Mongabay.co.id

Merawat Tradisi Leluhur, Simbol Petani Menjaga Budaya Agraris

 

 

Jelang musim tanam padi, biasanya di Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunegara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, digelar perayaan berkah bumi. Namun kini, budaya tersebut tidak terlihat lagi.

“Acara itu, sudah tidak diminati. Semua berubah sejak pertanian dinilai tidak menguntungkan lagi,” kata Kasman [60] petani setempat.

Kasman yang sudah 40 tahun bertani, mengaku acara itu memudar sejalan dengan peralihan lahan-lahan pertanian menjadi kawasan industri. Pertanian memang kerap besar pasak daripada tiang. “Apalagi bagi petani berlahan di bawah dua hektar atau petani tanpa lahan,” terangnya.

Baca: Foto: “Ngertakeun Bumi Lamba” Tradisi Sunda Bersenyawa dengan Bumi

 

Tradisi ngarot mengandung pesan ekplisit mengenai regenasi petani. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berjarak 60 kilometer dari Kabupaten Subang, tepatnya di Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, upaya mempertahankan eksistensi seperti budaya berkah bumi masih dipertahankan. Sebagian masyarakat di sini, setia merawat tradisi ngarot yang sudah menjadi warisan leluhur ratusan tahun tersebut. Ritual memasuki musim tanam merupakan simbol perlawanan terhadap industrialisasi yang menggeser budaya agraris.

Ngarot selalu dilaksanakan para kasinoman [muda-mudi]. Syarat ikut upacara adat ini adalah mereka yang belum menikah yaitu bujang dan gadis. Intinya, mereka akan diajarkan ilmu bercocok tanam.

 

Sudah 370 tahun, masyarakat Lelea melestarikan ngarot ketika sejumlah desa tetangga tak lagi rutin menjalankannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Melalui tradisi ini, remaja diajarkan bertani sejak dini. Semisal, aturan panen hanya dilakukan setahun dua kali. “Bagi masyarakat Lelea, ngarot hanya cara menjaga pertanian dipertahankan. Pesan arif dari tradisi ini adalah persawahan tidak beralih fungsi,” tutur Sasmita [64], tokoh masyarakat.

Secara administratif, Desa Lelea memiliki luas 422 hektar yang sekitar 380 hektar merupakan pesawahan. Sejak 370 tahun berlalu, masyarakat Lelea melestarikan ngarot ketika sejumlah desa tetangga tak lagi rutin menjalankannya.

Baca: Mereka yang Setia Mempertahankan Kearifan Lokalnya

 

Sejumlah gadis mengikuti acara adat ngarot di Desa Lelea, Indramayu, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Laju industri

Laju industri telah merambah persawahan di lumbung padi Jawa Barat ini. Dikutip dari Kompas    edisi 4 Januari 2018, Indramayu miliki lahan sawah 116.000 hektar dengan produk domestik regional bruto sektor pertanian 17,9 persen. Jauh dibandingkan industri dan pengolahan yang mencapai 44,69 persen. Artinya, pertanian bukan lagi kekuatan ekonomi Indramayu.

Di Batu Jaya, Kabupaten Karawang tak ada pula perayaan serupa. Sekalipun Karawang dikenal sebagai lumbung padi nasional sekaligus produsen padi terbesar ke dua setelah Indramayu. Saat ini lahan sawahnya terancam seiring berkembang industri.

Baca juga: Nasib Petani, Belum Menjadi Prioritas di Negara Agraris

 

Sejumlah penari dari beragam umur melakukan tarian Goyang Karawang, di Desa Batu Jaya, Karawang. Pada mulanya Goyang Karawang sangat erat kaitannya dengan budaya agraris. Foto: Donny IqbalMongabay Indonesia

 

Akibatnya, kearifan lokal yang mulai hilang adalah Goyang Karawang. Tradisi ini kerap digelar menjelang panen raya yang disambut sukacita petani. Gerak tarian yang dimainkan oleh perempuan, sejatinya diadopsi dari proses produksi padi hingga menjadi beras. Sementara irama yang tercipta, dihasilkan dari tumbukan lesung dengan alu sembari diiringi lantunan kawih-kawih Sunda [lagu khas Sunda].

Sementara itu, di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, ketidakjelasan stabilisasi harga membuat petani sayur sering menanggung rugi. Buntut kekecewaan, mereka mengumpulkan 2-3 ton tomat busuk karena tidak dipanen. Bukan karena tidak laku dijual, tetapi karena harganya yang jatuh. Tomat-tomat itu dikumpulkan untuk dilemparkan. Seiring berjalan waktu, lemparan ini yang mendasari petani mengadakan Festival Perang Tomat di Kampung Cikareumbi, Desa Cikidan.

 

Seorang pemuda menggunakan penutup kepala berbentuk keranjang menyambut acara perang tomat. Foto: Donny IqbalMongabay Indonesia

 

Bagi Nanu Munajar Dahlan [59], penggagas acara perang tomat, tradisi ini bukan hiburan semata. Lebih dari itu, dia menginginkan semua pihak sadar dan paham, banyak masalah yang ditanggung petani.

Mulai dampak perubahan alam yang mengkhawatirkan, lilitan utang kepada tengkulak, serta lemahnya peranan pemerintah terkait distribusi panen adalah sejumlah persoalan yang membuat petani sulit sejahtera.

 

Sejumlah warga mengikuti Festival Perang Tomat di Lembang, Bandung Barat. Festival ini diselenggarakan sebagai bentuk rasa syukut atas hasil panen sekaligus kritikan kepada pemerintah terkait kebijakan harga yang jarang dikendalikan menjelang panen. Foto: Donny IqbalMongabay Indonesia

 

“Selain bersyukur atas panen, apa pun hasilnya, acara ini awalnya adalah kritik bagi pemerintah. Namun, jika dianggap sebagai acara kesenian, itu urusan lain. Setidaknya, kami memiliki harapan esok hari hasil panen dijual dengan harga ideal,” kata Nanu.

Tradisi yang hampir sama dengan perang tomat di Spanyol ini, telah digelar lebih dari sewindu. Selama itu pula, para petani tetap melawan dengan cara mereka.

 

 

Exit mobile version