertulis untuk tak mengulangi perbuatannya.”

“Kegiatan ini bersama-sama dengan aparat pemerintah. Apalagi, Jufri cs dan Agra sudah menyetujui komitmen, siapapun yang melakukan perbuatan pidana akan ditindak tegas sesuai hukum.”

Selain soal pembakaran, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra), selaku lembaga pendamping Kelompok Jufri juga menuding ada adu domba perusahaan—Reki– terhadap Agra dengan Suku Batin Sembilan, yang sudah bermitra dengan perusahaan.

 

Unjuk rasa Kelompk Jufri, di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Ade Ahmad, dari Agra dalam rilis menuding, Reki, sedari awal memang tidak ingin warga SAD hidup nyaman dan sejahtera di tanah nenek moyang mereka. Ketika warga SAD sibuk membangun kebun, menata zona hidup termasuk hutan-hutan larangan, perusahaan memberikan ruang dan mendiamkan kelompok-kelompok yang mereka fasilitasi menebang hutan di areal adat secara masif. Cara ini, katanya, melahirkan kompetisi di kalangan masyarakat.

“Bahkan, hanya mengecek ke lapangan bersama atas pembukaan hutan masif oleh kelompok yang mereka fasilitasi saja mereka mengiyakan untuk hadir, tapi tak datang, perusahaan sedang mengadu domba masyarakat,” katanya.

Saat ini, sekitar 121 keluarga SAD Batin Sembilan, sudah bikin nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan Reki dan mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin-KK). Tercatat, delapan kelompok masyarakat telah menandatangani MoU Kemitraan Kehutanan dengan Reki, empat telah mendapat Kulin KK yang diserahkan Presiden Joko Widodo pada 16 Desember 2018.

Mereka ini empat kelompok SAD Batin Sembilan Marga Batin Kandang Rebo Bawah Bedaro (Kelompok Tanding, Kelompok Sungai Kelompang, Kelompok Gelinding) dan satu kelompok migran KTH Hijau Alam Lestari di Kunanganjaya II.

Rusman mengatakan, kelompok mereka bersama 40-an warga SAD Batin Sembilan, rutin patrol bersama, karena merasa harus menjaga area adat. “Kami menjaga hutan ini bukan karena perusahaan (Reki), ini rumah kami.”

Benturan sering terjadi di lapangan ketika mereka menghalau dan menghadang para perambah dari luar wilayah dan para pelaku tindakan ilegal lain keluar dari kawasan MoU dan area adat mereka.

Baca juga: Nasib Hutan Harapan dengan Segudang Masalah Lahan

Ketika Mongabay, mewawancarai, Ade Ahmad meluruskan pernyataan dalam rilis soal adu domba. Dia bilang, yang dimaksud adu domba adalah Kelompok Jufri dengan kelompok perambah yang notabene pendatang. Namun, dia tak menjelaskan, adu domba seperti apa.

 

Ekowisata di Hutan Harapan. Menuju Puncak Manik di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Laki-laki yang dipanggil Ipang ini mengatakan, kondisi saat ini di Pangkalan Ranjau, ada masyarakat pendatang yang membuka hutan besar-besaran.

Masyarakat, awalnya pendatang yang dapat lahan lewat Jufri, namun melanggar kesepakatan untuk penebangan besar-besaran. ”Awalnya masyarakat ini Kelompok Jufri, karena mereka tak mengikuti aturan penebangan soal tanam, tumbuh dan tunggu. Masyarakat ini tidak melakukan. Maka pihak Jufri tidak mau mengakui kelompok bagian dari mereka,” katanya.

Manajemen Hutan Harapan mengatakan, tuntutan dan unjuk rasa karena penangkapan pelaku pembalakan liar di Sungai Jerat, atas nama Sarkowi pada 24 Januari 2019. Sarkowi, menebang kayu di zona -Hutan Harapan, diamankan dengan barang bukti chain saw, papan dan kayu batang.

Pembalakan liar, katanya, merupakan pidana kejahatan kehutanan, maka pelaku tertangkap lalu bawa ke polisi. Dia ditahan di Polres Batanghari. Pasca penangkapan Sarkowi, Jufri selaku Depati SAD Pangkalan Ranjau, dan seorang dari Agra menghubungi manajemen Reki dan mendesak pembebasan Sarkowi.

