Mongabay.co.id

Jadi Kebun Sawit Tambah Masalah, Kini di Lahan Itu Panen Raya Padi

Panen padi rakyat di Kampung Buantan Lestari. Dulu, lahan padi ini sempat jadi kebun sawit. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada pertengahan Januari 2019, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, hadir pada panen raya padi dan peresmian pompanisasi pengairan sawah sekaligus bagi-bagi sertifikat tanah di Kecamatan Bungaraya, Siak, Riau. Lahan itu, dulu sempat jadi kebun sawit dan tambah masalah, lalu beralih lagi ke tani padi.

Syamsuar, Bupati Siak, cerita, lahan tani di Bungaraya, sempat beralih fungsi jadi perkebunan sawit. Petani sering gagal panen karena air jadi kendala ditambah curah hujan tak menentu. Petani berangsur-angsur tanam sawit. Setelah tanam sawit, ternyata masalah bukan selesai, malah bertambah. Hama makin banyak terutama tikus, merusak padi yang bersebelahan dengan sawit.

Rusnata, Ketua Perkumpulan Gapoktan Bungaraya dan Sabak Auh, mengatakan, puncak peralihan sawah ke sawit besar-besaran pada 2006. Awalnya, sawah se-Kecamatan Bungaraya 7.000 hektar tinggal 2.200 hektar.

Pemerintah Siak, merespon perubahan itu dengan memperbaiki pengairan. Pompanisasi dibuat alhasil sawit jadi terendam. Sejak itu, petani beranikan diri menumbangkan sawit dan kembali beralih ke tanaman pangan. Kondisi ini bersamaan dengan harga sawit murah dan tanaman pangan lebih menguntungkan, petani juga tak pernah khawatir lagi dengan ketersediaan air.

“Dulu, satu hektar sawit Rp150 juta, sekarang satu hektar sawah Rp250 juta,” kata Rusnata.

Syamsuar pun bikin komitmen pada petani supaya tetap tanam padi. Luhut, ketika pidato juga mengatakan hal sama. Dia turut mendukung program Pemerintah Siak memperluas lahan pangan maupun hortikultura.

 

Petani turunkan gabah dari mesin panen. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dinas Pertanian Siak mencatat, lahan padi di Bungaraya 4.225 hektar pada 2017, hampir dua kali lipat luas tanam padi di Kecamatan Sabak Auh. Baru sembilan dari 14 kecamatan di Siak memiliki lahan sawah. Selain Bungaraya dan Sabak Auh, Kecamatan Sungai Mandau, punya 859 hektar dan Sungai Apit 622 hektar. Yang lain hanya belasan dan puluhan hektar. Luas tanam padi keseluruhan di Siak 8.214 hektar dengan panen bersih 7.770 hektar.

Dari luas itu, produksi gabah kering giling di Siak, sepanjang 2017 34.960 ton. Produksi tiap kecamatan tidak sama.

Syamsuar mengatakan, satu hektar lahan di Bungaraya menghasilkan 8-10 ton gabah kering. Di Sungai Mandau, kata Acing, Ketua Gapoktan, sangat jarang petani dapat empat ton per hektar, sering di bawah itu.

Dia bilang, masalah kondisi lahan. Di Bungaraya, mayoritas lahan mineral dan panen pakai mesin. Di Sungai Mandau, lahan gambut dan pasang surut tipe C. Terkadang, petani panen dengan cara manual.

Suwandi, Kabid Tanaman Pangan Dinas Pertanian Siak, mengatakan, produksi gabah kering bila dikonversi ke beras jadi 64,02% atau 22.381 ton. Kebutuhan beras pada 2017 berdasarkan catatan Dinas Ketahanan Pangan Siak 49.745 ton. Artinya, dua kali lipat dari produksi.

Siak belum sepenuhnya mengolah beras sendiri. Petani langsung jual gabah pada penampung yang memberi mereka modal sejak pra tanam. Gabah itu diangkut ke Sumatera Utara juga ke Sumatera Barat. Harga gabah bulan ini Rp4.500 per kilogram. Pembeli tetapkan harga sendiri.

Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Siak, mendata, guna memenuhi kekurangan beras, toko atau kedai memesan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara. Harga yang mereka pantau masih stabil pada kisaran Rp13.000 per kg.

