Mongabay.co.id

Sengkarut Lahan Warga Kajang dan Lonsum Berlarut

Beberapa perempuan Masyarakat Adat Kajang, memanen Wijen di lokasi pendudukan Desa Tamatto, Kecamatan Ujung Loe. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Jelang petang, Kamis (20/2/19), seorang pria di sudut ruangan, menggunakan pingset silver mencabuti bulu-bulu janggut. Kepala terbebat kain hitam. Ada 24 orang duduk bersila di hadapannya. Asap rokok mengepul. Dia sendiri tak merokok. “Kalau kalian keluar, itu berarti kalah,” katanya, dalam bahasa Konjo Kajang, diartikan beberapa orang kepada saya.

Semua takzim mendengar. Lalu suara lain terdengar,”bahh.” – ungkapan mendukung pernyataan itu. “Akkala. Politik ntu,” kata pria itu. (itu hanya akal-akalan – perusahaan. Politik itu)

Namanya Puto Palasa. Dia Ketua Adat Kajang, bergelar Ammatoa. Orang-orang di hadapan dia adalah yang adakan pertemuan pada 18 Februari bersama Wakil Bupati Bulukumba. Mereka datang meminta pendapat, apa yang harus dilakukan warga di lokasi klaim kembali (pendudukan) tanah di Desa Tamatto, yang kini masih dalam izin hak guna usaha (HGU) PT London Sumatera (Lonsum).

Baca juga : Konflik Lonsum di Bulukumba Tak Kunjung Usai

Pertemuan itu menyepakati, 1 Maret 2019, warga yang menduduki lahan HGU perusahaan harus meninggalkan lokasi. Pada 25 Februari, batas waktu, apakah usulan itu diterima atau tidak.

Pada Senin, 25 Februari, warga bersama aliansi Front Perjuangan Rakyat Bulukumba–di dalamnya ada beberapa lembaga swadaya masyarakat hingga lembaga kemahasiswaan – menemui kembali Wakil Bupati Bulukumba, Tommy Satria.

Mereka menegaskan, kesepakatan seminggu sebelumnya ditolak oleh Ammatoa. Penggugat hendak mencari jalan negosiasi lain.

Rudi Tahas dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (Agra) Bulukumba, mendampingi masyarakat sejak 2003, memandang perlu ada kesepakatan lain. Ammatoa bersikeras dengan pendirian, perusahaan juga memiliki alas hak sebagai investor. “Kuncinya, ada di pemerintah,” katanya.

“Sebelum 1 Maret, Jumat, pemerintah daerah harus menemui Ammatoa. Hanya itu yang bisa dilakukan,” kata Rudi.

Pengalaman tahun 2003, menyebabkan dua orang petani meregang nyawa. Mereka tak ingin lagi ada bentrok antara warga dan perusahaan–terlebih kepolisian. Saat pertemuan,– di pusat kabupaten, 60 kilometer di lokasi pendudukan–, beberapa orang polisi mendatangi warga. Rekaman video tersebar. Polisi itu menggunakan baret. Sepatu boot biru. Papan nama tertulis Bur.

Bacajuga : Perjuangan Masyarakat Kajang Menjaga Hutan yang Terancam Perkebunan (Bagian 1)

Dia meminta, warga secepatnya membereskan rumah-rumah dan pondok yang dibangun sejak lima bulan pendudukan. Dia bicara tegas agar lahan bersih tepat 1 Maret.

Dalam rekaman, seorang menengahi kalau kesepakatan itu masih sementara. Perundingan masih berlangsung. “Tidak ada itu sementara,” kata polisi itu.

 

Tenda-tenda pengunjuk rasa yang menduduki lahan di konsesi PT Lonsum. Mereka menyatakan, lahan itu tanah adat di Desa Tamatto, Ujung Loe, Bulukumba. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

100 tahun Lonsum

“Kita hampir tak tahu bagaimana Lonsum selama ini. Kami (pemerintah daerah) hanya kebagiaan kisruh. Itulah faktanya,” kata Tommy.

Saya menemui Tommy, di rumah jabatannya di Jalan Melati. Dia menggunakan baju Partai Nasdem. Kesehatan dia sedikit terganggu karena sakit mag. Dua hari sebelumnya, dia baru kembali dari Makassar, untuk memeriksakan kesehatan.

