- Pengelolaan sampah di Indonesia masih dipandang sebelah mata. Kebanyakan pengelolaannya masih open dumping belum sistem sanitary landfill
- Menurut Presiden InSWA Sri Bebassari sesuai dengan UU No.18/2008, sesungguhnya Pemda harus meninggalkan sistem open dumping sejak 2013. Tetapi proses pelaksanaannnya memang tidak mudah.
- Salah satu daerah yakni Pemkab Banyumas, Jateng mulai berusaha meninggalkan “open dumping” dengan membangun Hanggar TPST
- Dengan adanya TPST, maka ada sampah organik maupun anorganik yang masih dimanfaatkan dan memberi penghasilan pengelola. Residunya dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Tiap 21 Februari diperingati sebagai hari peduli sampah nasional (HPSN). Sesungguhnya, HPSN bukanlah perayaan, melainkan peringatan. Sebuah peringatan akan tragedi yang terjadi di Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat tepatnya pada 21 Februari 2005 silam. Ada 157 warga tewas akibat longsornya tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah. Bahkan disebutkan, dua kampung terhapus dari peta akibat tergulung gunung sampah yang longsor. Itulah kemudian pada hari tragedi itu dijadikan sebagai HPSN.
“Sesungguhnya, setiap HPSN hadir, harusnya kita mengheningkan cipta. Ada 157 jiwa meninggal akibat longsornya TPA Leuwigajah. Hingga kini, belum jelas terdakwanya siapa. Longsor TPA Leuwigajah mengingatkan kita, betapa sebetulnya TPA-TPA yang ada di Indonesia juga merupakan bom waktu. Karena sebagian besar TPA bisa saja terjadi longsor,” ungkap President Indonesia Solid Waste Association (InSWA) Sri Bebassari saat berbincang dengan Mongabay-Indonesia pada Kamis (21/02/2019).
baca : Hari Peduli Sampah, Pemerintah Luncurkan Gerakan Indonesia Bersih
Sri mengatakan tragedi di Leuwigajah bisa saja muncul di TPA-TPA seluruh Indonesia, karena TPA belum standar dengan sanitary landfill atau sistem pengelolaan sampah dengan cara membuang sampah di lokasi cekung, memadatkan dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Yang terjadi di Indonesia, kebanyakan masih open dumping atau dibuang begitu saja di TPA sehingga sampahnya menggunung dan rawan longsor.
Sri mengkritik kebijakan pembangunan yang belum memperhatikan TPA. Sebab, selama ini pembangunan TPA masih kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan infrastruktur lainnya seperti jalan tol, bandara, hotel dan lainnya. “Sebagian besar pengelolaan TPA masih terbuka, kalah sama kucing. Kucing saja kalau buang kotoran saja pasti menutup, tetapi TPA kita masih banyak yang terbuka,”ungkapnya.
Sebetulnya, lanjut Sri, sesuai dengan UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah khususnya pasal 44 ayat (1) menyebutkan kalau pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem terbuka paling lama satu tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini. Kemudian ayat (2) pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini. “Jadi, jelas, seharusnya sesuai dengan UU, open dumping harus ditinggalkan sejak 2013 silam. Namun kenyataannya, setelah 6 tahun masih banyak Pemda yang belum melaksanakan,”ujarnya.
baca juga : Indonesia Bebas Sampah 2020, Kemandirian Pengelolaan Sampah Harus Dilakukan
Tetapi, lanjut Sri, mengeksekusi tidaklah mudah, sebab pengetahuan Pemda terkait dengan TPA dan pembiayaan yang benar masih sangat minim. “Kita masih membutuhkan training-training kepada bupati, walikota kalau pengelolaan TPA yang baik memang berbiaya mahal. Ibaratnya TPA itu adalah toilet. Banyak kota memiliki ‘ruang tamu’ yang bagus, tetapi ‘toilet’-nya tidak punya atau di kebun orang. Ibaratnya ‘ruang tamu’ sudah bintang lima dengan biaya ratusan juta, tetapi ‘WC’-nya hanya dialokasikan Rp2-5 juta,”katanya.
