Mongabay.co.id

Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya

Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

 

 

Pada Desember 2012, dalam konferensi pers di sela-sela forum bisnis Islam di Malaysia, seorang lelaki bernama Chairul Anhar, membuat pernyataan berani. Dia menyatakan, perusahaannya telah memegang izin 4.000 kilometer persegi tanah untuk perkebunan sawit di Indonesia.

Luasan ini mencapai enam kali Provinsi Jakarta dan terletak persis di jantung pulau burung, Papua. Chairul menampilkan diri bak investor yang sudah menggenggam Papua. Dia mengaku sebagai presiden, CEO, dan pemilik konglomerat bernama Menara Group. Dia berpergian dengan mobil mewah Bentley dan jet pribadi.

Proyek Tanah Merah ini tak lain rencana mengeruk uang miliaran dolar AS dari pembabatan hutan tak tersentuh. Kawasan ini merupakan hamparan hutan terluas tersisa di Asia Pasifik. Hutan bakal jadi kebun sawit.

 

 

“Ketika Anda melihat pulau itu dari atas, bahkan sampai hari ini pun, sebagian besar yang Anda lihat adalah hamparan luas hutan hujan,” kata Bruce Beehler, ahli biologi di Smithsonian Institution.

Dia pernah menghabiskan empat dekade untuk mempelajari pohon dan burung di Papua. Beehler coba memberikan gambaran kondisi alam dan tutupan hutan di sana.

“Saya dapat meyakinkan, bahwa hutan di (sepanjang aliran sungai) Digoel sangat kaya dan kemungkinan memiliki jutaan spesies invertebrata, mikro-organisme, dan tumbuhan lain,” katanya.

“Mereka mungkin menyimpan bermacam hal yang belum diketahui dan kelak bisa sangat berguna bagi umat manusia di masa depan jika kita dapat mengenali dan memahami mereka.”

Investigasi ini coba mengurai bisnis dan hubungan Chairul dengan proyek ini. Terungkap, betapa kepemilikan proyek ini penuh misteri. Para investor yang bersembunyi di belakang proyek ini menggunakan berbagai cara dan taktik menyamarkan wajah mereka.

 

Struktur kepemilikan dua perusahaan yang ikut mengantongi hak atas Proyek Tanah Merah setelah dilakukannya penjualan ke Tadmax Resources
Struktur kepemilikan empat perusahaan yang ikut mengantongi hak atas Proyek Tanah Merah setelah dilakukannya penjualan ke perusahaan anonim di UEA

 

Berbagai modus mereka lakukan, antara lain pakai perusahaan-perusahaan cangkang (shell companies) dengan alamat palsu, peminjaman nama sejumlah orang sebagai pemegang saham (fake and proxy shareholders). Juga pendaftaran perusahaan di tempat-tempat di mana identitas para pemegang saham maupun pemilik sebenarnya dari perusahaan itu tak dapat ditelusuri (secrecy jurisdiction).

Para pemegang saham kebanyakan hanyalah kedok. Mereka bagai boneka. Perusahaan-perusahaan itu pun layaknya tameng yang menyembunyikan aktor sebenarnya yang mendapat manfaat dari proyek itu. Entah, apakah itu betul-betul Chairul Anhar sendiri atau justru orang lain.

Hingga kini, siapa sesungguhnya pemegang saham atau pemilik utama dari perusahaan-perusahaan di balik proyek itu masih berselimut kerahasiaan.

Akhir 2012, sebagian besar saham di sejumlah perusahaan cangkang dijual ke perusahaan-perusahaan lain yang beralamat di Timur Tengah dan Singapura. Transaksi penjualan itu menyalurkan uang sekitar US$ 80 juta ke jaringan para pemegang saham yang terhubung dengan Chairul dan menyeret berbagai aktor baru ke dalam proyek, antara lain mantan Kapolri, sebuah keluarga kaya raya dari Yaman.

 

Seorang pria dan anak Suku Auyu di Boven Digoel, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Proyek ini juga melibatkan dua perusahaan pembalakan kayu dengan reputasi terburuk di dunia dari Malaysia, yaitu Shin Yang dan Rimbunan Hijau.

