Mongabay.co.id

Khawatir Hutan Habis, Warga Halmahera Timur Tolak Perusahaan HPH

Traktor perushaan sedang mengerjakan jalan di dalam konsesi HPH. Foto: dokumen warga

 

 

 

 

 

 

Dua belas perwakilan warga Desa Hilaitetor, Kakaraino dan Hatetabako, di Kecamatan Wasile Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, Februari lalu, mendatangi Kantor Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara di Ternate. Mereka menempuh perjalanan sekitar sembilan jam, untuk sampai ke Ternate. Warga mau menyampaikan laporan soal kekhawatiran pada perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), PT Mahakarya Hutan Indonesia, yang beroperasi di daerah mereka.

Andre Hidolu, Ketua BPD Desa Hilaitetor menceritakan, kronologis penolakan mereka. Awal masuk perusahaan 2015, sosialisasi oleh Wakil Gubernur Maluku Utara, M Natsir Thaib. “Sekitar Oktober 2015, sosialisasi di beberapa desa yakni Hatetabako, Foli dan Lolobata,” katanya.

Kala itu, wagub bilang, perusahaan tak ambil kayu bulat dan tak menjual keluar tetapi akan membangun industri pengolahan kayu. “Waktu itu disampaikan mulai dari akar batang kayu hingga daun jadi bernilai,” katanya.

Dalam sosialisasi itu, perusahaan janji pekerjakan tenaga kerja lokal terutama warga desa dekat perusahaan. “Janji pembinaan desa di wilayah konsesi dengan memajukan pertanian, beasiswa anak sekolah, membangun rumah ibadah dan sarana olahraga,” katanya.

Tahun sama, perusahaan sosialisasi rencana eksploitasi kayu di Desa Labi-labi, Wasile Utara, dengan izin operasi 45 tahun. Perusahaan menyampaikan lokasi kerja dan berencana membangun pabrik, pelabuhan penampungan kayu di Desa Foli dan Iga di Wasile Utara.

Kemudian, sosialisasi proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2017, dihadiri kades dan camat di Wasile Tengah dan Wasile Utara, bersama perwakilan tokoh pemuda dan masyarakat.

Dalam sosialisasi itu, katanya, ada beberapa tuntutan warga kepada perusahaan, seperti merekrut pekerja dari Wasile Tengah dan Utara. Perusahaan menyanggupi.

Janji perusahaan juga memberikan beasiswa kepada anak- anak desa yang bersekolah dan membangun sarana prasarana desa termasuk rumah ibadah. “Kenyataan, sampai saat ini ingkar.”

Pada November 2017, ada pembebasan lahan untuk tempat penampungan kayu di Desa Hilaitetor. Dua pemilik lahan, Yoel Parang dibayar Rp80 juta dan Yosias Tambolo Rp60 juta. Usai pembayaran itu, cukup lama aktivitas perusahaan tak terdengar.

Pada Februari 2018, masyarakat menggelar pertemuan dengan pemerintah desa dan menyatakan menolak HPH setelah mengetahui perusahaan terlalu besar menguasai lahan, sampai 36.860 hektar.

Penolakan ini membuat perusahaan adakan pertemuan lagi dengan masyarakat meminta ajukan keperluan mereka. Masyarakat lalu menyerahkan usulan kebutuhan desa. Sejak itu perusahaan tak datang lagi ke kampong. Baru Juni 2018, perusahaan mendaratkan alat ke Desa Hilaitetor. Pendaratan alat ini tanpa ada pemberitahuan dan langsung menggusur lahan dan tanaman milik warga.

 

Kayu-kayu tebangan perusahaan HPH di kebun warga. Foto: dokumen warga

 

Sebelumnya, saat pembahasan dokumen amdal di Ternate, warga juga mengajukan sejumlah tuntutan, seperti, tenaga kerja dari warga setempat, pembangunan sarana desa, sarana ibadah, maupun beasiswa anak sekolah desa, namun tak disetujui. Padahal, saat bahasan amdal di Haltim, perusahaan sanggupi tuntutan warga. Kemudian, warga diundang pertemuan bersama perusahaan dengan fasilitator, Kapolsek Wasile Utara dan Babinkamtibmas, di Hilaitetor.

Dalam pertemuan itu, perusahaan menyampaikan, warga tak berhak atas tanaman dan lahan mereka di wilayah HPH. Perusahaan nyatakan, lahan itu sudah ada izin dan hak kelola perusahaan. “Mereka beralasan telah membayar pajak,”katanya.

Bagi masyarakat, tanah itu wilayah yang sudah mereka kelola berpuluh tahun, dengan bukti pepohonan buah seperti langsat, sagu, pala dan lemon. Sebelumnya, tanaman atau kayu di lahan warga disepakati ganti rugi kalau ditebang. “Kenyataan, bohong.”