 

Pertemuan Reki dan Kelompok Jufri setelah unjuk rasa. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Kebakaran hutan, masalah baru

Pada 2018, terjadi  kebakaran hutan dan lahan, seluas 120 hektar di kebun Kelompok Jufri. Kelompok Jufri, menuding Reki, tak membantu, bahkan kala mereka menangkap pembakar dan diserahkan ke polisi, pelaku bebas. Kelompok Jufri menuding, pelaku dibebaskan perusahaan tanpa koordinasi dengan lembaga adat SAD Kubu Lalan.

Perusahaan bilang tak tahu menahu soal pembebasan pelaku. Ketika seorang diduga pembakar lahan, bernama Nur ditangkap dan diserahkan ke polisi, Hutan Harapan malah sangat berterima kasih.

Reki berharap, pelaku kena proses hukum karena yang paling dirugikan justru manajemen Hutan Harapan sebagai pemegang izin konsesi. Belakangan, polisi melepaskan pelaku. Menurut polisi, penyidik kekurangan bukti.

“Karena pelaku sama sekali tidak ada kaitan dengan Hutan Harapan, Jufri cs dan LSM Agra disarankan mempertanyakan ke Polres Batanghari,”kata Adam.

Soal kebakaran, Adam bilang, Reki tak bisa bantu memadamkan api karena ada pemasangan portal dan perusakan jembatan. Hingga saat kebakaran dalam wilayah perambahan dan klaim Kelompok Jufri cs tak terjangkau oleh tim pemadam Reki.

Ipang mengatakan, ada sekitar 800 keluarga terdiri dari Suku Batin Sembilan dan masyarakat pendatang diterima kelompok dengan luasan lahan sekitar 2.000 hektar yang beralih dari hutan jadi perkebunan di Pangkalan Ranjau.

Dia sebut, jika Jufri malah lebih sedikit membuka dibandingkan pihak lain (masyarakat pendatang).

“Kalau kita bisa lihat, malah dibandingkan masyarakat pendatang yang sudah dikeluarkan dari rombong Jufri, Jufri malah lebih sedikit membuka lahan,” kata Ipang.

 

Hutan Harapan, jadi sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Rusman bercerita, yang mereka inginkan hutan tetap terjaga, bukan jadi kebun sawit ataupun gedung. Kalau selama ini ada Kelompok Batin Sembilan yang bersepakat dengan Reki, katanya, karena ada kesamaan prinsip menjaga rumah meeka. “Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana jika tak ada Reki yang bersama kami menjaga hutan, ini pasti sudah jadi ajang rebutan lahan. Tak ada yang tersisa, semua akan habis diperjual-belikan pihak tak bertanggung jawab,”katanya.

Soal wilayah adat, Rusman menunjuk wilayah itu tanah tempat dia dan komunitas berdiam di Sungai Kelompang sampai Fokus tiga. “Ini disebut bakal petas, kanal rebu, wilayah adat ada di sini berdasarkan silsilah adat.”

Sebagai pengelola pertama kawasan restorasi ekosistem, Reki menawarkan alternatif memperbaiki hutan dan isinya. Kegiatan dalam konsesi ini antara lain, pemulihan hutan dengan pengayaan dan penanaman yang meningkatkan potensi vegetasi, baik produksi maupun perbaikan habitat satwa liar.

Hutan Harapan jadi kawasan hidup dan jelajah sekitar 228 Keluarga Batin Sembilan. Hutan harapan juga didiami lebih 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 123 jenis ikan, 55 jenis amfibi, 71 jenis reptil, 1.311 jenis pohon. Sebagian flora dan fauna tidak ditemukan di hutan lain di Indonesia bahkan dunia. Sebagian lagi, sudah sangat langka dan terancam punah, seperti harimau Sumatera, gajah, beruang madu, ungko, bangau storm, rangkong, jelutung, bulian, tembesu dan keruing.

 

Keterangan foto utama:   Memandang pilu, Hutan Harapan, yang sudah berubah jadi kebun sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version