Mongabay.co.id

Indonesia Butuh Peta Jalan Perlindungan ABK di Luar Negeri

 

Indonesia harus menyusun peta jalan (roadmap)  untuk perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) pada kapal atau perusahaan asing. Peta jalan harus dibuat, karena hingga saat ini masih saja terjadi kasus yang merugikan para ABK yang bekerja untuk kapal asing. Termasuk, kasus yang paling mutakhir terjadi di India dan Belanda pada akhir Januari lalu.

Pandangan tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, Selasa (12/2/2019). Menurut dia, langkah pertama yang harus dilakukan agar kasus serupa tidak pernah terulang lagi di masa mendatang, adalah dengan membuat aturan khusus untuk perlindungan ABK yang bekerja pada kapal atau perusahaan asing.

“Indonesia memerlukan payung hukum khusus untuk melindungi para ABK kita di luar negeri,” ujarnya..

Dengan adanya payung hukum dan sekaligus peta jalan, Susan meyakini, perlindungan bisa dilakukan penuh kepada para ABK. Kondisi itu, akan memberi kekuatan secara hukum bagi Indonesia saat sedang menghadapi kasus yang berkaitan dengan ABK. Melalui perlindungan hukum penuh, maka perlindungan yang diberikan Negara juga bisa langsung ke akar persoalan.

Ucapan tersebut keluar, menanggapi adanya 13 ABK yang terlantar dan tertahan di India dan Belanda pada Januari lalu. Para ABK tidak bisa pulang ke Indonesia, karena perusahaan tempat mereka bekerja, yakni Nordav BV sedang menghadapi masalah hukum di India. Perusahan asal Belanda yang mengoperasikan dua kapal, Miss Gaunt dan Northwind itu, mengalami pailit di India setelah tidak mampu membayar biaya bahan bakar dan agen di negara tersebut.

“Inilah penyebab perusahan Belanda tersebut tidak mampu membayar gaji ABK Indonesia yang bekerja pada dua kapal tersebut sejak pertengahan 2018,” ungkapnya.

baca :  Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?

 

Nelayan Bajo Sangkuang saat menarik ikan. Foto: Faris Bobero/ Mongabay Indonesia

 

Susan mengatakan, kasus yang sedang terjadi itu, memang langsung ditangani oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun, penanganan masalah tersebut dinilainya tidak menyentuh ke akar masalahnya.

“Jadi, Pemerintah terus bekerja dengan melakukan lobi-lobi kepada pihak berwenang di India untuk membebaskan 13 ABK WNI (warga negara Indonesia) tersebut,” tuturnya.

 

Perlindungan ABK

Tentang perlunya disusun peta jalan, Susan berpendapat tentang itu, karena sampai dengan hari ini Indonesia belum memiliki aturan khusus yang melindungi seluruh TKI yang bekerja sebagai ABK dan jumlahnya tercatat lebih dari 250 ribu orang. Fakta itu, menjadi sangat miris, karena Indonesia adalah negara kepulauan dan sangat bergantung pada laut.

Jadi, walaupun sudah ada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan, Susan menyebutkan kalau aturan itu hanya ditujukan dan berlaku untuk kapal-kapal perikanan dalam negeri. Sementara, untuk kapal perikanan yang ada di luar negeri, hingga saat ini aturannya tidak ada.

“Bagaimana dengan kasus 13 ABK yang terlantar dan bekerja di Kapal Belanda, yang notabene kapal luar negeri? Kita perlu peraturan perlindungan khusus ABK, dimana kapal-kapal asing tunduk kepada hukum Indonesia,” tegasnya.

Selain perlu menghadirkan peraturan khusus untuk perlindungan ABK, Susan kemudian mempertanyakan efektifitas UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Menurutnya, UU tersebut hingga saat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melindungi ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal luar negeri.

“Ketiadaan perlindungan ABK dalam UU No.7/2016 semakin memperkuat kebutuhan terhadap aturan khusus perlindungan ABK. Sekali lagi, Indonesia harus melindungi ABK secara sistematis dan terarah. Ini adalah mandat Konstitusi,” ungkapnya.

baca juga :  Benarkah Perlindungan Pemerintah pada ABK Indonesia Masih Tidak Maksimal?

