- Lebih dari seribu orang mengecat tubuhnya dengan aneka warna atau mengenakan kostum mengikuti parade Ngerebeg di Desa Tegalalang, Gianyar, Bali, Rabu (30/1/2019).
- Tradisi yang turun temurun ini jadi ajang untuk bersuara, misalnya kampanye lingkungan dengan mengenakan kostum yang ramah lingkungan.
- Parade ini mengingatkan Tegalalang yang memiliki tantangan berat menjaga bentang alamnya, dengan menyucikan bhuana alit dan bhuana agung agar ada keseimbangan.
Lebih dari seribu orang mengecat tubuhnya dengan aneka warna. Didominasi putih, hitam, dan merah. Sebagian wajah diwarnai menyerupai seperti hantu atau zombie dalam film-film, dan sebagian mengenakan kostum yang dibuat sendiri. Warga di sepanjang jalan menyambut parade Ngerebeg ini.
Desa Tegalalang, Gianyar, Bali, sebuah kawasan yang terkenal sebagai pusat pengerajin dan wisata terasering sawah Ceking ini sangat semarak pada Rabu (30/1/2019) menyambut tradisi Ngrebeg. Sebuah ritual untuk menyucikan alam, merefleksikan diri, dengan menyeimbangkan energi sekala (terlihat, dunia manusia) dan niskala (tak terlihat). Ribuan orang keluar dari rumahnya dengan tubuh berumuran cat dan berkostum.
Tradisi yang diwariskan turun temurun ini makin menjadi ruang untuk bersuara, misalnya kampanye lingkungan dengan mengenakan kostum dari dedaunan kering, menjadi “tonya” atau “memedi” mahluk yang tak terlihat, dipercayai penjaga tempat-tempat sakral seperti sempadan sungai, muara laut, dan hutan.
baca : Ada Monster Plastik di Gianyar Bali. Ada Apakah?
Terlihat tiap peserta mengelompokkan diri dengan tema pilihannya. Ada yang mengenakan kostum pohon terbuat dari aneka dedaunan dan ranting. Seorang pemuda berbusana leak, wajah seram bertaring dengan rambut panjang. Ada juga yang menjadi Barong Brutuk, memenuhi badannya dengan kraras, daun pisang kering sampai mengembung.
Tak sedikit menjadikan tubuhnya yang penuh cat sebagai poster kampanye. Mereka membuat tulisan di badan seperti larangan plastik, green and clean, bersih itu indah, indah itu cantik.
Membawa sebatang benda wajib, disebut pepenjoran, sebuah bambu diisi hiasan daun dan janur, tiap orang menuju Pura Duurbingin. Pepenjoran ini simbol senjata untuk mengusir kekuatan negatif. Setelah puja Tri Sandya, doa tengah hari mengalun, peserta Ngrebeg yang didominasi anak muda dan semuanya laki-laki ini diundang “nunas pica” makan bersama dengan sederhana, nasi putih, sayur ares (dari batang pisang), dan lawar (campuran kelapa, sayur, dan daging).
Sekaligus mengisi energi sebelum parade keliling desa sekitar 8 km. Para orang tua sibuk mengurus anak-anaknya yang ikut serta. Generasi termuda Tegalalang ini juga mengecat badan dan wajahnya agar terlihat seram. Menggelapkan mata dan menambahkan taring, jadi mirip macan atau kucing.
baca juga : Melihat Konservasi ‘Nandini’, Lembu Putih yang Disakralkan di Bali
Sekitar setengah jam makan bersama, sorak sorai terdengar diikuti suara baleganjur, gamelan yang memompa semangat. Iringan Ngrebeg keluar dari pura dan berbaris untuk berparade.
Anak-anak dipapah orang tuanya berbaur dalam barisan. Sorak sorai makin keras tanda semangat untuk memulai perjalanan jalan kaki untuk menyucikan alam dan lingkungan desa karena keesokan hari ada piodalan, upacara besar di Pura Duurbingin. Sebelum memulai upacara, desa dibersihkan dari sampah dan bhuta kala (mahluk dan energi negatif).
Pengecatan tubuh ini juga simbol “kala” atau energi yang harus diseimbangkan dalam diri. Mereka mewujud sebagai mahluk-mahluk gaib yang dikenal sebagai penjaga wilayah yang tak terlihat. Warga di Bali mengenal memedi atau tonya, cerita ini diteruskan ke anak-anak untuk menakut-nakuti tidak mengotori kawasan sungai, lembah, gunung, hutan, dan sumber air ini.
