Mongabay.co.id

Cerita Kampung Mamboro dan Tsunami yang Berulang

Kampung nelayan Mamboro, adalah pusat perikanan Sulawesi Tengah, luluh lantak oleh gempa dan tsunami jelang maghrib, 28 September 2018. Pada 1938, gempa dan tsunami pernah melalap sebagian Kampung Mamboro, ke dasar laut. Kampung Mamboro lama (Perikanan) ditinggalkan, bahkan orang lokal, enggan mendekati daerah itu dan menilai angker. Mereka membangun kampung baru, sebagian tinggal di gunung . Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Nurhayati, menatap jauh riak ombak Teluk Palu. Masih terekam jelas tsunami senja itu meski lebih empat bulan berlalu.

“Ponakan saya empat orang jadi korban ombak kemarin,” kata perempuan paruh baya itu, berlogat Bugis. Dia tinggal di Kampung Mamboro Perikanan.

Mereka berusaha menyelamatkan diri dengan naik truk melintas ke arah Kota Palu, selang 50 meter, tsunami menghantam. Mereka tak selamat.

Nurhayati, sama dengan warga Mamboro Perikanan, yang selamat karena berlari ke Kampung baru Mamboro. Ia berada di utara Kota Palu, hanya sedikit alami kerusakan.

Rumah Nurhayati, berada di RW01/02 Tanjung Ruru, Mamboro Perikanan, hanya 15 meter dari laut, tersapu bersih tsunami bersama ratusan rumah lain.

Tinggal di perkebunan warga di dataran cukup tinggi tidaklah membuat Nurhayati, nyaman. Hanya sehari, diapun kembali ke bekas rumahnya yang hanya tersisa sebagian lantai keramik. Dia bangun kembali rumah dari puing-puing yang bertebaran.

Kampung nelayan Mamboro, adalah pusat perikanan Sulawesi Tengah, luluh lantak oleh gempa dan tsunami jelang maghrib, 28 September 2018. Kala itu, gempa berkekuatan 7.4 SR mengguncang Palu, Sigi, Donggala dan Parimo, dengan hantaman gelombang tsunami lebih 10 meter.

Kelurahan Tondo Dupa dan Mamboro Perikanan di Kota Palu, seakan lenyap tersapu gelombang tsunami. Data BMKG menyebutkan, tinggi gelombang tsunami di Tondo 10.67 meter dengan jangkauan 165 meter ke daratan. Di Mamboro, terutama pergudangan hingga perikanan, gelombang tsunami hampir 10 meter, dengan menjangkau daratan 378.9 meter.

“Gelombang tsunami dipicu longsoran bawah laut di Teluk Palu karena gempa besar,” kata Abdullah, pakar kebencanaan dari Universitas Tadulako Palu. Abdullah, mengkhususkan diri meneliti sesar Palu Koro sejak 30 tahun silam dan pengajar di FMIPA Universitas Tadulako.

Terjangan tsunami, memporak-porandakan Tondo Dupa dan Mamboro Perikanan terjadi karena pertemuan dua gelombang tsunami. Gelombang yang konstruktif dan amplitudo meningkat menciptakan kekuatan jauh lebih besar dan menghancurkan.

Dia gelombang tinggi itu berasal dari dua titik pusaran. Gelombang dari utara menuju selatan dan dari selatan menuju utara. Dari pengamatan dia, gelombang selatan ke utara terpicu dari longsoran di Tondo, sementara gelombang bergerak dari utara menuju selatan berpusat di laut Taipa, Kayumalue.

“Sangat destruktif. Kapal saja naik ke jalan aspal.”

 

Kampung Mamboro Perikanan yang hancur terlibas tsunami Septermber tahun lalu. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Tanjung Ruru dulu

Sekitar 40 tahun silam, Nurhayati dan suami serta seorang kerabat, datang dan menetap di Tanjung Ruru, Mamboro.