Sri memahami kalau pengelolaan sampah dan TPA juga terkait dengan mengubah budaya masyarakat yang butuh waktu, kadang setahun tetapi ada pula yang 10 tahun. “Budaya kita masih budaya ruang tamu, budaya pamer, budaya teras, sehingga kadang WC jelek, tempat sampah tidak punya. Padahal seharusya kota yang modern adalah kota yang TPA-nya bagus, truk sampahnya cantik. Bukan hanya kendaraan yang lalu lalang saja yang cantik,”katanya.
Ke depan, kata Sri, pemda harus terus didorong untuk mengelola sampah secara benar dan baik. “Barangkali ada daerah yang telah memiliki tempat pemilahan sampah, itu bagus. Namun, pemilahan sampah tetap harus ada TPA-nya, karena untuk membuang residu. Secanggih apapun peralatan pengolahan sampah, masih tetap ada residu sekitar 5-10%. Kalau ada daerah uang mulai mengurangi di sumbernya, itu sebetulnya jangka panjang, karena hal tersebut merupakan ilmu tertinggi dalam persampahan,”tandasnya.
menarik dibaca : Kapan Indonesia Terbebas dari Sampah?
Pengelolaan di Daerah
Lalu bagaimana dengan pengelolaan sampah di daerah? Di Banyumas, Jateng misalnya, Pemkab setempat sudah mulai meninggalkan konsep open dumping dengan menutup TPA seperti TPA Gunung Tugel dan TPA Kaliori. Mulai tahun 2018 lalu, Pemkab Banyumas membangun sejumlah tempat pengolahan sampah terpadu (TPST). TPST yang dibangun dilengkapi dengan hanggar tertutup untuk menampung sampah. Kemudian ada warga yang bekerja untuk melakukan pemilahan. Di Banyumas sampah yang dihasilkan setiap hari mencapai 600 ton atau rata-rata 0,3 kg per kepala keluarga. Ada 65 truk, 40 truk di antaranya merupakan sampah perkotaan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas Suyanto mengatakan pada 2018, Pemkab melalui APBD Perubahan mengalokasikan Rp10 miliar untuk pengelolaan sampah. Alokasi tersebut dipakai untuk pembangunan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di TPA. Selain itu, dana lainnya dipakai untuk membangun hanggar TPST di lima lokasi yakni Ajibarang, Wangon, Patikraja, Sumpiuh dan Sumbang. Pada 2019, ada alokasi lagi senilai Rp10 miliar untuk melanjutkan pembangunan TPST di wilayah perkotaan. Nantinya ada sekitar 8-10 TPST dengan alokasi masing-masing Rp1 miliar di setiap lokasi.
perlu dibaca : Banyumas Darurat Sampah. Ada Apa?
Tahun ini juga, Pemkab mendorong penanganan dan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Jadi konsep penanganan mulai dari sumbernya mulai diterapkan. Suyanto mengakui dari 65 truk sampah yang ada, pengolahan di hanggar Kedungrandu, Kecamatan Patikraja dan di Karangcegak, Kecamatan Sumbang hanya 40 truk. Ada beberapa faktor di antaranya karena ini baru mulai dan tenaga kerja masih belum terlalu terampil. “Di masing-masing hanggar, ada 75 pekerja dengam sistem pengelolaan melalui kelompok swadaya masyarakat (KSM). “Saat sekarang, masih ada 25 truk sampah yang dibuang ke TPA Windunegara,”katanya.
Mulai 11 Februari lalu, Pemkab Banyumas menyerahkan pengelolaan dan penanganan sampah ke KSM kelurahan maupun titik-titik pengumpulan sampah yang dikelola masyarakat maupun swasta. Namun demikian, Pemkab masih tetap bertanggung jawab mengelola karena sampah masih belum diselesaikan secara tuntas di hanggar. Bahkan, ada wacana juga untuk pengadaan mesin pengolah sampah. “Masih ada beberapa opsi, namun yang pasti, Banyumas akan meninggalkan open dumping dengan melakukan pemilihan maupun pengolahan sampah,”tandasnya.
baca juga : Setelah Carut Marut Sampah di Banyumas, Bagaimana Komitmen Penanganannya?