Baca juga : Perjuangan Masyarakat Kajang Menjaga Hutan yang Terancam Perkebunan (Bagian 2)

Ketika membuka cerita tentang konflik antara Lonsum dan warga, dia menarik napas berat. Sudah ada puluhan mediasi, puluhan pertemuan dan kesepakatan, rasanya seperti jalan di tempat.

Lonsum di Bulukumba sejak 1919. Tahun ini, perusahaan perkebunan itu memasuki usia 100 tahun. HGU perusahaan diperpanjang 1997 dari awal 1974, akan berakhir 2023.

Lonsum yang kemudian di akusisi IndoAgri –grup perusahaan Salim Group–tahun 2006. Lonsum awalnya adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) menjadi penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Sepanjang operasional Lonsum di Bulukuumba, acap kali terjadi konflik dengan masyarakat sekitar. Tahun 1980-an, perusahaan menuai protes karena dinyatakan menyerobot lahan masyarakat. Tahun 1990-an, persoalan sama terjadi. Tahun 2003, bentrok.

Pada 1974, sebagian wilayah perusahaan dikeluarkan, karena permintaan TNI untuk jadi homebase Kodam, seluas 500 hektar. Beberapa wilayah juga keluar untuk jadi pemukiman pada 1980.

“Jadi ketika perpanjangan HGU 1997, luasan awal 7.000 hektar, tersisa 5.784 hektar. Inilah yang kami kelola sekarang,” kata Rusli dari Lonsum.

Dari beberapa pelepasan tanah inilah, ditengarai Rusli, jadi cikal bakal sengkarut lahan di Lonsum. Tahun 1980, dia menuding, ada pejabat TNI yang membuat sertifikat tanah di luar kawasan yang dikeluarkan. Beberapa orang menggugat kolektif.

Apa yang terjadi, kata Rusli, setelah mereka mengukur ulang lokasi pelepasan, warga melompat batas sungai yang disepakati. Luas lahan jadi 525 hektar. “Terjawab kan. Siapa yang menyerobot dan siapa yang diserobot. Jadinya clear and clean.”

Lonsum juga menengarai, klaim sertifikat itu akal-akalan. Nama-nama yang tertera adalah para pejabat TNI, bahkan mantan bupati. Sengketa tanah homebase mereda.

Namun, pada 1982, sebanyak 25 penggugat melayangkan protes ke Lonsum. Gugatan ini diprakarsai sebagai perwakilan Haji Mappiase, Hamarong dan Bateng. Kelompok ini menggugat, tak berdasarkan kepemilikan sertifikat, melainkan wilayah garapan turun temurun. Dengan mengandalkan batas-batas alam, di Pengadilan Negeri Bulukumba, kelompok penggugat kalah.

“Setelah penggugat banding, mereka menang. Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba dibatalkan,” kata Aco Bahar, Kepala Bidang Pertanahan, Dinas Perumahan, Permukiman dan Pertanahan, Bulukumba.

Aco Bahar, adalah salah seorang yang mengikuti konflik lahan ini sejak awal. Dia acap kali menjadi mediator dalam beragam mediasi dan perundingan. Di kediamannya, dia membuka banyak kisah tentang kisruh ini.

“Bayangkan, ketika putusan pengadilan (PN Bulukumba-red) ditolak, Lonsum, lalu kasasi. Terus kasasi itu ditolak juga. Putusan itu tak kunjung muncul,” katanya.

“Tapi, tahu kan, waktu masih zaman Orde Baru. Jadi kita tak menemukan jejak. Nanti, ketika jelang era reformasi 1997, dan menjelang 1998, putusan itu ditemukan lagi. Penggugat mengajukan lagi permohonan eksekusi di PN Bulukumba. Lalu turun sita eksekusi. Tahun 1999, eksekusi. Luasan sampai 540 hektar.”

Lonsum protes. Luasan itu terlalu luas dari perkiraan awal hanya 200 hektar. Dengan eksekusi waktu itu gunakan batas alam, Sungai Balang Loe, Sungai Galogo, kebun Kodam, dan batas Desa Bulo-bulo. “Ingat, masyarakat tak menggugat luasan, namun wilayah dengan berdasarkan batas-batas alam,” kata Aco.