Kala itu, wilayah ini pepohonan sangat rimbun, tak terjamah dan dikenal angker. Penduduk asli Suku Kaili etnis Rai, yang mendiami Mamboro bahkan tak berani menjejakkan kaki di sekitar wilayah itu.

“Saya dulu heran, kenapa orang sini tak mau kemari biar cuma lewat. Dorang dulu itu kalau ke Palu lewat di atas (jalan setapak di bagian atas Mamboro),” kata Nurhayati.

Mereka bertiga bertahan. Sudah jauh-jauh pindah dari tanah Bugis demi mencari kehidupan lebih baik. Area yang dihindari warga lokal Mamboro itu pun mereka tinggali. Masa itu, lokasi ini, menyimpan kekayaan laut luar biasa.

“Dekat laut, banyak juga ikan, tidak susah kami tinggal di sini. Ada juga rasa takut apalagi kalau malam baru saya sendiri,” katanya.

Dia sering ditinggal suami melaut pada malam hari. Walaupun jarak dekat dari tempat tinggal, Nurhayati sering ketakutan dan memilih menunggu suami di rumah warga yang jauh dari Tanjung Ruru. Hasil laut melimpah, pelahan, ekonomi keluarga Nurhayati, membaik.

Tak sampai lima tahun, Tanjung Ruru yang dulu sepi dan terkenal angker itu berubah jadi pemukiman. Nurhayati, tak sepi lagi.

Geliat ekonomi keluarga Nurhayati, mengundang pendatang lain ikut mencoba hidup di Tanjung Ruru. Era 90-an, Tanjung Ruru Mamboro, terkenal sebagai penghasil ikan segar bagi warga Kota Palu dan sekitar.

Perputaran ekonomi bagus ditambah infrastruktur jalan poros Sulawesi makin menguatkan posisi mereka. Kerlap-kerlip lampu kapal bagang milik nelayan Tanjung Ruru di atas Teluk Palu, menjadi pesona wilayah itu.

Potensi inipun dilirik pemerintah daerah dengan mentasbihkan Tanjung Ruru, sebagai pusat observasi dan perikanan. Bergantilah Tanjung Ruru menjadi Perikanan (Mamboro Perikanan) hingga sekarang.

Ekonomi warga Perikanan, berjaya. Sayangnya, tak ada yang menghiraukan cerita masa lalu Tanjung Ruru, hingga warga lokal enggan tinggal di sana.

Sampailah gempa bumi dan tsunami September lalu, membuka tabir sejarah kelam Tanjung Ruru, di masa lampau.

 

Kampung nelayan Mamboro ini tersapu bersih oleh tsunami. Tsunami 2018, bukan kali pertama. Pada 1938, tsunami telah menghancurkan kampung ini. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Gempa dan tsunami 1938

“Goya-goya gontiro… Toka bonga Loli’o

Palu, Tondo, Mamboro…Matoyomo….Kamolue melantomo.” 

Goyang-goyang di Desa Ganti (Banawa, Donggala)

yang melihat ke bawah, orang Desa Kabonga dan Loli Oge,

Palu,Tondo dan Mamboro, sudah tenggelam.

Begitu satu syair yang didengarkan turun menurun di Suku Kaili. Generasi tua Suku Kaili, etnis yang mendiami Lembah Palu, memiliki tradisi tutura atau mo tutura alias bertutur. Tradisi ini bisa berbentuk syair seperti berpuisi, dikenal dengan kayori.

Generasi tua suku kaili, etnis yang mendiami lembah Palu, memiliki tradisi tutura atau mo tutura alias bertutur. Tradisi ini bisa berbentuk syair seperti berpuisi yang dikenal dengan Kayori. Kayori atau kata-kata yang diucapkan dengan nada suara dan karakter tertentu merupakan hal yang benar terjadi.

