Mongabay.co.id

Tantangan Kelola Hutan di Aik Berik: dari Rendahnya Harga Komoditas sampai Kelembagaan Pemangku Wisata

 

Tulisan sebelumnya tentang HKm Aik Berik dapat dilihat pada tautan ini.

Enam tahun setelah kelompok petani Aik Berik mendapat izin pengelolaan HKm (Hutan Kemasyarakatan), keluarlah Peraturan Bupati Lombok Tengah Nomor 17/2013 tentang Pedoman Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Substansi regulasi meliputi aspek pengelolaan kawasan, tata kelola kelembagaan dan  dan tata kelola usaha.

Setelah aturan dibuat, banyak bermunculan kelompok-kelompok usaha bersama (KUB) di Aik Berik. Namun tak semuanya bertahan. Meski menghasilkan HHBK, sebagian petani sampai sekarang tetap menjual produk mentah.

Hasil studi WWF Nusa Tenggara, di kawasan HKm Kecamatan Batukliang Utara, -yang mencakup Desa Aik Berik, terdapat 39 potensi unggulan HHBK di dalam kawasan hutan. Walaupun potensi besar, tapi dampak finansial bagi petani masih belum optimal.

Kendala yang sering dikeluhkan petani adalah ketidaktersediaan sarana angkut ke lahan HKm pada saat musim panen. Pilihannya, petani lebih suka menjual panen langsung ke pengepul.

 

Wisatawan liburan ke air terjun Benang Kelambu yang berada di dalam kawasan HKm Aik Berik. Selain sebagai tujuan wisata, air terjun ini juga sumber air bersih PDAM dan air bersih masyarakat desa-desa sekitar Aik Berik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia-INFIS.

 

“Setiap musim durian dan musim nangka, harganya sangat murah. Saat panen berlimpah hasilnya langsung dijual ke pengepul,’’ kata Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara. Margin keuntungan pun menjadi kecil di tingkat petani.

Jelasnya, dalam bentuk buah segar, margin pemasaran buah nangka segar adalah Rp4.000-6.000/kg. Bila diolah menjadi dodol maka akan memberi nilai tambah sebesar Rp23.333/kg. Jika diolah menjadi keripik akan memberi nilai tambah Rp11.500/kg.

Di luar musim panen, nilai tambah nangka yang dihasilkan berpotensi semakin besar, bila diolah menjadi dodol nangka nilai tambahnya menjadi Rp33.333/kg. Jika diolah menjadi keripik nilai tambahnya jadi Rp15.000 per kilogram bahan mentah.

Demikian juga dengan durian. Margin untuk petani termasuk kecil dibandingkan para penjual di tingkat konsumen.

Durian berukuran kecil, harga di tingkat petani adalah sekitar Rp7.500 per biji, sedangkan di tingkat konsumen akhir di sekitar kawasan adalah sekitar Rp20.000/biji; di perkotaan sekitar Rp30.000 per biji.

Dengan demikian margin pemasaran durian adalah Rp12.500-Rp22.500 per biji, melampui harga durian di tingkat petani. Hal yang sama juga terjadi pada durian berukuran besar, harga di tingkat petani Rp15.000/biji, sedangkan harga jual di tingkat konsumen akhir seputar kawasan Rp40.000 dan di perkotaan Rp50.000.

“Rendahnya harga di tingkat petani, karena terkait dengan kebiasaan petani yang suka mengijon (mengambil uang muka) pada pengepul. Sehingga mereka tak ada nilai tawar saat panen. Mereka lebih suka diberi uang cash sebelum panen,” jelasnya.

Alpukat, manggis, kedondong, rambutan, dan jeruk yang menjadi tanaman buah lainnya juga masih murah di tingkat petani.

“Mestinya ini yang perlu dibantu pemerintah, yaitu memperpanjang waktu edar komoditi dengan membuat produk turunannya.’’

Sebenarnya berbagai lembaga telah masuk ke Desa Aik Berik untuk membantu petani meningkatkan produk olahan HHBK mereka.

Informasi yang Mongabay dapatkan, lembaga yang pernah melakukan pendampingan diantaranya WWF Nusa Tenggara, Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara (Samantha), Kemitraan, dan WALHI NTB. Ada yang fokus pada pengolahan hutan, penguatan kelembagaan, dan peningkatan usaha kelompok petani HKm.

Menurut Ridha, petani pun penting untuk punya strategi pengembangan, melakukan inovasi produk secara berkelanjutan, serta mengembangkan jaringan pasar dan kemitraan.  Juga melihat produk diferensiasi.

“Hampir di semua kawasan produk mereka sama. Seharusnya, satu desa punya satu komoditas yang jadi ciri utama. Seperti di Mumbulsari Bayan (Lombok Utara) itu dengan madu,’’ ungkapnya.

 

Tantangan Ekowisata Pasca Gempa Lombok

Ketika gempa mengguncang Lombok pada 29 Juli 2018 lalu pariwisata adalah sektor yang paling terdampak. Kunjungan wisatawan menurun drastis. Salah satu yang terpukul telak adalah penutupan jalur pendakian ke Gunung Rinjani.

Jalur pendakian dari arah Sembalun Lombok Timur, dan jalur dari Torean dan Senaru Lombok Utara ditutup lantaran gempa mengakibatkan longsor di beberapa jalur pendakian.

Dinas Pariwisata Lombok Utara dan Lombok Timur, serta Dinas Pariwisata Provinsi NTB berulang kali menyuarakan agar perlu kepastian pembukaan jalur pendakian Rinjani. Hal ini tak lepas, dari ribuan orang di Lombok yang hidup dari jasa wisata pendakian Rinjani.