Permintaan penyempurnaan eksekusi dari perusahaan pun ditolak masyarakat. Tahun 2004, perusahaan mengambil paksa 273 hektar. Pada 2006, melalui Pemerintah Sulawesi Selatan, mediasi dan penyerahan kembali.

Nah, waktu penyerahaan itu ironisnya, yang menerima bukan masyarakat penggugat. Orang Lonsum sendiri dan beberapa karyawannya,” kata Aco.

“Itu keliru. Nama-nama dalam penyerahaan itu warga di tempat itu. Memang ada karyawan, hanya satu orang. Yang lain, jika pun ada, mereka belum menjadi karyawan, nanti setelah penyerahan baru diangkat,” kata Rusli.

Apakah sengketa usai. Tidak. Klaim tanah masyarakat seluas 108 hektar, dengan dasar sertifikat (terbit 1980-red) muncul. Para penggugat adalah purnawirawan TNI. Waktu itu, ada inisiasi pemberian penghargaan dari pemerintah di Balihuku-sekarang menjadi Desa Swatani, wilayah Bonto Mangiring—, bila setiap purnawirawan mendapatkan masing-masing dua hektar.

“Nah lahan ini, semua dibabat habis kembali oleh Lonsum. Dikuasai lagi.”

Bagi Lonsum, wilayah Bontobiraeng inilah yang seharusnya tak bersoal lagi karena pemerintah menyatakan selesai. “Kami sudah melepaskan tahun 2006 seluas 271 hektar–itu secara de jure. Itu artinya de facto – wilayah HGU kami hingga 2023 – sudah tak kami miliki. Kami masih membayar pajak. Tanah itu sudah dikuasai masyarakat,” kata Rusli.

Dia bilang, wilayah Bontobiraeng, Kecamatan Kajang, sudah tidak ada sangkut paut lagi. “Lalu muncul lagi gugatan-gugatan lain. Obyek sama, lokasi berbeda, ini kan lucu.”

Bagi Rusli, kekacauan ini, seperti tren, perusahaan mendapatkan gugatan setiap ada perhelatan. “Apakah itu hari tani, pilkada, pilcaleg, hingga pilkades. Hanya pil KB, Lonsum tak dapat kisruh.”

Alasannya, kata Rusli, sederhana, ada banyak orang kampanye, kalau terpilih mejanjikan tanah Lonsum. “Itu jadi jualan. Lonsum ini seksi,” katanya.

 

Nurhayati, warga Kajang, membersihkan tanaman kacang di lokasi pendudukan. Pendudukan ini berlangsung sejak September 2018, hingga saat ini.Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Peringatan Hari Tani November 2018, menjadi titik penting masyarakat Kajang. Mereka mendatangi Desa Tamatto, dan memproklamirkan kalau lahan bagian milik masyarakat adat Kajang. “Kami datang dan duduk di tempat ini. Kami mengolah kembali tanah leluhur. Sampai sekarang, sudah lima bulan kami bertahan,” kata Kartini , perempuan 50 tahun yang ikut aksi pendudukan.

“Sekarang, lihat kan. Mereka menuntut tanah masyarakat adat Kajang, Perda itu tahun 2015, HGU kami 1997. Ini tambah tidak masuk lagi,” kata Rusli.

Masyakat Kajang, mengklaim, wilayah adat yang tersedot masuk HGU Lonsum mencapai 2.800 hektar. Ia berdasarkan, Perda No 9/2015, tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak hukum adat Ammatoa Kajang.

Saya melihat lampiran peta perda yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan beberapa lembaga. Arsir biru dalam peta yang menjadi klaim tanah adat, hingga ke Kabupaten Sinjai.

Bagi Rusli, wilayah pengaruh yang disebutkan dalam perda, berbeda dengan wilayah penguasaan tanah. “Saya kira 313 hektar itulah wilayah utama masyarakat adat Kajang di Tana Toa. Kalau sampai keluar, itu jangan dulu.”

Tommy terlihat hati-hati menjawab pernyataan soal Perda Masyarakat Adat Kajang. Dia bilang, perlu duduk lagi untuk mediskusikan filosofi.

“Apa yang dilakukan masyarakat Kajang, sekarang harus mendapatkan solusi. Bagi saya, pemerintah daerah sudah melakukan terbaik. Sekarang, Lonsum dan masyarakat, harus memberi ruang tim rekonstruksi lahan untuk pengukuran kembali. Itu penting.”

