Mongabay.co.id

Bukan Hanya Manusia yang Butuh Lahan Basah, Burung Juga

 

 

Lahan basah memiliki arti penting bagi kehidupan makhluk hidup. Berdasarkan Konvensi Ramsar, lahan basah didefinisikan sebagai daerah-daerah rawa [termasuk rawa bakau/mangrove], payau, lahan gambut, dan perairan yang alami atau buatan dengan air yang tergenang atau mengalir berupa air tawar, payau, juga asin. Lebih jauh, termasuk laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter ketika surut.

Wetlands International Indonesia menyatakan, lahan basah meliputi sebagian kecil permukaan Bumi. Namun, fungsinya sangat penting, ibarat pembuluh darah bagi seluruh bentang alam.

Lahan basah berfungsi sebagai sumber dan pemurni air, pelindung bencana, penyimpan karbon, dan tempat hidupnya keanekaragaman hayati. Dunia tanpa lahan basah, ibarat Bumi tanpa air, kering.

 

Bangau bluwok. Foto: Asep Ayat

 

“Lahan basah merupakan ekosistem produktif yang mendukung kehidupan manusia. Secara ekologi, kaya hayati, dari sisi ekonomi merupakan sumber makanan, perikanan, energi, hingga pendukung pertanian,” terang Yus Rusilla Noor, Program Manager Wetlands International Indonesia.

Yus mengatakan, konservasi telah menjadi konsep global yang diaplikasikan pada berbagai bidang, khususnya pengelolaan ekosistem lahan basah. Ada makna perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya secara lestari yang harus diperhatikan. “Kolaborasi dan kemitraan adalah hal mutlak yang harus dilakukan bersama dalam mengelola lahan basah,” paparnya.

 

Cerek jawa. Foto: Asep Ayat

 

Delegasi Republik Indonesia yang diketuai Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial [BPEE] KLHK, Tandya Tjahjana, selaku National Focal Point [NFP] Konvensi Ramsar Indonesia di Dubai, Uni Emirate Arab [UEA] pada 21-29 Oktober 2018 menyatakan, sebagai negara yang memiliki lahan basah terluas di dunia, Pemerintah Indonesia menaruh perhatian khusus terhadap konservasi lahan basah.

“Indonesia telah melakukan banyak hal untuk menyelamatkan lahan basah alami dengan melibatkan berbagai pihak. Bukan hanya untuk kepentingan nasional tapi juga dunia luas. Tahun 2020, merupakan target pencapaian perlindungan keanekaragman hayati, termasuk kawasan lahan basah, sehingga implementasi Konvensi Ramsar harus diwujudkan,” jelasnya di situs KLHK.

 

Ibis cucuk besi. Foto: Asep Ayat

 

Dalam acara bertajuk “Wetland for Sustainable Urban Future” tersebut, Tandya menjelaskan status pengelolaan mangrove Indonesia yang mencakup 20 persen dari luas mangrove dunia. Luas mangrove Indonesia sekitar 3,49 juta hektar, yang kondisi baik seluas 1,67 juta hektar, sementara kritis 1,82 juta hektar.

 

Lahan basah yang penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di Bumi. Foto: Asep Ayat

 

“Mangrove yang bagus, dikelola secara lestari berkelanjutan melalui pengembangan ekonomi, pencegahan abrasi, hingga pengembangan mekanisme carbon trade dan produk hasil hutan bukan kayu mangrove. Terkait mangrove rusak, dilakukan rehabilitasi, perlindungan kawasan, dan perlindungan kawasan,” jelasnya.

 

Biawak juga hidup di hutan mangrove. Foto: Asep Ayat

 

Habitat burung air

Lahan basah merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya jenis burung air. Berdasarkan data Wetlands, terdapat 197 jenis burung air di Indonesia. Bila kita lihat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, jumlah yang dilindungi kini sebanyak 108 jenis.