 

Kemenko Kemaritiman menggelar rapat koordinasi di Jakarta, Selasa (29/01/219), guna mengupayakan pemulangan 13 ABK Indonesia yang bekerja di perusahaan Belanda Nordav BV yang terlantar di India dan Belanda karena masalah hukum. Foto : Kemenko Kemaritiman/Mongabay Indonesia

 

Tanpa ada perlindungan hukum, Susan menilai, koordinasi antar lembaga Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ABK yang bekerja pada kapal asing, hingga saat ini masih tertatih-tatih dan tidak efektif. Padahal, penanganan kasus ABK harus dilakukan dengan cepat, cermat, dan terintegrasi dengan baik antar lembaga.

“Untuk menangani kasus-kasus ABK di kapal asing, perlu koordinasi lembaga pemerintah dengan kuat,” pungkasnya.

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pihaknya terus mengawal kasus 13 ABK WNI yang terlantar di India dan Belanda. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Negara berkoordinasi dengan kedua negara tersebut melalui kedutaan besar masing-masing di Indonesia.

“Kementerian dan lembaga terkait harus terus berkoordinasi di tingkat teknis untuk segera mencari solusi agar para ABK dapat segera dipulangkan dan memperoleh hak-haknya,” tegasnya pekan lalu.

Senada dengan Purbaya, Asisten Deputi Bidang Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo menyebut bahwa penanganan cepat harus dilakukan Negara untuk melindungi 13 ABK WNI tersebut. Untuk itu, sejak kasus tersebut diketahui Negara, Pemerintah Indonesia langsung melakukan berbagai upaya hukum.

Basilio mengatakan, pihaknya pertama kali menerima laporan kasus tersebut dari otoritas Pelabuhan Mumbai, India pada 6 November 2018 lalu. Kemudian, setelah itu pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia Mumbai langsung melakukan kunjungan dan memberikan bantuan makanan kepada ABK yang ada di kapal.

baca juga :  Kenapa Praktik Perdagangan Manusia dan Perbudakan Belum Hilang dari Kapal Perikanan?

 

Proses pemulangan lima dari tujuh nelayan warga Desa Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada 26 Mei 2017. Mereka merupakan ABK KM Koguno yang berbendera Indonesia dan ditangkap oleh otoritas Australia karena tuduhan melakukan kegiatan penangkapan ikan tanpa ijin di perairan Australia. Foto : Dirjen PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Peran Belanda

Selain melakukan diplomasi di negara asal, Basilio menuturkan, pihaknya juga berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dengan melaporkan permasalahan ini ke Organisasi Maritim Internasional (IMO). Dari pelaporan itu, IMO memerintahkan Belanda, negara yang benderanya dipakai pada kapal Miss Gaunt dan Northwind, untuk mendorong pemilik kapal bisa menyelesaikan gaji 13 ABK WNI dan memfasilitasi repatriasi.

Basilio mengatakan, berdasarkan ketentuan maritime labour convention  (MLC) 2006 A2.5 paragraf 7, setiap negara harusnya bisa memfasilitasi repatriasi ABK yang sedang bersandar (di suatu negara) atau melalui laut teritorial atau laut dalam, serta pergantian personel di atas kapal. Ketentuan itu, diperkuat pada paragaf 8 konvensi IMO dan meminta kepada negara pihak (hukum) seharusnya tidak menolak hak repatriasi yang dimiliki masing-masing ABK. Terlebih, karena kondisi keuangan ABK, perusahaaan, atau pemilik kapal tidak mampu atau perusahaan tidak ingin memindahkan para ABK-nya sendiri.

Sedangkan Kementerian Luar Negeri RI juga diketahui bekerja keras melakukan lobi kepada India untuk melepaskan 13 ABK WNI. Upaya itu, dilakukan melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi dengan mendatangi langsung Kemlu dan Kementerian Perdagangan India. Dari pertemuan itu, didapatkan informasi kalau India masih tetap akan melaksanakan proses hukum kepada 13 ABK WNI tersebut.

“Mereka (otoritas India) mengatakan memperhatikan masalah ini namun tetap berpegang pada proses peradilan yang saat ini berjalan bagi pemilik kapal,” jelas Kepala Sub Direktorat Kelembagaan dan Diplomasi Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha.

Tak cukup dengan langkah diplomasi di India, Kemlu juga diketahui langsung melakukan diplomasi melalui KBRI di Den Haag, Belanda dan kemudian mendatangani Kemlu Belanda untuk melaporkan masalah tersebut. Pada pertemuan itu, perwakilan KBRI juga mendesak agar perusahaan Nordav BV segera membayar gaji ABK tersebut dan segera memulangkan ABK WNI.

“Kita upayakan melalui pengacara di India agar perusahaan mau membayar gaji para ABK ini sejumlah di atas empat bulan masa kerja,” katanya.

 

Exit mobile version