- Hasil penelitian Jenna Jambeck, Indonesia menjadi negara kedua penghasil sampah plastik terbanyak di dunia, setelah Tiongkok. Banyak pihak meragukan hasil penelitian tersebut
- Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP berencana melakukan penelitian sampah plastik di perairan Indonesia untuk membantah data penelitian Jambeck itu
- Indonesia telah membuat rencana aksi nasional (RAN) pengelolaan sampah laut sejak dengan dana sebesar USD1 miliar dengan target 2025 pengurangan 70 sampah sampah plastik
- Penelitian LIPI menyebutkan mikroplastik mengancam ekosistem laut di Indonesia
Julukan sebagai negara nomor dua penghasil sampah plastik di dunia, sudah melekat dalam beberapa tahun ini kepada Indonesia. Julukan yang mulanya diberikan peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat, Jenna Jambeck, kini mulai diikuti oleh negara lain dan juga di dalam negeri. Banyak kalangan yang menyebutkan bahwa produksi sampah di Indonesia hanya bisa dikalahkan oleh Tiongkok saja.
Penelitian yang dinilai tidak memiliki parameter yang jelas itu, sayangnya terlanjur dipercaya oleh banyak kalangan, termasuk lembaga swasta dan juga pemerintahan, baik di dalam dan luar Indonesia. Hal itu diakui juga oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Bagi KKP, sebaran informasi tersebut harus bisa dimentahkan dengan data dan fakta yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP sudah berencana untuk melaksanakan penelitian berkaitan dengan produk sampah plastik yang berasal dari daratan dan masuk ke wilayah laut.
baca : Lautan Dunia dalam Ancaman Bahan Kimia Beracun
Sekretaris BRSDM KKP Maman Hermawan mengatakan, upaya untuk mengungkap produksi sampah plastik yang ada di lautan Indonesia, menjadi tugas penting bagi Indonesia. Menurut dia, informasi yang terlanjur menyebar luas di publik tentang status Indonesia sebagai negara kedua di dunia dengan produksi sampah plastik terbanyak, patut untuk dibuktikan kebenarannya.
“Perlu ada penelitian yang jelas, kajian yang sungguh-sungguh. Makanya, kita mau bentuk tim khusus untuk mengungkap kebenaran berita tersebut,” ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Maman mengatakan, perlunya dilakukan penelitian, karena pihaknya menyadari kalau wilayah laut Indonesia berbatasan langsung dengan negara seperti Australia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sementara, di sisi lain, walaupun memiliki batasan teritorial, wilayah laut tidak bisa dipisahkan seperti halnya wilayah darat.
“Untuk itu, segala hal yang ada di laut bisa saling berhubungan, tanpa ada batasan. Begitu juga dengan sampah plastik. Apalagi, negara tetangga juga sama-sama memproduksi dan menggunakan plastik dalam keseharian,” jelasnya.
baca juga : Ancaman Mikroplastik Semakin Nyata di Kawasan Pesisir Indonesia. Seperti Apa?
Petakan Sampah Plastik
Menurut Maman, dengan melakukan penelitian, pihaknya bisa memetakan produksi sampah yang ada di daratan dan masuk ke lautan untuk kemudian dicarikan solusinya. Mengingat, sampah plastik memang diketahui akan berdampak negatif bagi ekosistem di laut. Untuk itu, harus ada penanganan yang komprehensif, dengan memulainya dari penelitian produksi sampah plastik di laut.
Salah satu permasalahan yang kerap kali ditemukan di laut, kata Maman, adalah terganggunya kehidupan biota laut beserta sumber daya laut lainnya. Sampah plastik yang masuk ke dalam air, diketahui membawa partikel mikro dan nano plastik yang diketahui akan sangat berbahaya karena bisa termakan tanpa sengaja oleh ikan.
“Kalau (mikro dan nano) plastik itu masuk ke dalam struktur daging ikan, maka itu akan sangat berbahaya jika kita mengonsumsinya. Ini yang harusnya diketahui banyak orang,” tegasnya.
menarik dibaca : Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?
Maman menjelaskan, untuk menangani persoalan sampah plastik, Pemerintah Indonesia sudah membuat rencana aksi nasional (RAN) pengelolaan sampah laut dan sudah terlaksana sejak 2017. Sementara, untuk mendukung dan memuluskan RAN, Pemerintah juga menggelontorkan dana sebesar USD1 miliar dan diharapkan bisa berguna untuk memerangi produksi sampah plastik di laut. Dari situ, diharapkan pada 2025 mendatang produksi sampah plastik bisa berkurang hingga 70 persen.
