Mongabay.co.id

Hakim Tolak Gugatan Izin Lingkungan PLTA Batang Toru, Walhi Sumut Banding

Sungai Batang Toru yang airnya dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Senin (4/3/19), menolak semua gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (Walhi Sumut) agar Pemerintah Sumatera Utara, mencabut izin lingkungan pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Batang Toru oleh PT PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE).

Majelis hakim mengabaikan bukti dan ahli yang diajukan Walhi dalam persidangan. Saat persidangan, banyak ahli bicara, seperti pakar gempa Institut Teknologi Bandung (ITB), pakar dan peneliti orangutan dari Belanda, maupun pakar lingkungan hidup dari Universitas Sumatera Utara (USU).

Dalam amar putuan, ketua majelis hakim, Jimmy Claus Pardede mengatakan, fakta persidangan yang dihadirkan Walhi, tak relevan dengan fakta lapangan. Semua saksi Walhi, katanya, dari Kecamatan Batang Toru.

Baca:   Populasi Orangutan Tapanuli Banyak Ditemukan di Lokasi Pembangunan PLTA Batang Toru

Meskipun dalam persidangan kuasa hukum Walhi menyatakan, warga yang tinggal di hilir, yang akan berdampak langsung kalau bendungan jebol. Pembangunan bendungan tak jauh dari sesar gempa Sumatera, hingga khawatir mengancam nyawa ribuan warga di hilir kalau bendungan jebol.

Pertimbangan majelis hakim soal saksi warga terdampak lingkungan menyatakan, sosialisasi perusahaan bersama aparatur pemerintahan kecamatan dan Tapanuli Selatan, serta aparat kepolisian sudah di Kecamatan Marancar. Wilayah itu, lokasi pembangunan PLTA Batang Toru. Jadi, majelis hakim menganggap saksi dari Walhi, tak relevan dengan lokasi obyek sengketa lingkungan.

“Untuk konsultasi publik izin lingkungan, perusahaan sudah jalankan dihadiri aparatur desa, pemerintah dan kepolisian di Marancar, tempat pembangunan PLTA. Saksi yang dihadirkan Walhi patut dikesampingkan.” Begitu bunyi salah satu putusan majelis hakim PTUN Medan.

Baca:   Petisi Hentikan Proyek PLTA Batang Toru Menanti Dukungan

Dalam amar putusan, soal permohonan izin lingkungan, sesuai PP No 27/2012 tentang izin lingkungan dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 17/2012, majelis hakim tak menemukan kewajiban pemrakarsa atau penanggung jawab usaha untuk mengumumkan permohonan izin lingkungan atau sosialisasi sesuai adendum izin lingkungan pertama.

 

Jimmy Claus Pardede, hakim ketua memegang perkara gugatan Walhi pada sidang putusan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Meskipun Pasal 39 ayat 1 dan 2, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), setiap permohonan izin lingkungan wajib diumumkan, majelis hakim menilai itu sudah dilakukan penanggung jawab usaha.

Soal gugatan lokasi pembangunan PLTA dekat sesar gempa Sumatera, hingga bisa berdampak kalau bendungan jebol dan mengancam nyawa serta menghacurkan ekonomi masyarakat, menurut majelis hakim, penanggung jawab usaha di persidangan memastikan bedungan tahan gempa dan tak jebol. Dengan begitu, dalil yang disampaikan kuasa hukum Walhi pun dikesampingkan hakim.

Baca juga:Para Ilmuan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatir Pembangunan PLTA Batang Toru

Majelis hakim dalam amar putusan menyatakan, lokasi pembangunan awal PLTA ditetapkan kawasan rawan gempa. Di persidangan, tak satupun ahli maupun saksi di persidangan menyatakan, di sana tak boleh dibangun bendungan PLTA. Yang ada, kata hakim, hanya bendungan tak boleh dibangun tepat di atas sesar patahan gempa.

Ahli perusahaan juga memastikan, bendungan tak akan jebol karena dibangun tahan gempa dan tak berada di atas sesar gempa.

Majelis hakim hanya mempertimbangkan saksi tergugat, sedangkan keterangan ahli yang diajukan Walhi, dikesampingkan.

Baca juga:Walhi Gugat Gubernur Sumut soal Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Prof Teuku Abdullah Sanny, pakar geofisika Institut Teknologi Bandung di hadapan majelis hakim menjelaskan, mengenai geologi patahan gempa. Berdasarkan penelitian dan fakta, ekosistem Batang Toru, masuk zona merah gempa. Termasuk, lokasi bendungan PLTA Batang Toru.

“Jika skala satu hingga 10, Batang Toru ada di angka lima sampai enam,” kata profesor yang dipercaya sebagai pengkaji kegempaan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung ini.

Berdasarkan kajian, jarak patahan dengan bendungan hanya lima kilometer. Pengaruh patahan terhadap vibrasi bendungan sangat patut dicermati. Artinya, perhitungan keamanan harus tingkat tinggi.

“Ada zona merah dihadapi. Apakah bendungan di segmen paling berbahaya atau tidak, perlu penelitian mendalam, ” katanya.

Saat ini, katanya, lempengan gempa di sejumlah wilayah Indonesia bergerak. Gempa besar setiap saat bisa terjadi, termasuk di lokasi pembangunan PLTA Barang Toru. Para ahli, katanya, harus menentukan tegas, apakah aman atau tidak ada bendungan.

“Diteruskan atau dihentikan. Atau mungkin bisa juga dipindahkan.”