“Kalau seumpama, nanti hasil tim menemukan jika HGU mereka overlapping dengan masyarakat adat Kajang, perusahaan harus memberi ruang. Tapi harus menunggu hingga HGU berakhir,” katanya.

Kini, Lonsum, sudah mengirim surat ke Kementerian ATR/BPN melalui BPN Sulawesi Selatan, untuk rekonstruksi dengan pendampingan tim kecil yang berisi Kementerian Dalam Negeri, LSM, pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat.

Tim kecil tak bisa turun, kata Tommy, kalau proses pendudukan masih di lapangan. Jadi, semua harusnya saling terbuka. Dia khawatir, Lonsum berubah pikiran dengan kondisi seperti ini.

“Apakah itu bisa terjadi?,” kata saya.

“Ya itu HGU-nya, secara konstitusi mereka punya alas hak,” kata Tommy.

“Daripada menghabiskan energi, dengan terus pendudukan, upaya yang kita bangun akan makin deadlock. Kita sudah tegas. Saya sudah bilang kemarin. Lonsum berkirim surat ke ATR BPN, sudah dilakukan.”

Pemerintah daerah, katanya, akan tekan Kementerian Dalam Negeri segera menurunkan tim kecil. “Karena tidak ada kewenangan untuk mengatakan besok, atau lusa. Yang kita lakukan, bekerja keras meyakinkan bahwa tim kecil segera turun. Pengugat mundur dari lokasi pendudukan.”

 

Para perempuan dari masyarakat adat Kajang, di lokasi reklaim tanah ulayat. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Evaluasi menyeluruh Lonsum

Bagi Tommy, kisruh di lahan HGU Lonsum, antara lain karena masyarakat tak temui batasan luasan lahan kuasa perusahaan, yakni 5.784 hektar. “Itu juga benar. Selama ini, kita sudah menurunkan tim. Hasilnya kita tak menemukan, dan tidak ada tapal batas sebagai prasyarat untuk penetapan luasan HGU.”

Bagi Tommy, pemberian HGU harus ditindak lanjuti penataan tapal batas, untuk menentukan titik koordinat. Tanggungjawab pemerintah daerah, katanya, memonitoring, apakah tak ada okupasi, ataukah tak ada pada HGU.

Pada 2003, pemerintah sudah ada inisiatif, meminta Lonsum mengukur ulang. Mentok alias tak ada jalan keluar, karena Lonsum tak bisa membiayai. Pemerintah daerah sendiri, katanya, tak memiliki nomenklatur pembiayaan untuk pengukuran di lahan HGU.

“Seharusnya, yang membiayai pada wilayah HGU pemrakarsa. Ya, Lonsum,” kata Tommy.

Tahun 2016, pemerintah daerah kembali mediasi karena melihat banyak kasus di Lonsum, mulai pemutusan hubungan kerja hingga konflik lahan. “Bukan hanya Kajang, di tempat lain, ada Komunitas adat Bulukumpa Toa juga mengklaim tanah adat mereka masuk HGU seluas 200 hektar. Jadi ini ada banyak.”

Di titik lain, masyarakat Desa Bonto Mangiring dan Tamatto, melayangkan protes karena perusahaan merusak sumber-sumber air yang melintasi HGU. Apa yang terjadi, melalui Dinas Lingkungan Hidup, temuan itu menegaskan, pada wilayah-wilayah penting seperti kuburan tua, dan sumber air terjadi kerusakan.

Teguran kemudian dilayangkan. Lonsum berkomitmen, mempertahankan dan merawat kembali. “Apa yang terjadi, perusahaan lalai menjaga.”

“Jadi, kita tidak ingin tiap tahun menyisakan persoalan dengan ketidakjelasan. Seharusnya, mau tidak mau, Lonsum, mengukur ulang. Itu akan membuktikan, tidak ada masalah di HGU mu bos. Kalau 5.400 hektar, ya kita liat, supaya anda nyaman. Tidak lagi mendapatkan gugatan orang-orang. Kalau lahan memang benar, tak ada kecurigaan lagi, apakah lahan 5.000, 8.000 bahkan 10.000 hektar,” ucap Tommy.

 

 

Nasib buruh

Lukman, buruh dengan status pekerja harian lepas. Dia bekerja di Lonsum, sejak 2007. Bagi dia, Lonsum adalah kebanggaan. Kakek dan bapaknya, alumni karyawan di perusahaan itu. “Saya bangga bekerja di perusahaan ini,” katanya.

