- Perusahaan tambang PT Vale Indonesia membantah tudingan WALHI Sulawesi Selatan telah merusak hutan dan penyebab terjadinya sedimentasi di danau Mahalona.
- PT Vale mengatakan aktivitas tambangnya telah sesuai aturan yang berlaku, seperti izin kehutanan, program rehabilitasi dan reklamasi tambang. Bahkan sesuai SDGs yang memperhatikan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial.
- PT Vale terbuka untuk dengan kritikan atas kinerja mereka yang dituduh merusak lingkungan dan abai terhadap masyarakat.
- Laporan akhir tahun 2018 WALHI Sulsel menyebutkan degradasi hutan di kawasan pegunungan Tokalekaju karena aktivitas tambang, salah satunya PT Vale Indonesia yang memiliki paling banyak izin di kawasan itu.
Pihak PT Vale Indonesia membantah adanya tudingan dari WALHI Sulawesi Selatan telah melakukan pengrusakan hutan dan penyebab terjadinya sedimentasi di danau Mahalona.
“Kan sudah mendengar komitmen dari PT Vale terkait sustainability, walaupun kita memenuhi kebutuhan nikel, namun kita tidak merusak hutan. Kita mengajukan izin kehutanan kepada pemerintah dan selalu kita melakukan program rehabilitasi dan reklamasi dengan baik sesuai dengan aturan,” ungkap Nico Kanter, CEO PT Vale,di sela acara simposium bertajuk ‘Keberlanjutan: Investasi Masa Depan’ di Hotel Claro Makassar, Rabu (6/2/2019).
Menurut Nico, jika telah terjadi kasus seperti yang dituduhkan sebaiknya dibicarakan dengan baik, karena mereka selalu terbuka untuk kritikan.
“Jadi kalau memang ada, mungkin lebih baik kita duduk gitu. Jadi kalau WALHI memang ada beberapa pendapat yang berbeda, buat saya sih terbuka aja. Kita duduk dengan mereka lalu diberitahu yang mana. Kadang-kadang kan ada persepsi yang bisa ditimbulkan dari ini,” katanya.
Dikatakan Nico bahwa berbagai tudingan tersebut harus dibuktikan dan ditunjukkan di mana PT Vale berkontribusi dalam perusakan lingkungan.
“Jadi sebaiknya kita duduk dan kita lihat, di mananya Vale itu merusak lingkungan. Kalau ada seperti itu kita juga nggak menerima award dong.”
baca : Setahun Lebih Dilaporkan Lakukan Perambahan Hutan Lindung, Hingga Kini PT. Vale Belum Ditindak!
Nico juga membantah jika dituding sebagai penyebab terjadinya sedimentasi di danau Mahalona. Informasi terkait sedimentasi tersebut dinilai masih sebatas informasi sepihak dan kini masih dalam kajian pemerintah daerah. Nico membuka ruang kepada WALHI untuk membicarakan masalah ini.
“Kita tinggal duduk saja yang mana dianggap kita telah menyebabkan sedimentasi sehingga ada masalah. Kita perlu luruskan. Kita sangat terbuka duduk bersama WALHI, karena pemerintah daerah juga masih melihat hal ini, dan masih merupakan data sepihak,” tambahnya.
Nico bahkan sangsi kalau sedimentasi tersebut ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan yang mereka lakukan, karena selama ini telah menjalankan aturan yang ada.
“Sudah dengar sendiri tadi bagaimana kami mengelola dampaknya lebih banyak sedimen pond yang kami buat. Dari kami sudah mematuhi semua complain point, artinya kita sudah penuhi aturannya. Sekarang mungkin ada beberapa pendapat berbeda. Kita duduk aja bicarakan bersama.”
Dari pemerintah, Nico mengakui telah diminta untuk melakukan klarifikasi atas berbagai laporan tersebut. Ia kemudian meminta agar media memberitakan hal ini secara berimbang dan adil dalam pemberitaan.“Paling penting kita tidak mau saling menuduh atau perspektif yang berbeda.”
Menurut Nico, Vale selama ini telah berkontribusi dalam pembangunan dan menyejahterakan masyarakat sekitar wilayah konsesi. “Kemitraan kami itu bukan hanya dengan pemerintah kabupaten, tetap juga dengan para pemangku kepentingan, LSM yang kita sangat hormati. Kita terbuka dengan kritikan, kalau ada kita lihat.”
baca juga : Renegosiasi PT. Vale Dianggap Rugikan Masyarakat Sulawesi Tengah. Apa Solusinya?
Dalam sambutannya pada simposium ini, Nico menyatakan bahwa selama 50 tahun beroperasi di Indonesia PT Vale telah mendukung SDG melalui praktik-praktik penambangan yang baik.
“Di PT Vale berinvestasi pada keberlanjutan bukanlah sebuah nilai tambah melainkan sebuah keharusan. Hal itu sesuai dengan misi perusahaan, yaitu mengubah sumber daya alam menjadi kemakmuran dan pembangunan berkelanjutan,” ungkapnya.