Kala warga protes, perusahaan kembali mediasi di Subaim. Tuntutan serupa disampaikan warga. Dari pertemuan itu, perusahaan meminta waktu dua minggu. Setelah dua minggu, tak ada kejelasan.

Warga protes. “Usai aksi , beberapa pihak mengintimidasi masyarakat. Perusahaan, misal mengancam akan memenjarakan warga yang melawan. Ancaman lain, bagi yang menolak tak akan diterima sebagai karyawan di perusahaan,” katanya.

Perusahaan meminta waktu dua minggu akan menggelar pertemuan dengan masyarakat di Subaim, Wasile Utara, dengan mengundang perwakilan warga Wasile Utara dan Tengah. Selain itu juga, akan hadirkan, pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan tokoh agama. Dalam pertemuan itu, mereka menyampaikan akan membangun sarana ibadah, beasiswa bagi anak- anak sekolah dan melatih masyarakat menanam pohon jenis samama di lokasi yang ditebang. Lagi-lagi, janji tinggal janji.

Tidak puas dengan sikap perusahaan, Desember 2018, masyarakat Hilaitetor, protes lagi. Aksi ini, dibalas perusahaan dengan melaporkan warga ke Polsek Wasile. Perusahaan menuding warga menebang pohon di lokasi HPH. Laporan ditindaklanjuti dengan memanggil beberapa warga Hilaitetor. Mereka adalah Yordan Buli, Nelson Buli, Agustinus Buli dan Norbel Mendome.

Dalam pemeriksaan, polisi menyebutkan, warga menerobos wilayah HPH. Polisi menahan kayu besi (merbau) yang sudah diolah sebanyak delapan kubik sebagai barang bukti.

Menurut warga, kayu delapan kubik itu tebangan perusahaan di lahan warga. Warga menahan kayu karena di lahan mereka. Warag pun memanfaatkan kayu itu untuk bikin rumah buat empat keluarga. Perusahaan bersikukuh, kayu bisa kembali kalau sudah ada kesepakatan, warga tak ganggu operasi perusahaan lagi.

Masalah lain juga muncul. Kini, perusahaan membatasi aktivitas warga ke kebun. Perusahaan membuat pos penjagaan di jalan kebun warga. Setiap warga yang mau ke kebun dan hutan wajib melapor.

Kalau tak melapor , dilarang ke kebun dalam konsesi HPH. Perusahaan juga meminta masyarakat tidak lagi beraktivitas atau berkebun dalam wilayah HPH. Menurut warga, lahan subur masuk wilayah HPH hingga mereka mau tak mau mesti berkebun dalam konsesi yang memang kebun keluarga mereka turun menurun.

Ladang padi dan kebun warga pun jadi lokasi penampungan kayu milik perusahaan. “Ada berbagai tanaman sumber hidup digusur jadi tempat penampungan kayu,” kata Wilson Ngongare, tokoh adat Desa Hatetabako.

Sekitar delapan bulan sudah perusahaan beroperasi. Kehidupan warga makin terhimpit, ke kebun garapan sulit, sebagian sudah tergusur pula.

Norbel Mendome, pemuda Hilaitetor mengatakan, kalau operasi perusahaan berlanjut, generasi mendatang bisa miskin karena tanah dan hutan sudah jadi kuasa perusahaan.

Dia bilang, masa kelola perusahaan 45 tahun bukan waktu sebentar. “Warga Hilaitetor, mayoritas petani, sebagian kecil nelayan. Kalau lahan dan hutan diambil perusahaan, anak cucu   kita berkebun di mana lagi?”

 

Bekas pohon di tebang di wilayah kelola warga yang kini masuk konsesi perusahaan HPH. Foto: dokumen warga

 

 

Masalah air bersih

Warga juga menyebutkan, sumber air minum dari Kali Lolobata, yang mengalir ke Desa Hatetabako, Kakaraino, Nyaolako, Puao dan Silalayang, masuk wilayah HPH. Mereka khawatir bakal berdampak buruk setelah masuk perusahaan.

Kini saja, katanya, air Kali Ifis, di Desa Hilaitetor, berubah warna cokelat, dulu jernih. Alat berat perusahaan masuk ke sungai. Warga pun enggan menggunakan buat memenuhi keperluan air bersih.

Feny Buli, perempuan desa ini mengatakan, kala sungai tercemar, paling merasakan ibu-ibu. Ifis, katanya, dusun di Desa Hilaitetor, yang mengandalkan air sungai sebagai kebutuhan sehari-hari. Air sungai di dusun dengan 23 keluarga itu, tak bisa lagi terpakai. Ibu-ibu, katanya, terpaksa mengambil air ke Desa Hilaitetor, berjarak sekitar tiga kilometer.

“Di dusun ini taka da pilihan lain. Gali sumur susah karena perlu gali sangat dalam baru bisa dapat air,” kata Feny.