Syair kayori soal desa bergoyang dan tenggelam itu menuturkan bencana gempa dan tsunami tahun 1938. Syair ini ditemukan dalam catatan tua milik masyarakat adat Kayumalue di Kota Palu.

“Di kayori ini lebih menitikberatkan gempa dan tsunami tahun 1938 yang menghancurkan Mamboro dan pesisir Pantai Teluk Palu,” kata Gifvents Lasimpo, pegiat lingkungan Komunitas Muda Peduli Hutan (Komiu) juga warga Kayumalue, Palu Utara.

Dalam syair itu, disebutkan, bencana itu menyebabkan Mamboro, berada di dalam laut. Korban berjatuhan dan rumah-rumah warga hancur. Daerah Tanjung Mamboro, mengalami penurunan tanah, begitupun di Tondo juga mengalami hal sama hingga disebut Kaombona-dialek Kaili Doi– berarti tempat yang runtuh. Lokasi ini sekarang dikenal sebagai Tana Runtu.

Ke sebelah barat Desa Ganti, di Donggala, hanya bisa melihat guncangan gempa antara Kabonga dan Loli Oge. Pada saat itu, Palu, Tondo dan Mamboro, terkena dampak gempa kecuali Kayumalue, selamat.

Syair kayori yang dicatat masyarakat adat Kayumalue ini diamini Jaena, perempuan berusia lebih 90 tahun, penyintas dua bencana besar di Palu.

“Saya masih kecil waktu kejadian itu. Masih 3-4 tahunlah. Tahu kejadian ini karena diceritakan sama bapak dan kakak bagaimana kami selamat,” cerita nenek Jaena.

Kala itu, gempa mengguncang tengah malam buta. Warga berusaha menyelamatkan diri sebelum gelombag tsunami menghantam. Jaena kecil diselamatkan ayahnya dengan dilempar ke area lebih tinggi.

“Dari dulu, orangtua kami tahu kalau ada gempa besar pasti ada bomba talu biasa juga dibilang air badiri.”

Jaena dan warga lain lari ke gunung. Kampung mereka tinggalkan karena sudah hilang. “Sudah jadi laut itu kampung. Sedikit saja sisanya, itulah yang sekarang dikenal Perikanan.”

Tanjung Ruru–penyebutan warga kala itu–merupakan perkampungan tua Mamboro dan cikal bakal Kelurahan Mamboro. Sekarang, lokasi sama kembali hancur kena hamtaman tsunami akhir September 2018.

Kampung Mamboro, dulu, adalah pemukiman padat penduduk. Terletak di Tanjung Ruru, hanya sebagian kecil tersisa setelah gempa dan tsunami pada 1938. Sebagian besar perkampungan itu ada di dasar laut Teluk Palu.

Bertahun Jaena, keluarga dan warga lain, berdiam di gunung. Kemudian mereka turun, berdiam di dataran rendah Mamboro. Mereka menamai, Kampung Baru Mamboro. Sebagian lain memilih tetap tinggal di gunung hingga sekarang.

Kesedihan dan ketakutan membuat mereka menjauhi wilayah kampung tua Mamboro. Lama wilayah itu terabaikan dan tak terjamah, sampai Nurhayati bersama kerabat datang kemudian menetap di Tanjung Ruru Mamboro.

“Orang-orang dari selatan itu tidak tahu apa yang terjadi di situ. Baru nanti ada gempa ini mungkin baru dorang tahu,” kata Jaena.

 

Koran Belanda yang memuat cerita gempa dan tsunami 1938. Sumber: Komunitas Historia Sulawesi Tengah

 

Catatan Belanda

Gempa bumi dangkal, memicu tsunami di Teluk Palu dan merusak wilayah pesisir bukanlah kejadian pertama. Aktivitas seismik dengan skala 7.6 SR mengguncang Palu dan sekitar serta menimbulkan tsunami kala itu lebih dikenal sebagai bomba talu (tiga gelombang). Ada pula menyebut air bediri.