Dimana kita bisa melihat jenis burung air? Cagar Alam Pulau Dua, Banten, misalnya. Takandjandji dan Kwatrina dalam penelitiannya di Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam [2011] berjudul Pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua di Provinsi Banten Sebagai Ekosistem Bernilai Penting”menyebutkan wilayah ini memiliki karakteristik ekosistem penting untuk berbagai jenis burung dan mangrove.

 

Manrove di Cagar Alam Pulau Dua. Foto: Asep Ayat

 

“Sebagai cagar alam, wilayah ini diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan keragaman jenis, populasi, dan vegetasi habitat burung langka, terancam punah, serta burung migran. Untuk itu, sumber daya alam dan ekosistem kawasan perlu dikelola optimal.”

Namun, sejumlah ancaman, gangguan habitat dan kehidupan satwa bersayap ini tidak terelakkan. Mulai dari perburuan, pencarian kayu bakar, abrasi, juga sampah, terlihat jelas. “Ancaman tersebut, dapat mengakibatkan bertambahnya areal terbuka dan mengancam populasi yang ada,” jelas Takandjandji dan Kwatrina.

 

Ibis roko-roko. Foto: Asep Ayat

 

 Penghuni lahan basah

Secara keseluruhan, burung-burung penghuni lahan basah merupakan kelompok jenis cangak, kuntul, pecuk, bangau, ibis, itik, dan burung pantai. John McKinnon mengelompokan cangak, kuntul, dan koak dalam Suku Ardeidae. Suku ini diantaranya cangak abu [Ardea cinerea], cangak merah [Ardea purpurea], kuntul kecil [Egretta garzetta], kuntul kerbau [bubulcus ibis], dan kowak-malam abu [Nycticorax nycticorax].

 

Kowak-malam abu. Foto: Asep Ayat

 

Kelompok bangau termasuk dalam suku Ciconidae, salah satunya adalah bangau bluwok/wilwo [Mycteria Cinerea]. Badan Konservasi Dunia IUCN [International Union for Conservation of Nature] menetapkannya berstatus Genting (Engangered) dan digolongkan terancam punah secara global. Satu-satunya tempat berkembang biak di Suaka Margasatwa Pulau Rambut.

 

Kuntul kecil. Foto: Asep Ayat

 

Selanjutnya burung ibis yang termasuk Suku Threskiornithidae. Suku ini jumlahnya sedikit namun tersebar di seluruh daerah tropis. Beberapa jenis yang biasa teramati adalah ibis cucuk-besi [Threskiornis melnocephalus] dan Ibis roko-roko [Plegadis falcinelus].

 

Kuntul kerbau. Foto: Asep Ayat

 

Kelompok pecuk dikategorikan Suku Phalacrocoracidae. Kelompok ini merupakan pemakan ikan dengan berenang dan menyelam di air. Salah satunya adalah jenis pecuk-padi hitam [Phalacrocorax sultirostis].

 

Pecuk padi-kecil. Foto: Asep Ayat

 

Kelompok terakhir adalah jenis burung pantai, yang menghabiskan sebagain besar waktunya di pantai, baik ketika mencari makan atau berbiak. Kelompok ini dicirikan dengan warna bulu burik coklat-putih, menyerupai lingkungan sekitar. Tubuhnya rata-rata kecil, makanannya moluska, dan inventebrata kecil. Sebagian mampu terbang jarak jauh dan sering migrasi antarnegara. Contohnya, cerek jawa [Charadrius javanicus] dan trinil pantai [Actitis hypoleucos].

 

Trinil pantai. Foto: Asep Ayat

 

Kehadiran burung air dalam suatu ekosistem sangat penting, tidak hanya dari sudut konservasi tetapi juga rekreasi. “Sebagai indikator sehatnya lingkungan, hadirnya berbagai jenis burung di suatu wiayah, otomatis menunjukkan wilayah tersebut memang alami. Kualitas alamnya terjaga,” tegas Ragil Satriyo Gumilang, Koordinator   Asian Waterbird Census   Indonesia.

 

*Asep Ayat,   Forest Programme Coordinator Burung Indonesia

 

 

Exit mobile version