Siak punya beras lokal, Kota Istana. Ia dikelola perkumpulan Gapoktan Bungaraya dan Sabak Auh dan pertama kali memasarkan tahun lalu. Dinas Ketahanan Pangan, memfasilitasi angkutan distribusi dan menentukan toko-toko yang menerima pasokan beras. Ada 15 toko tersebar di Siak kecuali Bungaraya, Sabak Auh dan Sungai Mandau, karena penghasil padi terbesar di Siak.

 

Luhut Binsar Pandjaitan, Kemenko Maritim dan Syamsuar, BUpati Siak, pada panen raya padi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Ide untuk menghasilkan beras lokal itu karena petani menjual bebas gabah pada pihak luar. Rusnata menduga, beras dari provinsi tetangga itu adalah gabah dari petani Siak. “Seharusnya kita sendiri yang olah karena kita penghasil padi.” Target pasar Kota Istana untuk kelas menengah ke bawah.

Perkumpulan Gapoktan menawarkan harga Rp8.800 per kg dan toko tidak boleh mengambil untung lebih Rp200 per kg. Kata Rusnata, mereka dan Dinas Ketahanan Pangan, selalu mengontrol harga di pasar.

Pantauan Disdagperin Siak, berbeda. Meski masih tergolong murah dari beras luar, Jasmawati, menyebut, harga Rp11.000 untuk beras lokal dan Rp13.000 untuk beras luar.

Memasuki 2019, perkumpulan Gapoktan masih menunggu hasil panen petani. Mereka kehabisan pasokan. Kemungkinan harga beras Kota Istana akan naik karena gabah Rp4.600 per kg. Harga tahun lalu ketika gabah kering masih Rp4.000 per kg.

 

 

Larang alih fungsi lahan jadi kebun sawit

Syamsuar, segera meninggalkan jabatan Bupati Siak, karena bakal jadi Gubernur Riau, Februari ini. Komitmennya pertama kali jabat bupati, melarang alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit disetujui anggota DPRD Siak. Ia sudah jadi peraturan daerah.

Syamsuar selalu mendengungkan itu. Contoh, ketika menyambut Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Riau, di rumah dinasnya Jalan Raja Kecik, Siak. Nazir dan sejumlah organisasi, meninjau 4.000 hektar tanah obyek reforma agraria (Tora) di Kampung Berbari, Kecamatan Siak, 7 Januari lalu.

Dalam sesi diskusi, Syamsuar mengatakan, tak akan mengizinkan penerima sertifikat Tora tanam sawit. “Sudah cukuplah. Komitmen ini akan terus saya tegaskan setelah dilantik jadi Gubernur Riau,” katanya, disambut tepuk tangan.

Secara keseluruhan, luas panen padi di Riau, terus menurun. Pada 2011, luas berkisar 123.038 hektar, dibandingkan rilis BPS tahun ini, selama tujuh tahun berturut-turut Riau, kehilangan sekitar 29.238 hektar.

Santi, Bidang Perencanaan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Riau, menyebut, penurunan itu karena alih fungsi lahan salah satu untuk perkebunan sawit.

Bila melihat Riau dalam angka 2018 terbitan BPS, ucapan Santi, ada benarnya. Luas kebun sawit di Riau, terus meningkat. Sekitar 2,3 juta hektar pada 2012 naik 100.000 hektar lebih pada 2017. Rokan Hulu menyumbang kebun sawit paling luas, 407.479 hektar. Siak urutan ketiga setelah Kampar yakni, 324.216 hektar.

Mujiono, fungsional ahli juga staf pelayanan konsultasi data BPS Riau, sedikit ragu dengan luas kebun sawit di Riau. Kemungkinan, katanya, bisa lebih luas. BPS mencatat, hitungan kebun sawit di Riau untuk 2017 masih bersifat sementara.

Peningkatan luas kebun sawit berbanding terbalik dengan jenis tanaman lain seperti, padi, kelapa, karet dan sagu justru makin berkurang.

 

Keterangan foto utama:  Panen padi rakyat di Kampung Buantan Lestari. Dulu, lahan padi ini sempat jadi kebun sawit dan masalah bertambah. Akhirnya, kembali jadi sawah bahkan sudah panen raya. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Dari tanam sawit beralih ke padi. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version