Serge A Wich, pakar dan peneliti orangutan , juga jadi satu ahli yang hadir di persidangan. Wich, lebih 20 tahun meneliti orangutan, dan publikasi untuk berbagai kepentingan ilmiah. Dia langsung hadir dari Belanda, untuk memberikan keterangan sebagai ahli tentang orangutan.

Dia bilang, kerapatan orangutan lebih banyak ditemukan di hutan dataran rendah berlokasi dekat sumber air dan pakan orangutan. Ia spesies penting yang membantu penyebaran tanaman-tanaman dengan biji berukuran besar, dan dapat menyimpan karbon dalam jumlah lebih besar.

“Selama lebih 20 tahun penelitian orangutan di Sumatera dan Kalimantan, orangutan berperan penting dalam penyebaran biji-biji tumbuhan besar yang menyimpan lebih banyak karbon, ” kata Wich.

Ketika majelis hakim menanyakan, populasi orangutan Tapanuli, dia tak bisa menyatakan jumlah pasti. Namun, dia menyatakan, terjadi penurunan kini, salah satu dipengaruhi pembangunan tambang emas, PLTA, juga pembukaan akses jalan, yang dapat memfasilitasi orang berburu hingga satwa ini makin terancam.

Dalam persidangan juga disinggung kemungkinan relokasi orangutan Tapanuli demi PLTA Batang Toru. Wich tak bisa memastikan keberhasilan relokasi ini karena orangutan memiliki wilayah jelajah yang saling tumpang tindih.

Orangutan jantan diperkirakan memiliki wilayah jelajah harian sekitar 100-500 kilometer, orangutan betina, lebih kecil. Artinya, relokasi orangutan bisa menyebabkan kapasitas daya tampung daerah, maupun sumber pakan terbatas dan lain-lain.

Majelis hakim tak hitung keterangan itu. “Mengadili, dalam esepsi. Menyatakan esepsi tergugat tidak diterima. Dalam pokok sengketa, menolak gugatan penggugat seluruhnya, menghukum biaya pokok perkara kepada penggugat Rp300.000. Sidang ditutup, ” kata Jimmy, mengakhiri persidangan.

Bagaimana tanggapan Walhi? Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, akan banding atas putusan tak adil ini.

Dia bilang, target Walhi bukan hanya ingin memenangkan gugatan, tetapi memperbaiki tata kelola lingkungan yang masih banyak salah, lewat izin-izin dari Pemerintah Sumut, termasuk izin lingkungan PLTA ini.

“Kita banding. Ini bukan ingin menghentikan proyek supaya tidak jalan, tetapi ingin mengingatkan, banyak keputusan salah dan tidak ramah lingkungan keluar oleh Pemerintah Sumut, ” katanya.

Dia mengatakan, dari pandangan ahli menunjukkan, wilayah itu tak layak ada pembangunan.

“Apa yang disampaikan ahli njadi titik terang buat kita. Layaknya, tidak ada pembangunan. Batalkan izin lingkungan, dahulu kemudian dikaji ulang, apakah benar layak atau tidak pembangunan di sana,” katanya, seraya bilang Walhi justru merekomendasikan relokasi pembangunan proyek bukan orangutannya.Dia mengatakan, ada keganjilan putusan majelis hakim soal pemalsuan tanda tangan salah satu ahli yang masuk dalam pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTA Batang Toru. Majelis hakim juga mengkesampingkan temuan itu. Padahal, Onrizal, sang ahli sudah menyatakan ada pemalusan tanda tangan.

Dana bersama tim advokasi Walhi Sumut, pada Kamis (16/1/19) mendatangi Markas Polda Sumut, untuk melaporkan keabsahan isi dokumen amdal PLTA Batang Toru.

Mereka laporkan, dugaan pemalsuan tanda tangan pada dokumen amdal, khusus adendum kedua dan ketiga. Dana masih menunggu konfirmasi empat ahli lain yang tercantum dalam amdal adendum kedua dan ketiga.

 

Ficus, salah satu buah yang diminati orangutan Tapanuli. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

 

Fokus membangun

Firman Taufick, Vice President Communications and Social Affairs PT NSHE mengapresiasi putusan dan menegaskan kembali mengenai komitmen mereka mewujudkan PLTA yang aman dan ramah lingkungan, termasuk menjaga ekosistem Batangtoru.

Dalam membangun PLTA Batang Toru kapasitas 510 MW, perusahaan telah memenuhi semua ketentuan dan peraturan berlaku, termasuk untuk amdal.

Selain amdal, perusahaan juga lakukan kajian environmental and social impact assessment (ESIA) . “Kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle,” katanya, seraya bilang, PLTA Batang Toru, juga memiliki kajian-kajian gempa.

“Kami juga mengundang para ahli bekerjasama dengan kami untuk membuat program konkrit menjaga ekosistem Batang Toru, termasuk konservasi orangutan,” kata Firman.

Dengan putusan ini, katanya, perusahaan bisa fokus membangun. Dia mengajak, semua elemen mendukung pembangunan PLTA yang penting dalam menghadapi perubahan iklim.

PLTA Batang Toru, katanya, mendukung upaya pemerintah mengembangkan energi terbarukan, menggantikan bahan bakar fosil. Air sebagai salah satu sumber energi terbarukan mempunyai potensi 75.091 MW, dan baru dimanfaatkan 6%, setara 4.826 MW.

Dengan tak pakai fosil, PLTA Batang Toru berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 1,6-2,2 MtCO2 atau 4% target sektor energi Indonesia pada 2030.

 

Keterangan foto utama:    Sungai Batang Toru yang airnya dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

Bayi orangutan tapanuli yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: YEL-SOCP/Andayani Ginting

 

Exit mobile version