Dikatakan Nico bahwa PT Vale percaya triple bottom line yaitu people-planet-profit adalah mata rantai yang mustahil putus. Ada prinsip mendasar di balik triple bottom line tersebut.
“Ketika perusahaan mengukur dampak dan punya manajemen pengelolaan dampak lingkungan, ekonomi, dan sosial, maka kami akan memiliki organisasi yang bertanggung jawab secara lingkungan, ekonomi dan sosial,” tambah Nico.
Kawasan Konservasi
Bantahan Nico ini sendiri terkait isi laporan akhir tahun WALHI Sulsel tentang situasi lingkungan di Sulsel sepanjang tahun 2018. Salah satu yang menjadi sorotan adalah terjadinya degradasi hutan di kawasan pegunungan Querles dan Verbeck, yang terbentang mulai dari Kabupaten Luwu, Luwu Utara hingga Kabupaten Luwu Timur. Dikenal dengan sebutan pegunungan Tokalekaju.
Menurut catatan WALHI Sulsel, adabanyak perusahaan tambang yang memperoleh izin usaha pertambangan di dua pegunungan tersebut, dan bahkan sebagian besar telah melakukan kegiatan penambangan, tanpa melibatkan masyarakat lokal saat penyusunan hingga pembahasan AMDAL.
“Sehingga degradasi hutan atau penurunan luas hutan di Sulsel sudah dapat dipastikan terjadi karena aktivitas pertambangan. Meski ada juga yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat yang melakukan pembukaan lahan untuk kepentingan perkebunan,” ungkap Muhammad Al Amin, Direktur WALHI Sulsel.
menarik dibaca : Muram, Potret Pengelolaan Lingkungan Hidup Sulsel tahun 2018
WALHI Sulsel melaporkan bahwa dari 13 perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Luwu Timur, perusahaan yang paling banyak menguasai ruang baik hutan maupun non hutan adalah PT Vale Indonesia Tbk yang antara lain beroperasi di kawasan cagar alam seluas 88,38 Ha, hutan lindung seluas 15.245 hektar dan HPT seluas 2003 hektar.
Lebih jauh dikatakan Amin bahwa pada Juni hingga Oktober 2018, Tim WALHI Sulsel melakukan monitoring terhadap hutan di pegunungan Verbeck, yang salah satunya merupakan wilayah tambang PT Vale.
“Kami mempelajari dampak bisnis pertambangan PT Vale bagi kehidupan masyarakat di Kecamatan Nuha dan Kecamatan Towuti, Luwu Timur. Hasilnya, salah satu desa di Kecamatan Nuha yakni Desa Nuha hingga saat ini belum mendapatkan aliran listrik. Padahal, sumber energi yang menggerakkan pabrik nikel milik PT Vale bersumber dari Danau Matano,” katanya.
Sementara, menurut Amin, masyarakat Desa Nuha senantiasa menjaga hutan agar hutan yang ada di Desa Hutan tetap berfungsi sebagai daerah tangkapan air, sehingga air yang bersumber dari hutan Desa Nuha terus mengalir ke Danau Matano yang kemudian mengalir hingga ke pembangkit listrik milik PT Vale.
“Di sini kami menyimpulkan bahwa PT Vale merupakan perusahaan yang tidak peduli dan abai terhadap persoalan masyarakat di sekitarnya. Sehingga kami menyatakan bahwa PT Vale Indonesia tidak layak mendapat penghargaan apa pun dari pemerintah,” tambahnya.
Dari penelusuran lebih dalam, WALHI Sulsel menemukan bahwa PT Vale tidak hanya merusak hutan dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. PT Vale Indonesia juga telah melakukan kejahatan lingkungan dengan mencemari ekosistem penting yang ada di sekitar wilayah tambang yakni Danau Mahalona, salah satu danau vulkanik di Sulawesi Selatan.
“Saat melakukan monitoring di danau Mahalona, kami menemukan ada lumpur berupa sedimentasi di danau Mahalona. Setelah melakukan penelusuran, ternyata lumpur sedimen yang membuat pendangkalan di danau Mahalona berasal dari kegiatan tambang PT Vale di pegunungan Sumbitta, yang tidak jauh dari bendungan Petea.”
Kiriman sedimentasi inilah yang dianggap membuat pendangkalan di bibir danau Mahalona.
“Kami menduga kuat kiriman sedimentasi ini telah berlangsung lama, dan diabaikan oleh pihak PT Vale. Padahal pihak PT Vale mengetahui bahwa danau Mahalona merupakan kawasan hutan konservasi.”
baca juga : Nasib Danau Malili Kini, Ikan Endemik pun Nyaris Hilang…
Terkait situasi ini WALHI Sulsel kemudian meminta agar pemerintah memberi sanksi keras kepada PT Vale, dan mencabut seluruh penghargaan lingkungan yang telah diberikan.
“Kami juga mendesak agar PT Vale bertanggung jawab dengan cara melakukan pemulihan lingkungan di danau Mahalona, serta mendesak pemerintah untuk segera meninjau ulang kontrak karya PT Vale di Sulawesi Selatan,” tambah Amin.