Mongabay.co.id

Turun Status Jadi Taman Wisata Alam, Apakah Pengelolaan Kamojang-Papandayan akan Lebih Baik?

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

 

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Barat telah menurunkan status Cagar Alam [CA] Kawah Kamojang dan dan CA Gunung Papandayan menjadi Taman Wisata Alam [TWA].

Keputusan tersebut ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor 25/MENLHK/SETJEN/PL.2/1/2018 tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari sebagian CA Kamojang seluas 2.391 hektar dan CA Gunung Papandayan seluas 1.991 hektar. BBKSDA Jabar berpendapat penurunan status ini untuk merestorasi ekosistem yang rusak.

Beragam satwa hidup di Kamojang, ada elang jawa [Nisaetus bartelsi] dan juga macan tutul jawa [Panthera pardus melas]. Begitu pula dengan flora seperti jamuju [Podocarpus imbricatus], puspa [Schima wallichii], dan pasang [Quercus sp].

“Kami mengupayakan restorasi dan rehabilitasi berjalan lebih cepat. Alasannya, hutan di kedua kawasan cagar tersebut bermasalah,” kata Kepala BBKSDA Jabar Ammy Nurwati saat ditemui di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Baca: Kajian Populasi Satwa Terancam Punah: Penting Ada, Agar Tidak Timbul Perdebatan

 

Macan tutul jawa. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Sebelumnya, Tim Terpadu bentukan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan [KLHK] telah melakukan evaluasi kesesuaian fungsi. Hasilnya, kondisi kedua kawasan tersebut mengalami tekanan berupa penggembalaan ternak, perambahan, pencurian kayu, dan perburuan. Selain itu, terdapat pula kegiatan seperti pemanfaatan panas bumi, air, dan wisata alam.

Kajian kawasan tersebut, kata Ammy, melatarbelakangi pembuatan surat keputusan tertanggal 10 Januari 2018 sebagai kerangka acaun program pemulihan. Ammy mempertanyakan bila ada pihak lain yang mempermasalahkan penurunan status kawasan. Menurutnya, upaya yang dilakukan tidak keluar dari tujuan konservasi.

“SK itu tentu sudah final dan sesuai prosedur,” ujarnya.

Jika merujuk data BBKSDA Jabar, luas kawasan kritis di CA Kamojang dan CA Papandayan masing-masing 209 hektar dan 449,17 hektar. Artinya, lahan kritis masih dibawah 1.000 hektar.

Ammy hanya menegaskan, penurunan status cagar alam untuk mengakomodir kepentingan lebih besar, salah satunya pemanfaatan panas bumi bagi suplai listrik Jawa-Bali oleh dua perusahaan yaitu Pertamina Geotermal dan Chevron Energi.

BBKSDA Jabar tetap berkeyakinan hal yang sudah dilakukan tidak bermasalah. Adapun menyoal SK, kewenangannya berada di Kementerian LHK.

Baca juga: Cagar Alam Leuweung Sancang Tanpa Mangrove, Apa Jadinya?

 

Elang jawa yang berada di Pusat Konservasi Elang Kamojang, Garut, Jawa Barat ini direhabilitasi agar naluri liarnya tumbuh kembali sebelum dilepasliarkan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aliansi Save Cagar Alam Jawa Barat, yang didominasi masyarakat yang berada di perbatasan dengan Kamojang mengkritisi keputusan tersebut. “Kami khawatir penurunan status bisa melegalkan kepentingan di luar keutamaan ekologi,” ungkap Pepep Didin Wahyudi, perwakilan aliansi.

Pepep menerangkan, jika dasar penurunan status untuk pemulihan kerusakan akan menjadi berlawanan dengan kerusakan yang disebabkan tidak adanya penegakan hukum oleh BBKSDA Jabar. “Kelestarian adalah kunci.”

Sebagai wujud protes, Aliansi Save Cagar Alam Jabar melakukan longmarch dari Bandung menuju Kantor KLHK di Jakarta pada Minggu, [3/03/2019] lalu. Mereka menempuh jarak 150 kilometer demi pencabutan surat perubahan fungsi pokok itu.

 

 

Penolakan penurunan stattus kawasan yang dilakukan masyarakat atas nama Aliansi Save Cagar Alam Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Status kawasan

Penetapan kawasan-kawasan konservasi mulai dikenal pada 1900-an di masa kolonial Belanda. Pada masa itu dikenal penyebutan natuurmonumenten [cagar alam] dan wildreservaten [suaka alam].

Seiring waktu, pemerintah kolonial menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang Perlindungan Kekayaan Alam Hindia Belanda tahun 1916. Tiga tahun berjalan, berdasarkan keputusan tersebut ditetapkan 55 kawasan sebagai monumen alam.

Tahun 1936, SK Gubernur Hindia Belanda tersebut diperkuat dengan keluarnya undang-undang tentang cagar alam dan suaka alam. Hal itu, menjadi awal lahirnya kawasan konservasi di Indonesia.

Pasca-kemerdekaan, kawasan konservasi pertama kali diatur tahun 1967 ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Dalam undang-undang itu disebutkan Hutan Suaka Alam yang terdiri Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Disamping itu juga disebutkan mengenai hutan wisata yang terdiri dari taman wisata dan taman buru. Istilah taman nasional belum dikenal dalam undang-undang tersebut.

 

Apakah ada jaminan pengelolaan lebih baik dengan diturunkannya status Kamojang-Papandayan dari CAgar Alam menjadi Taman Wisata Alam? Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penetapan Taman Nasional [TN] baru ada pada 1980. Waktu itu aturannya dibuat bersamaan dengan peluncuran dokumen Strategi Konservasi Dunia. Pemerintah Indonesia menetapkan 5 taman nasional pertama yaitu TN Gunung Leuser, TN Ujung Kulon,TN Gunung Gede Pangrango, TN Baluran,dan TN Komodo.

Akan tetapi, menurut Pengkampanye Forest Wacth Indonesia (FWI), Agung Ady Setiawan, dihubungi terpisah, secara keseluruhan hutan di Indonesia terus mengalami degredasi hebat. Di Jawa, misalnya, luasan hutan yang rusak mencapai 2.4 juta hektar. Sebanyak 85,37 persen itu berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Hanya sedikit kawasan hutan yang statusnya masuk hutan konservasi.

Data FWI menunjukan, adanya penurunan luasan hutan Jawa tiap tahunnya. Pada 2002, masih 2,2 juta hektar, namun pada 2009 luasan tutupan hutan hanya tersisa 800 ribu hektar. Ini terjadi karena desforestasi, baik terencana ataupun tidak.

“Kalau untuk kasus penurunan kawasan konservasi di Kamojang itu memang perlu dikaji komperhensif. Meski telah ada kajian sebelumnya oleh KLHK, tetapi berpolemik karena adanya penolakan. Menurut saya perlu dikaji ulang,” terangnya.

“Tapi untuk data berapa luas tutupan hutan yang tersisa di Jabar, FWI belum melakukan kajian menyeluruh. Tetapi memang banyak kawasan kritis di area daerh aliran sungai yang kian menujukan krisis ekologis.”

Berdasarkan data Dinas Kehutanan, Jabar memiliki kawasan hutan seluas 816.603 hektar. Dari luasan itu terdapat 132.180 hektar hutan konservasi, 291.306 hektar hutan lindung, serta 393.117 hektar hutan produksi. Dalam dua dasawarsa terakhir luasan hutannya mengalami penurunan, baik di hutan primer maupun sekunder.

 

 

Exit mobile version