Mongabay.co.id

Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Ancaman dampak perubahan iklim kini semakin nyata dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dan ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ancaman itu, ditandai berbagai bencana alam di berbagai wilayah Indonesia. Termasuk, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, yang baru saja dilanda cuaca buruk dan gelombang tinggi.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, pihaknya terus memantau kondisi yang terjadi di berbagai daerah saat ini. Dari hasil pemantauan, memang di Demak, diketahui kondisinya sedang buruk dan mengakibatkan nelayan di daerah tersebut tidak bisa melaut.

“Nelayan berhenti melaut, demi menghindari bahaya yang lebih besar,” ucapnya akhir pekan lalu di Jakarta.

Berdasarkan data yang dilansir Pusat Data dan Informasi KIARA, di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak banyak nelayan yang berhenti melaut sejak Januari. Sementara, data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah yang dirilis pada 2017, di Demak saja terdapat 3.846 orang yang profesi utamanya sebagai nelayan tangkap.

“Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.336 nelayan tangkap terpaksa harus menghentikan aktivitasnya di laut sejak Januari lalu. Sementara, sisanya banyak yang tetap beraktivitas dengan segala keterbatasan,” paparnya.

baca :  Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?

 

Ikan asin hasil kelola perempuan nelayan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, akibat banyaknya nelayan yang tidak menangkap ikan, kehidupan ekonomi mereka langsung mengalami penurunan sangat drastis. Sebagai gantinya, mereka terpaksa harus mencari pekerjaan baru yang sifatnya serabutan dan dengan penghasilan yang tidak menentu. Kondisi itu, membuat para nelayan semakin mengalami penurunan pendapatan.

Akan tetapi, Susan mengatakan, saat nelayan harus menghadapi dampak perubahan iklim, di saat yang sama mereka juga harus menghadapi permasalahan serius abrasi pantai. Kondisi itu kini dialami nelayan di Demak, khususnya di Kecamatan Wedung. Dari fakta dan data yang dikumpulkan KIARA di lapangan, permasalahan abrasi sudah dirasakan nelayan dalam beberapa tahun terakhir ini.

“Setiap tahun seluas 1 hektare tanah di kawasan pantai di Kecamatan Wdung hilang akibat kiris iklim. Bencana abrasi ini nyata telah mengancam ruang hidup nelayan,” tuturnya.

 

Anomali Cuaca

Susan menyebutkan, apa yang dialami warga dan nelayan di Demak, menjadi gambaran kondisi nelayan secara umum. Walau harus dilakukan penelitian untuk mencari data dan fakta lebih detil, namun dia meyakini kalau perubahan iklim telah memunculkan masalah alam yang tidak bisa dihindari oleh nelayan. Paling utama, adalah perubahan cuaca dan gelombang laut yang semakin tak mengenal musim.

Dalam kondisi ini, Susan mendesak Pemerintah, khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk segera melaksanakan mandat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

“Salah satu mandat penting dari UU tersebut adalah melindungi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran,” katanya.

baca juga :  Bagaimana Ancaman Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil?

 

Nelayan di Teluk Penyu, Cilacap, Jateng, memarkirkan kapalnya agak tinggi ke daratan pada Sabtu (21/7/2018). Nelayan takut melaut karena gelombang tinggi yang terjadi pada awal minggu ini. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Lebih detil, Susan menyebutkan, dalam UU tersebut, dengan jelas dan tegas disebutkan bahwa salah satu tantangan utama nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, adalah persoalan perubahan iklim. Dengan adanya tantangan tersebut, UU kemudian memandatkan kepada Pemerintah untuk bisa menyediakan informasi penting berkaitan dengan dampak perubahan iklim yang terjadi di seluruh Indonesia, terutama kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Seperti cuaca buruk, gelombang tinggi, dan bencana alam lainnya,” jelasnya.

Dengan fakta tersebut, Susan menyatakan, jika ada satu nelayan mengalami kerugian akibat tidak bisa melaut, maka kerugian yang harus ditanggungnya paling sedikit mencapai Rp300 ribu. Jika kondisi itu ternyata dialami oleh banyak nelayan, maka dia menyebutkan bahwa kerugian akan jauh lebih banyak dan itu akan menyulitkan perekonomian nelayan bersama keluarganya masing-masing.

Oleh itu, Susan menegaskan, dalam kondisi seperti itu, keterlibatan negara mutlak harus dilakukan. Bagi dia, persoalan ini harus segera disikapi oleh Pemerintah dengan memberikan asuransi sebagaimana dimandatkan oleh pasal 30 ayat 1-6. Dari catatan KIARA, selama ini asuransi yang dimandatkan UU No.7/2016 tidak diberikan kepada nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam yang berhak.

“Skema pemberian asuransi ini masih bersifat top-down. Kami mencatat, asuransi yang diberikan Pemerintah tidak diberikan kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam yang jelas-jelas terdampak perubahan iklim,” ungkapnya.

Untuk itu, Susan meminta kepada KKP untuk bisa turun langsung ke daerah-daerah yang terdampak perubahan iklim seperti di Demak. Dengan turun langsung, maka persoalan bisa dipetakan dan dipecahkan lebih cepat dengan dicarikan jalan keluar. Dengan kata lain, Pemerintah harus hadir secara langsung untuk menyelesaikan persoalan nelayan.

Dampak perubahan iklim yang dirasakan nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, sebelumnya juga sudah diperingatkan Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (Bappenas) Sudhiani Pratiwi. Menurut dia, Indonesia memang menjadi satu dari banyak negara pulau dan kepulauan di dunia yang merasakan langsung dampak perubahan iklim di kawasan pesisir.

baca juga :  Perempuan Pesisir Perkotaan Rentan Terdampak Perubahan Iklim

 

Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Indonesia Timur

Sudhiani bahkan memprediksi, dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang terkena dampak.

“Jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang, akan muncul banyak sekali masalah di pesisir. Tak hanya teknis, namun juga non teknis,” ucap dia, bulan lalu.

Menurut Sudhiani, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu tradisional.

Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi, kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang. Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut.

“Pemetaan masalah sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya.

baca juga :  LSM Sayangkan Debat Capres Tidak Bahas Krisis Pesisir dan Pulau Kecil, Kenapa?

 

Nelayan membawa perahunya ke daratan di Pantai Teluk Penyu, Cilacap, Jateng pada Sabtu (21/7/2018). Nelayan takut melaut karena gelombang tinggi yang terjadi pada awal minggu ini. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tentang kenaikan gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal. Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT) dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.

Pernyataan Sudhiani kemudian diperkuat oleh Kepala Sekretariat Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API) Bappenas Putra Dwitama. Menurutnya, seluruh provinsi harus bisa bersinergi dengan Pemerintah pusat berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim (API) yang saat ini dilaksanakan.

“Perlu ada zonasi untuk pengaturan kawasan pesisir. Harus ada pembaruan untuk mengadaptasi perubahan iklim yang terjadi hingga 2045 mendatang,” tuturnya.

Putra menyebutkan, untuk bisa melaksanakan RAN API, Pemerintah harus mengubah haluan untuk tidak lagi melaksanakan program sesuai kebutuhan pemerintah. Akan tetapi, mulai sekarang adaptasi harus melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Konsep seperti itu harus diterapkan, karena masyarakat akan menjadi aktor utama di lapangan.

 

Exit mobile version