Sebagai bentuk pembersihan lingkungan, tiap kelompok membekali diri dengan plastik besar untuk wadah sampah yang dilalui sepanjang perjalanan. Anak-anak juga semangat memungut sampah, mereka membagi beban dengan menggantungkan plastik berisi sampah atau tong sampah berjalan ini dengan sebuah tongkat. Alhasil, sepanjang jalan yang dilalui, mereka tak meningalkan botol air dan sampah lain yang dikonsumsi selama parade.
menarik dibaca : Ancaman Hilangnya Budaya Agraris Bali dari Kacamata Oka Astawa
“Pengayah, yeyo, pengayah yeyo…,” teriak mereka bersahut-sahutan sebagai petanda mereka sedang melakukan ngayah atau terlibat sukarela dalam tradisi ini. Parade ini menarik perhatian turis yang sedang wisata dan warga yang sedang menjaga toko kerajinannya. Tak sedikit menyediakan minuman gratis di pinggir jalan untuk para pengayah ini.
Tradisi ini mirip ritual Melasti, parade menuju sumber air untuk menyucikan diri, benda-benda sakral, sebagai simbol penyucian alam menyambut Hari Raya Nyepi. Namun Ngrebeg keliling desa, tidak menuju sumber air. Salah satu lokasi pemberhentian untuk bersembahyang adalah pura di kuburan desa (setra).
Sejumlah peserta Ngrebeg tidak tahu pasti kapan tradisi ini dimulai. “Sudah dari beberapa keturunan dan leluhur orang tua saya sudah ikut Grebeg ini,” urai I Nyoman Gede Artawan, Prajuru (pengurus) Adat Desa Tegalalang ini.
Menurutnya semua perwujudan mahluk tak terlihat ini juga diyakini melindungi desa namun perlu diseimbangkan agar tak menjadi energi negatif. “Mereka wong samar, secara kasat mata tak melihat, warga yang ngayah Ngrebeg tampil dengan hiasan seperti itu,” jelasnya.
baca juga : Menarik… Melihat Perubahan Bali Melalui Lukisan Keliki
Secara sekala (terlihat), Tegalalang juga memiliki tantangan berat menjaga bentang alamnya. Artawan mengakui tantangannya menyucikan bhuana alit dan bhuana agung agar pemeliharaannya sama. Adanya keseimbangan.
Misalnya di Obyek Wisata Ceking, terasering dan trekking di tengah sawah yang terlihat eksotis dari kejauhan ini selalu ramai turis. Makin banyak atraksi yang melibatkan turis seperti membajak sawah dan memotong rumput. Petani menjadi bagian dari atraksi ini, selain menjalani keseharian bertani.
Namun konflik pernah terjadi, misalnya pemasangan seng di sejumlah petak sawah agar turis terganggu saat menonton dari kejauhan. “Saat itu Ceking belum ada badan manajemen yang mengelola, saya prajuru terlibat sekarang,” tukasnya. Alih fungsi lahan hijau dan tata ruang ini diakui menjadi tantangan. Artawan menyebut ada sejumlah aturan adat atau perarem untuk mengantisipasi, misalnya imbauan tidak menjual lahan, cukup mengontrakkan agar bisa menyerap tenaga kerja.
Selain itu, ia menambahkan, sudah ada perjanjian dengan pemilik petak sawah, jika mampu melestarikan alam dapat bayaran view, per petak sekitar Rp4,5 juta per bulan. Petani dapat dampaknya, pengelola kerjasama buat trekking di tengah sawah. Tinggi bangunan kios juga dibatasi agar tidak menutupi panorama sawah dari jalanan, maksimal 1,5 meter dari aspal jalan raya.
Ceking di Tegalalang hanya lembah bukit dengan terasering sawah. Namun mampu menggaet turis dan mengenalkan sawah pada mereka yang jarang atau tak pernah melihat hamparan padi. Dari proses awal mengolah lahan, menggenangi air, menamam bibit, sampai panen, hamparan terasering Ceking ini tak pernah sepi. Bahkan kini turis makin banyak memasuki area sawah karena banyak jalan telanjakan yang memudahkan turis mengelilingi sawah tanpa terendam lumpur.