Bagi Maman, komitmen untuk menurunkan produksi sampah plastik hingga 70 persen pada 2025, bukanlah target yang mudah dan enteng. Untuk menggapainya, akan diperlukan upaya ekstra keras dan juga memerlukan bantuan komitmen dari dalam dan luar negeri. Untuk itu, dia menantang masyarakat Indonesia untuk bisa membantu Pemerintah dalam upaya tersebut.
“Apakah siap untuk menjawab tantangan ini?” tanya dia tegas.
Maman menerangkan, saat ini Pemerintah Indonesia tengah menyusun konsep catatan untuk pertemuan kerja sama asia pasifik (Asia Pacific Economic Cooperation/APEC) yang akan berlangsung pada Juni mendatang di Cile. Pada catatan tersebut, Indonesia membagikan pengalaman berkaitan dengan upaya dan kebijakan untuk penanganan sampah plastik di laut yang bisa mengancam ketahanan lingkungan dan ekonomi.
perlu dibaca : Kapan Indonesia Terbebas dari Sampah?
Sebelumnya, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Reza Cordova juga membeberkan fakta tentang sampah plastik, khususnya mikroplastik. Menurut dia, mikroplastik memang sudah mengancam kerusakan ekosistem laut di Indonesia dan itu terus berlangsung sepanjang tahun tanpa henti.
Reza menyebutkan, diperkirakan saat ini mikroplastik yang ada di air laut Indonesia jumlahnya ada di kisaran 30 hingga 960 partikel/liter. Keberadaan mikroplastik di dalam air laut Indonesia, jumlahnya sama dengan jumlah mikroplastik yang ditemukan di air laut Samudera Pasifik dan Laut Mediterania. Namun, lebih rendah dibandingkan di pesisir Tiongkok, Pesisir California, dan Barat Laut Samudera Atlantik.
baca juga : Sampah Plastik Kian Mendekati Pusat Kutub Utara, Pertanda Apa?
Mikro dan Nanoplastik
Akan tetapi, Reza mengingatkan, walau jumlahnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang disebut di atas, keberadaan mikroplastik dengan jumlah sekarang di air laut Indonesia perlu mendapat kewaspadaan dari semua pihak. Mengingat, hingga saat ini masih ada dampak lain dari mikroplastik yang belum diketahui.
Reza menyebut keberadaan mikroplastik di laut Indonesia tak ubahnya seperti monster mini yang setiap saat merusak ekosistem di dalamnya. Keberadaan mikroplastik, harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan yang lebih luas lagi di dalam laut. Salah satu cara yang bisa dilakukan, adalah dengan mengubah perilaku manusia yang menjadi konsumen utama mikroplastik.
“Setiap tahunnya manusia menggunakan plastik hingga sebanyak 78 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya dua persen saja yang dilakukan daur ulang dan sebanyak 32 persen diketahui masuk ke dalam ekosistem darat yang kemudian masuk ke dalam laut. Sementara, sisanya diolah secara bervariasi untuk kebutuhan manusia lagi,” jelasnya.
Dengan fakta tersebut, Reza mengungkapkan bahwa ancaman kerusakan ekosistem di laut sudah semakin besar dan tak bisa dicegah lagi. Jika itu terjadi, maka biota laut akan menjadi korban pertama yang merasakan dampak buruknya. Hal itu terjadi, karena mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh biota laut, akan merobek usus dan merusak pencernaan.
“Salah satu yang menjadi korban itu, adalah penyu. Jika mikroplastik masuk ke dalam tubuhnya, maka dia akan mati secara perlahan. Penyebabnya, karena jika nanoplastik masuk ke darah, maka itu akan merusak otak,” jelasnya.
baca : Sampah Bukan Sahabat Penyu
Bahaya lain dari mikro dan nanoplastik, menurut Reza, adalah karena ukurannya sangat kecil dan bisa dengan mudah dimakan oleh biota laut dari yang berukuran sangat kecil hingga besar. Untuk itu, saat ada di dalam air laut, keberadaan mikro dan nanoplastik akan membahayakan biota laut seperti penyu yang berukuran besar, hingga plankton yang berukuran super kecil.
“Padahal, plankton ini dimakan ikan kecil, dan ikan kecil dimakan oleh ikan besar. Nah, ikan besar ini dimakan oleh manusia. Jadi, manusia juga sangat rentan,” jelasnya.
Reza menjelaskan, saat mikroplastik masuk ke dalam tubuh manusia, maka bahan pencemar akan bekerja untuk mengusir plastik dan tubuh pada akhirnya akan menjadi penuh dengan polusi. Kemudian, jika mikroplastik dimakan oleh biota laut, maka berikutnya akan muncul tumor di tubuhnya. Walau tidak seberbahaya kanker, namun dia mengklaim, tumor tersebut bisa mengancam populasi mereka.