Gempa berskala besar dipicu pergerakan sesar Palu Koro tercatat dalam koran Belanda Leeuwarder Nieuwsblad. Koran ini didirikan Abraham Ferwerda dan terbit pertama kali pada 1752.

Gambaran rinci pasca bencana di Palu, terbit pada 21 Mei 1938.

“Dalam edisi 21 Mei 1938 itu melaporkan gempa bumi dirasakan di Palu dan Mamboro. Menyebabkan kerusakan besar. Di Palu, 50 rumah ambruk, di banyak tempat tanah terbelah, di Wani, delapan rumah hancur, di Mamboro 17 rumah rusak hanyut oleh gelombang pasang,” kata Jefrianto, pegiat sejarah di Komunitas Historia Sulawesi Tengah.

Di Donggala, guncangan pertama terasa 10 menit sebelum 00.30 waktu setempat. Guncangan ini dilaporkan intens selama satu menit. Guncangan kedua bahkan lebih buruk dan berlangsung selama tiga menit.

Orang-orang hampir tak bisa berdiri dan melarikan diri ke jalanan. Sepanjang malam itu, warga menghabiskan waktu di luar rumah.

“Seperti itu terjemahan koran berbahasa Belanda,” kata Jefri.

Neni Muhidin, pegiat literasi dan Founder Nemu Buku juga salah penggagas ekspedisi sesar Palu Koro, menyebut, gempa dan tsunami medio 1938 berpusat di Teluk Tomini, Parigi Moutong.

Harian Belanda De Goi En Eemlander edisi 23 Mei 1938 memberitakan, korban gelombang pasang di wilayah ini merenggut sembilan korban dewasa dan delapan anak-anak. Gempa ini turut memicu gelombang tsunami di Teluk Palu. Dalam banyak catatan mengungkap, kerusakan terparah terjadi di Mamboro Perikanan.

“Kau bayangkan bagaimana satu kejadian gempa dapat memicu gerakan mematikan di dua teluk, Teluk Tomini di Parigi dan Teluk Palu. Dampaknya luar biasa terutama di Mamboro.”

Menurut Abdullah, gempa bumi terjadi Jumat 20 Mei 1938 pukul 01.08 waktu setempat. Gempa berskala 7.6 SR terjadi di episentrum 119.03 BT dan 0.5 LS kedalaman 33 kilometer. Aktivitas seismik Palu Koro itu memicu tsunami setinggi empat meter di Teluk Palu.

“Pantai di Mamboro, mengalami down lift (penurunan muka tanah), salah satu yang spektakuler di kejadian itu Pasar Mamboro hilang karena posisi dekat pantai,” katanya.

Dia bilang, kata hilang itu bisa diartikan masih tampak di permukaan tetapi sudah tak bisa terpakai lagi karena di kelilingi air laut. “Sama dengan di Mamboro Labuan Beru, juga mengalami penurunan pasca gempa kemarin.”

Daratan sejauh 150 meter turun hingga jarak pantai sudah berbatasan langsung dengan belakang rumah warga. “Kita tunggu empat bulan sejak kejadian, apakah permanen atau tidak (penurunan-red). Jika permanen, area down lift akan selamanya di dalam laut. Sama dengan kejadian Pasar Mamboro, dulu, permanen, lama kelamaan hilang.”

Abdullah bilang, bumi memiliki proses sendiri, patahan yang turun memiliki kemungkinan terangkat kembali. “Kita tak tahu, tunggu saja.”

Di Mamboro Perikanan, saksi kampung hilang itu masih ada, tiga batang kayu Jawa tua dan karang raksasa di ujung Tanjung Ruru. Ia penanda kampung tua yang sudah hilang.

“Sudah ada waktu saya datang pertama kali. Itu pohon yang paling besar dan angker. Ada juga karang putih besar, biasa kami pakai kait jangkar, sekarang sudah jauh di dalam laut,” kata Nurhayati.

