- Gunung Kerinci merupakan gunung tertinggi di Sumatera dengan ketinggian 3.805 m dpl yang dijuluki “Atap Sumatera”
- Di kaki Gunung Kerinci terdapat perkebunan teh tertua di Indonesia, sudah ada sejak 1925, saat zaman kolonial Belanda
- Ditengah luasnya perkebunan teh, terdapat pengolahan kopi arabika Kerinci yang dikenal sebagai kopi konservasi. Pasarnya mulai dari dalam hingga luar negeri
- Awalnya petani kopi di Kerinci dikenal sebagai perambah hutan di Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS]. Namun berkat pendampingan, stempel itu perlahan hilang menjadi petani yang peduli hutan dan alam
Gelap berganti terang. Kabut mulai menyingkap, memperlihatkan kemegahan Gunung Kerinci [3.805 m dpl] pukul 05.30 WIB. Gunung tertinggi di Pulau Sumatera berjuluk atapnya Pulau Sumatera. Saya menyaksikan langsung pemandangan itu dari jendela lantai dua homestay milik Subandi di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Di depan homestay, terdapat tugu dengan patung macan sebagai penanda jalan. Toko dan rumah penduduk masih tertutup. Sepi.
Pagi itu, Kamis 31 Januari 2019, saya tak sendirian. Tiga teman perjalanan terlebih dulu menyusuri kebun teh. Ketika mendengar suara cericit burung, mereka mengeluarkan binokular dan memantau burung. Mereka adalah Pantiati, Biodiversity Officer dan Abdullah Kadir Diko, Community Participation Officer. Keduanya bekerja pada Burung Indonesia untuk program Gorontalo. Serta Sukifli, mahasiswa biologi dari Universitas Negeri Gorontalo.
“Biasanya jam 7.00 pagi para pekerja bergegas menuju perkebunan teh,” kata Subandi.
Baca: Kakao Berkelanjutan Makarti Jaya: Jenis Burung Bertambah, Produktivitas Meningkat
Subandi adalah lelaki 50-an tahun. Ia satu dari sekian pemilik homestay di sini. Di tempatnya sering disinggahi para pendaki dan juga peneliti, dalam dan luar negeri yang tertarik Gunung Kerinci. Karena sering mendampingi peneliti luar negeri, Subandi mampu berbahasa Inggris dengan baik, dan juga memiliki kemampuan mengidentifikasi burung.
Subandi termasuk perintis homestay di Kayu Aro. Tempatnya sangat strategis karena berhadapan langsung dengan Gunung Kerinci dan juga perkebunan teh. Ia tak menampik ketika perkebunan teh Kayu Aro disebut kebun teh terluas kedua di dunia setelah pegunungan Himalaya.
Perkebunan teh Kayu Aro disebut kebun teh tertua di Indonesia. Sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda pada 1925.
Baca juga: Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru
Kopi Arabika Kerinci
Setelah merasakan suasana segar perkebunan teh Kayu Aro, saya bersiap menuju pabrik kopi arabika Kerinci, PT. Agro Tropic Nusantara, dikenal sebagai kopi konservasi. Alamatnya di Desa Sungai Lintang, Kecamatan Kayu Aro Barat, hanya 20 menit naik mobil dari Desa Kersik Tuo.
Seorang perempuan berjilbab, mengenakan jaket menyapa. Ia adalah Emma Fatma, Direktur PT. Agro Tropic Nusantara. “Silahkan dicoba kopi arabika khas Kerinci. Cocok diminum saat udara dingin begini. Lebih enak tanpa gula karena baik untuk kesehatan,” kata Emma ramah.
Latar belakang Emma adalah aktivis lingkungan di Jambi. Ia pernah bergabung WWF Indonesia hampir 20-an tahun. Bersama aktivis lain di Jambi, ia mendirikan organisasi lingkungan bernama Lembaga Tumbuh Alami [LTA].
Emma adalah sosok penting mengorganisir dan mendampingi petani kopi untuk tidak lagi membuka kebun di dalam Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS]. Ia berhasil mengubah stempel petani perambah hutan menjadi petani peduli hutan dan alam.
“Banyak tantangan ketika pertama kali saya mendampingi petani kopi di sini. Mulai dari penolakan, dicerca, hingga ancaman. Selama 3 hingga 4 tahun saya damping, hasilnya terlihat 2013,” ceritanya.
Total, sekitar 800-an petani kopi binaannya, namun hanya 500-an yang setia mengirimkan hasil panen ke pabrik milik Emma. Dalam satu hari, kopi yang masuk rata-rata 10 ton. Jika musim panen, bisa 15 hingga 20 ton. Emma juga mendirikan Credit Union atau koperasi kredit sebagai tempat simpan pinjam petani kopi. Ia menerapkan sistem bonus; setiap satu kilogram, petani mendapatkan Rp100.
“Uang itu dikumpulkan di koperasi, keuntungannya dikembalikan kepada petani sendiri,” ujarnya.
Namun sebagaimana tujuan awal mendampingi petani kopi dengan menerapkan prinsip ekologis, Emma memberikan syarat mutlak. Petani tidak boleh menggunakan unsur kimia berbahaya seperti pestisida, juga menanam dengan sistem agroforestry atau kebun campur; kopi harus ada tanaman pelindung lain.
“Ada berbagai jenis pohon pelindung seperti lamtoro, alpukat, cempaka, atau jeruk. Petani binaan ini rata-rata memili luas lahan satu hektar,” ungkapnya.
Pernah, ada petani yang berbuat “nakal” memasukan kopi yang ditanam di kawasan TNKS, ke pabriknya. Namun si petani, kata Emma, lupa bahwa pihaknya rutin ke lapangan dan mempunyai titik koordinat lahan. Petani itu dicoret dan tidak lagi mendapat binaan.
Setelah berbincang, Emma mengajak saya melihat pengolahan kopi arabika. Mulai dari perendaman, pemilihan biji terbaik, pengeringan, hingga sistem pengemasan.
Emma menjelaskan, isu lingkungan menjadi “jualan” kopi arabika Kerinci ini, termasuk pengolahannya. Untuk itu ia menerapkan sistem recycle; dari kopi kembali ke kopi, limbah atau ampas dijadikan pupuk. Sehingga kopi benar-benar organik.
“Prosesnya benar-benar bersih. Petani tidak ada yang pakai pestisida. Karena ada konsumen yang fanatik dengan rasa dan kebersihan,” terang Emma.
Pasaran kopi petani Kerinci telah merambah luar negeri. Perusahaan yang dikelola Emma telah kerja sama dengan dua perusahaan di Amerika, yang memiliki cabang di Eropa, seperti Inggris dan Jerman. Selebihnya, dijual di dalam negeri, termasuk juga menjalin kerja dengan Starbucks.
Meski kopi arabika Kerinci telah memiliki “branding” tersendiri, Emma tidak berhenti melakukan edukasi ke petani. Bahkan di kawasan enclave di Renah Pemetik, Kecamatan Air Hangat Timur, ia berhasil menjadikan petani kopi di sini sebagai mitra konservasi Balai TNKS. Pendampingannya menjadi pilot project pengelolaan kawasan.
“Saya berulang menyampaikan kepada petani bahwa hutan itu harus dijaga. Kalau tidak, kita akan hancur. Kopi Kerinci adalah kopi konservasi, harus mampu menjaga kawasan,” tegas Emma.
Menjelang siang, saya pulang. Megahnya Gunung Kerinci perlahan tertutup awan dan menghilang dari pandangan.