Shin Yang, sekaligus pemegang saham utama dalam pabrik pengolahan kayu (sawmill) yang sedang dibangun di Boven Digoel. Sedangkan Rimbunan Hijau, tak lain pemegang saham kecil di salah satu perusahaan yang ikut memegang hak konsesi perkebunan.

Kedua perusahaan ini, berada dalam sorotan publik terkait skandal lingkungan dan pelanggaran HAM berulang-ulang, termasuk yang terjadi di Lembah Kongo dan Papua Nugini.

Sebelum proyek ini, Chairul Anhar, pernah merencanakan pengembangan perkebunan gula massif di Kepulauan Aru, Maluku. Proyek itu berhasil gagal setelah terkuak berbagai kejanggalan dalam proses perolehan perizinan.

 

 

Pada Proyek Tanah Merah pun, masyarakat tak dapat mengakses dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Bahkan, instansi terkait di Pemerintah Papua, yang memainkankan peran penting dalam proses penilaian, mengaku tak tahu isi amdal ini.

Bagaimana izin Proyek Tanah Merah, diperoleh tak kalah misteriusnya. Ketika proyek hendak dimulai, Bupati Boven Digoel kala itu, Yusak Yaluwo, ditangkap dan dipenjara di Jakarta atas korupsi anggaran daerah. Dari hasil penelusuran ini, terkuak, Yusak menandatangani dokumen-dokumen penting proyek ini dari balik penjara!

Hutan di mana proyek ini berada merupakan rumah bagi Suku Auyu, masyarakat adat di Papua, sekaligus harta karun keragamanhayati tak ternilai. Kalau kawasan itu benar-benar dikembangkan, di sanalah akan terbangun satu-satu perkebunan sawit terbesar di Indonesia.

Penduduk kampung sekitar proyek takut, khawatir, resah dan alami intimidasi atas kehadiran polisi dan tentara.

“Aparat keamanan menjadi tameng yang bisa membantu mereka untuk memperlancar bisnis. Itu membuat masyarakat merasa tidak aman,” kata Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka, sebuah LSM yang bekerja sama dengan masyarakat adat di Indonesia.

 

Pembangunan sawmill yang sedang berlangsung, 2018. Foto oleh Ulet Ifansasti untuk Greenpeace

 

Warga desa merasa tertekan dalam menandatangani dokumen terkait proyek yang tak mereka pahami. Mereka pun tak mendapatkan kesempatan menyampaikan pendapat atau pandangan soal proyek ini.

Warga menceritakan, seorang warga dipukuli sampai tewas oleh aparat pada pertemuan yang diselenggarakan untuk membahas proyek.

Menurut hasil wawancara dengan warga dan informasi yang dikumpulkan Franky maupun pastor dan pendeta setempat, penduduk desa diiming-imingi berbagai janji agar mau mendukung proyek.

Akhirnya, tak ada satu pun janji-janji perusahaan untuk masyarakat terwujud, seperti pengadaan listrik, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

 

Deforestatsi di Boven Digoel, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Perkebunan sawit berskala besar telah menjadi salah satu pendorong utama hilangnya hutan-hutan di Indonesia selama dua puluh tahun terakhir, termasuk di Papua. Deforestasi adalah pula faktor penting yang berkontribusi pada efek gas rumah kaca.

Menyadari kondisi ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018, soal penghentian sementara izin baru untuk perkebunan sawit.

Moratorium sawit tampaknya tak serta merta menghentikan penghancuran hutan. Sebelum kebijakan terbit, izin-izin konsesi perkebunan sawit terhadap ratusan ribu hektar hutan keluar duluan.

Lewat Inpres moratorium sawit ini, pemerintah juga berjanji menata ulang izin-izin perkebunan sawit yang sudah keluar sekitar 20 jutaan hektar. Akankah penghancuran hutan termasuk pada konsesi Proyek Tanah Merah di Boven Digoel, Papua, bisa dihentikan?

 

Tulisan lengkap soal ini bisa disimak di kanal Mongabay.com dan Gecko Project.

 

Keterangan foto utama:    Sawit dan hutan hujan di sekitar kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Para pemilik mayoritas dari tujuh konsesi dalam Proyek Tanah Merah setelah dilakukannya kesepakatan di tahun 2011 dan 2012
Desa yang berada di tepian kawasan Proyek Tanah Merah, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

Exit mobile version