 

Sebelum gempa dan tsunami menghantam, Kampung Mamboro Perikanan, terkenal pusat perikanan, yang memasok ikan bagi Palu dan sekitar. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi bencana

Selain peringatan dini, pengetahuan sejarah bencana di pemukiman mereka, membuat Nurhayati dan warga Perikanan, tak waspada hidup di wilayah rawan.

Berbeda dengan masyarakat Kaili. Mereka memperoleh pengetahuan tentang gempa dan air berdiri dari generasi sebelumnya.

Ino (Mama) dulu sering cerita kalau ada linu (gempa dalam bahasa Kaili) baru besar cepat lari ke gunung. Apa ada air badiri datang, saya kira itu cuma cerita orang-orang dulu saja. Mana ada air badiri, nanti tana goyang. Kemarin baru ada tsunami, baru kita orang percaya.”

Cerita Aderiyani, warga Labuan Beru, rumah hanya berjarak 50 meter dari laut. Melihat gelombang menyerbu, warga Labuan Beru, langsung berlarian mencari lokasi jauh dan tinggi. Dua rumah warga tepat di pesisir hilang terbawa gelombang. Meskipun begitu, tak ada warga Labuan Beru, jadi korban tsunami.

Enam orang korban di lokasi ini bukanlah warga setempat tetapi pekerja di perusahaan tambang pasir. Ia berada cukup jauh dari pemukiman.

Menurut Jaena, cerita zaman dulu itu bagi generasi muda sangatlah sulit dipercaya. Bagi mereka, apa yang dia sampaikan hanyalah usaha menakuti-nakuti tanpa bukti.

“Sekarang, baru kamu orang percaya kalau cerita itu betul.”

Bagi Abdullah, gempa dan tsunami lalu, merupakan pelajaran penting menyiapkan mitigasi pesisir yang dapat menjamin keselamatan dan kelestarian lingkungan.

“Inilah momentumnya, pemerintah harus tanggap melihat. Jangan lagi ada pemukiman. Sempadan pantai haruslah clear, itu aturan, jarak 100 meter lebar dari garis pantai ke darat tidak boleh ada pemukiman.”

Namun hal ini tak berlaku bagi nelayan Perikanan. Kini, mereka kembali membangun di lokasi sama. Ketidakjelasan nasib dan penanganan lambat pasca bencana ditambah keahlian mereka hanya sebagai nelayan, tak memberikan mereka banyak pilihan.

“Mau apa lagi. Mulai dari awal seperti waktu pertama kemari. Tidak mungkin kita tunggu bantuan terus,” kata Nurhayati, pasrah. Kalaupun pemerintah tidak kasi kita tinggal lagi disini, setidaknya-tidaknya usaha kami tetap ada disini, kita ikuti tapi jangan terlalu jauh dari sini,” kata  Nurhayati.

Meski dihantui rasa takut, Nurhayati dan warga lain di pesisir barat Mamboro, tidaklah goyah. Hidup harus terus jalan. Setidaknya bencana memberi mereka pengalaman dan pelajaran bahwa hidup di daerah bencana tidaklah mudah.

“Tidak ada larangan tinggal di daerah, bencana hanya bagaimana kita bijak hidup di atasnya,” kata Abdullah.

 

 

Keterangan foto utama:    Pesisir Donggala. Gempa dan tsunami, merusak Kabupaten Donggola, Sigi dan Kota Palu.  Di Kampung Mamboro, Palu, pada 1938, gempa dan tsunami pernah melalap sebagian kampung, ke dasar laut. Kampung Mamboro lama (Perikanan) ditinggalkan, bahkan orang lokal, enggan mendekati daerah itu dan menilai angker. Mereka membangun kampung baru, sebagian tinggal di gunung . Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Warga mulai membangun kembali kampung yang hancur itu. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version