Sementara Ketua KSM Sejahtera, Kelurahan Purwanegara, Kecamatan Purwokerto Utara, Banyumas, Hidayat Yuliantoro mengatakan kalau KSM setempat setiap harinya mengelola 3 ton sampah dari warga satu kelurahan. “Dari sampah-sampah tersebut, yang bisa kami kelola baru sekitar 50%, yakni sampah anorganik maupun organik. Untuk sampah organik, kami mengolahnya menjadi pupuk. Tetapi dalam sebulan relatif masih sedikit, kalau dinominalkan sekitar Rp130 ribu. Sedangkan untuk sampah plastik, kami kembali menjualnya kepada pengepul dengan nilai Rp2 juta/bulan,”kata Hidayat.
Menurutnya, setelah dilakukan pemilahan sampah, residu kemudian dibawa ke tempat pembuangan di Windunegara, Wangon. Sebab, satu-satunya lokasi pembuangan pengganti TPA tinggal tersisa di Wangon. “Untuk setiap keluarga, KSM menarik Rp20 ribu untuk pengelolaan sampah. Yang ikut berlangganan untuk diambil sampahnya mencapai 80% dari jumlah penduduk di Kelurahan Purwanegara,”ujarnya.
Secara terpisah, Pengurus KSM Hanggar TPST Kedungrandu, Patikraja, Imam Subeki mengatakan pihaknya setiap harinya menerima 6-7 truk dengan berat sampah antara 30-35 ton. “Sampah-sampah tersebut baru dapat dimanfaatkan kurang dari 50%. Residu atau sisa sampah yang dimanfaatkan dibuang ke Windunegara, Wangon,”kata Imam.
Menurutnya, sebetulnya dengan 75 pekerja pemilah dan pengolah sampah masih kewalahan untuk mengelola sebanyak 6-7 truk setiap harinya. Sebab, tenaga yang bertugas memilah hanya 28 orang. Sedangkan sisanya berkeliling mengambil sampah dan menggarap pembuatan pupuk. “Idealnya, kami hanya mengolah sekitar 3 truk sampah. Sehingga nantinya tidak akan ada sampah yang menumpuk di hanggar. Namun demikian, kami terus berusaha untuk membuat tenaga kerja terampil. Sebab, hanggar di sini juga baru aktif sekitar Januari lalu,”ujarnya.
menarik dibaca : Ibu Rumah Tangga, Kunci Penanggulangan Sampah Plastik
Pengelolaan yang sudah cukup komprehensif berada di Desa Tipar Kidul, Kecamatan Ajibarang. Pasalnya, di lokasi setempat sudah terbangun TPST dan lokasinya tidak terlalu jauh dari TPA. Sehingga kalau ada residu, maka pengelola TPST membuangnya ke TPA Tipar Kidul. Hanya memang TPA setempat masih open dumping.
Koordinator TPST Tipar Kidul, Ajibarang, Wahyu Banowo mengungkapkan sampah yang masuk dari empat kecamatan yakni Ajibarang, Cilongok, Pekuncen dan Gumelar rata-rata 10 ton, tetapi akan melonjak pada awal pekan dengan jumlah 15 ton. “Kami memiliki 29 pekerja untuk melakukan pemilahan. Setelah dilakukan pengolahan, masih ada residu 30-40% dan masuk ke TPA Tipar Kidul. Namun, kami masih tetap meminta campur tangan pemerintah dalam pengelolaan, terutama dalam operasional. Jangan pernah dilepas,”katanya.
Kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemkab Banyumas dalam mengelola sampah memang masih ada kekurangan di sana sini. Tetapi niat untuk meninggalkan open dumping dengan membuat hanggar TPST patut diapresiasi. Pemkab juga mengalokasikan dana cukup besar untuk mengelola sampah. Ke depannya, pengelola didorong untuk lebih maksimal dalam pengelolaannya, karena dengan semakin efektif memanfaatkan sampah, pendapatan dari sampah juga bisa bertambah.