Diantara dari mereka adalah trekking organizer (TO), jasa transportasi, porter, rumah makan, guide, dan jasa lainnya. Ketika pendakian ditutup, ribuan orang menganggur. Para pelaku pariwisata pun protes.

Jalur altenatif pun dicari. Pendakian Rinjani tidak boleh ditutup total. Akhirnya setelah beberapa kali survei, jalur pendakian melalui Aik Berik dinyatakan aman dan layak.

 

Pengolahan pisang dan talas menjadi keripik. Setelah diolah, harga olahan dari komoditi sampingan dari HKm Aik Berik meningkat menjadi dua kali lipat. Hasil HHBK lain masih ada yang dijual mentah. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Pada November 2018, jalur Aik Berik sah menjadi jalur resmi pendakian Rinjani. Sebelumnya meski sudah sering wisatawan mendaki melalui Aik Berik, tapi belum menjadi jalur resmi.

Pengakuan jalur Aik Berik sebagai salah satu pintu masuk pendakian Rinjani disambut baik masyarakat. Warga melihat akan ada tambahan penghasilan dari usaha pendakian. Para petani HKm yang selama ini mengelola wisata air terjun Benang Kelambu dan Benang Stokel yang menjadi lokasi pelintasan, pun gembira.

“Tentu kami senang. Nanti ketika dibuka lagi pendakian kami sudah siap-siap,’’ kata Abdul Kadir, ketua pengelola wisata Aik Berik.

Kadir bermimpi, Aik Berik suatu saat dapat menjadi salah satu destinasi unggulan untuk kategori desa wisata lingkar hutan.

Dua air terjun itu memang berada di dalam HKm. Ketika pembuatan peta awal HKm, dua air terjun itu masuk ke dalam daerah konservasi. Luasnya sekitar 16 hektar. Para petani HKm Aik Berik sepakat dua lokasi air terjun itu tidak boleh diganggu.

Kedua air terjun itu adalah sumber air bersih bagi warga Aik Berik bahkan buat PDAM Lombok Tengah. Air terjun Benang Kelambu terbentuk melalui patahan. Airnya berasal dari sungai bawah tanah. Selebat apapun hujan, air Benang Kelambu tetap jernih.

Ketika pemerintah Provinsi NTB mengusulkan Gunung Rinjani sebagai geopark, air terjun Benang Kelambu masuk didalamnya.

Pembenahan infrastruktur wisata pun dilakukan. Kawasan ditata. Pemerintah membantu membangun tangga menuju air terjun, halaman parkir yang rapi dan pintu gerbang yang bagus. Promosi yang masif di media sosial dan media utama menambah populer air terjun di Aik Berik.

Sayangnya, perbaikan infrastruktur belum diikuti dengan pengelolaan kelembagaan ekowisata. Kelompok pengelola wisata air terjun di Aik Berik belum memiliki legalitas.

“Katanya nanti ada kerjasama dengan KPH, tapi sampai sekarang belum,’’ jelas Kadir.

Marwi, tokoh awal yang memperjuangkan HKm Aik Berik, menyoroti adanya potensi tumpang tindih pengelolaan. Apakah oleh kelompok wisata, kelompok petani HKm, badan usaha milik desa (Bumdes), atau pemerintah baik kabupaten maupun provinsi.

“[Untuk pendakian] nanti bagaimana model pengelolaan antara petani, pengelola wisata, desa, kabupaten, kehutanan, BTNGR (Balai Taman Nasional Gunung Rinjani). Ini juga belum jelas,’’ katanya.

 

Marwi, tokoh masyarakat dan salah satu penggagas HKm di Aik Berik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia-INFIS

 

Bagi Marwi, aturan kelembagaan pengelola usaha pariwisata penting untuk mencegah timbulnya konflik dikemudian hari. Belum lagi jalur pendakian itu bakal melewati lahan HKm yang lahannya dikelola petani.

Lalu lalang sepeda motor tentu saja akan semakin banyak saat melayani wisatawan yang mau mendaki. Ini bisa bersinggungan dengan petani HKm yang setiap hari juga lalu lalang pada jalur yang sama.

Terkait dengan aspek kelembagaan dan legalitas, ternyata Marwi punya pengalamannya sendiri.

Di tahun 2015 dia bersama para petani HKm memperjuangkan jasa lingkungan. Idenya, agar para pelanggan air PDAM maupun pengusaha yang memanfaatkan air Aik Berik membayar retribusi sejumlah uang. Dana itu nantinya digunakan untuk tujuan konservasi.

Lembaga Para Pihak Pengelola Jasa Lingkungan (LP3JL) sudah terbentuk, sejalan dengan Perda Jasa Lingkungan yang sudah keluar di tahun 2017. Namun, sampai kini Perda itu tak bisa dieksekusi.

Persoalannya di dalam Perda tidak disebutkan berapa besaran dana jasa lingkungan yang harus dibayarkan oleh pemakai air. Peraturan Bupati untuk mempertegas perda itu jelasnya tak kunjung turun.

Marwi optimis kesejahteraan masyarakat akan meningkat, jika persoalan kelembagaan dan legalitas terselesaikan,

Tidak sekadar mendapat hasil dari lahan, maka para petani bakal mendapat tambahan dari usaha pariwisata. Hasil olahan HHBK pun bisa menjadi oleh-oleh bagi wisatawan. Marwi dan rekan-rekannya pun sudah mulai memikirkan itu.

 

Video:HKm Aik Berik Tetap Memberi Penghidupan Ditengah Gempa

 

 

Exit mobile version