Pada tahun-tahun awal, Lukman, bekerja di wilayah pembersihan dan penanaman tanaman baru. Tahun 2009, dia pindah jadi penderes getah karet (latex). Dalam rentang waktu sebagai buruh harian selama 11 tahun, empat kali mengikuti tes jadi karyawan, tetapi tak pernah lolos. Alasannya, kurang sehat.

Saya bertemu Lukman, dia tampak ramah, semangat berapi-api. Selema bekerja sebagai buruh harian, hampir tak pernah bolos karena alasan sakit. “Beberapa kawan, yang sering tak masuk kerja karean sakit, malah terangkat jadi karyawan. Itu soal rezeki,” katanya.

Menjadi penderes getah, buruh harian mulai bekerja sejak pukul 05.30-pukul 10.00. Kalau dalam sehari, getah karet terkumpul bisa 30 kilogram dengan asumsi jadi delapan kilogram karet kering, dalam 25 hari kerja sebulan, gaji bisa Rp2,5 juta. Setiap hari, upah buruh harian Rp105.000.

Untuk mendapatkan bonus lain, para buruh harian masuk bekerja pada hari minggu dengan bayaran jauh lebih rendah. “Biasa kalau perusahaan mempekerjakan pekerja di hari libur, gaji jauh lebih tinggi. Kalau kami di Lonsum, hanya Rp50.000 per delapan kilogram karet kering itu,” kata Lukman.

Sekian tahun mengabdi di Lonsum, Lukman mulai dianggap “cerewet”. Maka tahun 2016, dari penderes di tanaman muda, bersama 265 buruh lain di wilayah Balambessi mereka dipindahkan ke tanaman tua. Target tetap sama, setiap hari mendapatkan karet kering delapan kg.

 

Kebun karet PT Lonsum di Bulukumba. Foto: EKo Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Banyak diantara buruh tak bisa memenuhi target. Sebanyak 10 pekerja mengundurkan diri karena sebulan hanya mampu mendapatkan upah hingga Rp700.000. Karet tua yang ditanam tahun 1980-an sudah tak memiliki getah baik.

Selain produksi kecil, risiko pun sangat tinggi. Untuk menyadap, pekerja bahkan memanjat dengan tangga hingga delapan meter. Tak ada pengaman, hanya dibekali helm, sepatu, dan kacamata.

Tangga memanjat pun buruh sendiri yang membuat. Perusahaan menghargai upaya itu dan memberikan ganti biaya pembuatan Rp15.000 setiap buah tangga.

Eston Panjaitan, Manager Estate Palangisang PT Lonsum, bilang, usia produktif karet yang baik antara 10-20 tahun. Jadi, tanaman yang disadap para buruh harian dengan target tinggi, asumsinya bakal tak pernah terpenuhi.

Di Lonsum, luas kebun karet 4.500 hektar. Asumsi setiap hektar 300 karet. Setiap tahun, kata Panjaitan, rata-rata produksi perusahaan 3.000 ton karet kering. Dengan produk karet bal, berat mencapai 1,2 ton.

Karet-karet ini ekspor seperti Amerika Serikat, Canada, dan wilayah Asia. “Buyer kami macam-macam. Pasar utamanya, Asia dan Amerika,” katanya.

Klaim Panjaitan, produksi karet dari Bulukumba, mutu sangat baik. Baginya, Lonsum di Bulukumba, selayaknya menjadi aset dan kebanggaan warga.

Bagi Panjaitan, kebun karet kelolaan mereka tak akan terdampak. Karyawan dan pekerja mendapatkan hak baik dan sesuai standar gaji serta memiliki asuransi.

“Saya tidak percaya Lonsum memperhatikan buruh dengan baik. Mereka memberi kami upah dalam kerja harian, tapi tak mengakui keberadaan kami. Itu yang terjadi,” kata Lukman, di tempat terpisah.

Pada September 2017, buruh harian mendapat angin segar mendapatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketanagakerjaan. Setiap bulan, upah buruh harian dipotong sesuai besaran pendapatan.

Untuk BPJS Kesehatan 1% dari total upah dan 2% untuk ketanagakerjaan. Hasilnya, Lukman mendapatkan potongan kesehatan Rp79.433 dan ketenagakerjaan Rp32.748.