Mereka pun angkut air gunakan jerigen dari dusun sebelah dengan gunakan sepeda motor. “Ibu-ibu yang memasak sangat kesulitan karena harus mengambil air begitu jauh.”

Dia tak bisa membayangkan, kalau perusahaan beroperasi selama 45 tahun, betapa besar kerusakan lingkungan bakal terjadi. “Kami prihatin dengan nasib anak-anak kami kemudian hari. Tuntutan kami, perusahaan harus tutup dan angkat kaki dari tanah dan dusun kami,” kata Feny.

Wilson Ngongare, tokoh adat Desa Hatetabako mengatakan, tak ada cara lain menghindarkan warga dari penderitaan lebih parah kecuali mendorong perusahaan setop operasi.

Hamzah Tomagola, Direktur Operasional Mahakarya Hutan Indonesia kala Mongabay mengkonfirmasi laporan warga itu, membantah lakukan pelanggaran. Dia klaim, perusahaan sudah jalan sesuai ketentuan, segala perizinan mereka sudah penuhi.

Mengenai tuntutan warga agar perusahaan merealisasikan janji, seperti pembangunan infrastruktur desa, beasiswa anak- anak di kawasan lingkar perusahaan serta tuntutan mengakomodir warga bekerja, kata Hamzah, bukan berarti langsung terakomodir sekarang.

Saat ini , katanya, perusahaan baru memulai usaha hingga tahapan realisasi janji belum sampai ke sana. Beasiswa, misal, pemerintah desa maupun tokoh masyarakat belum menyerahkan data siapa yang layak mendapatkannya. “Data itu belum ada di perusahaan.”

Soal pekerja, dia berdalih, dari warga lokal Maluku Utara, cukup banyak, sekitar 90%. “Nanti setelah dibangun persemaian, infrastruktur dan penanaman, perusahaan pekerjakan warga. Saat ini, kita baru memulai usaha,   jadi waktu masih panjang,” katanya.

Mengenai tudingan perusahaan mengambil lahan warga, termasuk menebang pohon dalam lahan warga, kata Hamzah, lahan masuk dalam konsesi.

“Yang masuk lahan warga hanya sedikit sekali, ada berapa hektar di ujung konsesi. Lahan warga itu akan dikeluarkan. Itu sudah pembicaraan, tinggal buat bukti tertulis.”

Sedangkan penyitaan kayu oleh polisi, perusahaan bersikukuh karena warga mengambil kayu merbau tebangan perusahaan. Kalau warga memerlukan kayu untuk perumahan atau fasilitas umum, kata Hamzah, bisa lapor kades dan sampaikan ke perusahaan. Jadi, kayu bisa diambil beserta surat menyuratnya.

Dia membantah, perusahaan melarang warga pergi ke kebun mereka, kecuali sedang ada aktivitas alat berat di jalan perusahaan. “Warga masuk perusahaan terutama jalan-jalan yang ada alat berat perlu lapor.”

Diapun berkelit, kalau operasi perusahaan sebabkan air sungai tercemar. “Kita juga butuh air sungai untuk persemaian dan berbagai kebutuhan lain. Tak mungkin perusahaan merusak.”

Hamzah menduga, berbagai polemik muncul mungkin karena komunikasi tak berjalan baik, hingga ada kecurigaan bahkan protes.

AMAN Malut yang mendapat laporan warga pun berjanji segera menindaklanjuti. Mereka akan turunkan tim survei awal dan pendampingan guna memastikan warga mendapatkan kembali hak-hak mereka sebagai tuan di negeri sendiri.

Catatan AMAN Malut menyatakan, wilayah operasi MHI pada 11 desa di Kecamatan Wasile Timur, Wasile Tengah, Wasile Utara, Halmahera Timur. Desa-desa itu adalah, Desa Hilaitetor, Iga, Kakaraino, Puao, Silalayang, Nyaolako, Hatetabako, Boki Maake, Foli, Tatam, dan Labi-labi. Luas konsesi dengan izin HPH 2017 itu, luas konsesi 36.860 hektar.

Munadi Kilkoda, Kepala BPH AMAN Malut, mengatakan, akan menggelar pertemuan dengan warga untuk pemetaan wilayah adat dan kelola mereka. Selain itu, juga pendataan dan pengumpulan informasi dan menindaklanjuti ke berbagai lembaga pemerintah, seperti Komnas HAM dan lain-lain.

Dia bilang, kasus ini contoh pengabaian hak-hak masyarakat adat. Lahan-lahan mereka sudah jadi wilayah hidup turun temurun. “Kasus ini contoh masyarakat adat belum merdeka. Masih menikmati penjajahan.”

 

Keterangan foto utama:     Traktor perushaan sedang mengerjakan jalan di dalam konsesi HPH. Foto: dokumen warga

 

Padi di ladang warga yang dianggap masuk konsesi HPH ditutupi kayu tebangan perusahaan. Foto: dokumen warga

 

 

Exit mobile version