Nyatanya, potongan berjalan sejak September, tak pernah aktif. Kartu BPJS tak pernah aktif. Lukman dan beberapa buruh lain menuding perusahaan mempermainkan. “Kami lalu demonstrasi. Baru BPJS itu aktif, pada November dan Desember 2018. Baru dibayarkan dua bulan, bulan sebelumnya, potongan itu entah kemana.”

Saya mengendarai sepeda motor melihat hamparan karet yang berdiri sejak 1919, hingga sekarang. Tempat yang rindang. Hamparan yang saban waktu menciptakan kekisruhan.

“Lonsum selalu bilang, mereka memberi kemakmuran di daerah ini. Buktinya, warga sekitar mereka tetap saja tertinggal. Buruh mereka terus saja menderita. Saya kira satu abad itu, hanya usia. Tak ada kebanggaan untuk itu,” kata Tommy.

 

 

Negosiasi gagal

Kamis (28/2/19), sehari sebelum tenggat waktu kesepakatan para penggugat membersihkan tenda pendudukan dan meninggalkan lokasi sengketa, Wakil Bupati Bulukumba, Tommy Satria menjumpai warga. Dia duduk menggunakan kemeja lengan panjang berwarna hitam.

Memegang micrphone dan berbicara. Pertemuan itu untuk meminta warga meninggalkan lokasi. Warga menolak. Tommy bersama kepolisian dan TNI. Beberapa warga bilang, untuk meninggalkan lokasi harus dengan persetujuan Ammatoa.

Negosiasi diterima. Tommy menyanggupi dan akan mengatur waktu bertemu Ammatoa. Pertemuan usai. Di hari sama, Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPP-SPSI) Lonsum, melayangkan surat kepada Kapolres Bulukumba, meminta pengawalan dan pendampingan guna penertiban lokasi pendudukan.

Perusahaan menyatakan, lahan pendudukan seluas 32 hektar itu, area yang sudah pembersihakn dan siap ditanami. Panjaitan mengatakan, pendudukan sudah berlangsung selama lima bulan sangat merugikan. Setiap hektar biaya pembersihan Rp20 juta.

Jadi, katanya, serikat pekerja meminta penjelasan itu tidak keliru. Karyawan digaji dan harus bekerja. “Tidak salah. Mereka mau bekerja, terus wilayah kerja tidak ada,” katanya. “Itu bukan arahan manajemen, itu murni inisiasi serikat pekerja.”

Surat yang ditandatangani Abdul Wahab, ketua serikat, menyatakan, “Demi kelancaran kehidupan pekerja dan keluarga, serta kelancaran kerja, kami akan penertiban,” tulisnya.

“Pelaksanaan kegiatan itu, pada Sabtu, 2 Maret 2019.”

Pernyataan itu jalan. Pagi, truk-truk mengangkut beberapa pekerja dari wilayah Palangisang, menuju Desa Tamatto. Ada ratusan orang berjalan memasuki wilayah penduduk didampingi kepolisian. Warga berusaha mempertahankan lokasi. Perempuan dan laki-laki berdiri bersama.

Mereka tak kuasa. Suara riuh. Rumah-rumah tenda sementara dibongkar. Amiruddin, warga pengunjuk rasa, mempertahankan kawasan itu dengan bertahan di atas bangunan. Dia bilang, akan mati di tempat itu. Beberapa orang manapaki tangga rumah, dan memaksa dia turun.

Amiruddin didorong dan ditarik beberapa orang, hingga menapak tanah. Pekerja dari Lonsum mengerubuti. Ada yang menarik baju.

Beberapa hari sebelum kejadian itu, saya meminta pendapat Tommy Satria, jika terjadi pemaksaan seperti saat ini. Dia berharap, jika para penggugat meninggalkan lokasi pendudukan dengan tertib.

“Kalau terjadi gesekan lagi, pemerintah dinyatakan gagal. Mediasi ada saat ini jelas tak dihiraukan,” katanya.

 

Keterangan foto utama:      Beberapa perempuan Masyarakat Adat Kajang, memanen Wijen di lokasi pendudukan Desa Tamatto, Kecamatan Ujung Loe. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Suasana kebun karet PT Lonsum di Kebaupaten Bulukumba. Perusahaan ini melakukan aktivitas sejak 1919. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version