Mongabay.co.id

Banteng Kalimantan, Satwa Langka Ini Perlu Perlindungan Serius

Banteng di Sopanan Penggaraman. Foto: Yayasan Yayorin

 

 

 

 

 

Hulu Sungai Belantikan, terletak di Kabupaten Lamandau, Kalimantan tengah. Hulu sungai ini langsung berbatasan dengan deretan Pegunungan Schwaner, yang jadi batas alam antara Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Di sanalah, para peneliti sumber daya hayati dan bioteknologi, termasuk dari Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin) memastikan masih ada satwa langka, banteng Kalimantan (Bos javanicus lowi).

Di pesisir selatan Kalimantan Tengah itu, monitoring site banteng diselenggarakan Yayorin yang saya ikuti pada 12-13 Februari 2019. Kami menuju Camp Nanga Matu.

Nanga Matu, secara geografis desa paling hulu, sebelum Desa Bintang Mengalih, di barat lautnya, dan Desa Petarikan di timur laut di aliran Sungai Belantikan. Sebagian besar desa-desa itu hutan produksi (HP). Kondisi terbilang lebih baik dibanding kawasan lain di Lamandau, kebanyakan sudah jadi perkebunan sawit.

Bukan berarti hutan masih perawan. Dalam hutan produksi itu ada izin hak pengusahaan hutan (HPH) dipegang PT Karda Traders. “Total Karda dulu 98.000 hektar. Sekarang, sudah berkurang,” kata Eddy Santoso, Direktur Yayorin.

Kendati begitu, melalui serangkaian penelitian panjang, Yayorin memastikan, masih ada setidaknya belasan banteng Kalimantan teridentifikasi berada di sana.

“Kami riset itu sebenarnya sejak 2003. Dari rekan kami riset untuk S-2. Ditemukan informasi banteng dari masyarakat. Kemudian ada (penemuan) tanduk, kotoran dan segala macam,” katanya yang biasa disapa Ewong, tentang latar belakang awal keterlibatan Yayorin, dalam konservasi banteng.

 

Sopanan Pasiran, tempat biasa banteng Kalimantan di hulu Belantikan, bermain. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Terekam kamera pengintai

Informasi awal itu kemudian ditindaklanjuti dengan memasang kamera pengintai untuk mendapatkan visualisasi banteng. Hasilnya, terbukti. Awalnya banteng terekam melalui gambar hitam-putih. Bukti-bukti itu diperkuat setelah banteng terekam lebih intens melalui video dari kamera pengingati yang tersebar pada 32 titik dalam areal seluas 64 km persegi.

Yayorin coba melindungi spesies yang ada di lingkup perlindungan orangutan. “Orangutan kita ketahui sebagai satwa spesies umbrella atau spesies payung. Ia memayungi seluruh spesies di satu ekosistem,” katanya. “Di situ ada banteng, kami berniatan melindungi banteng di Belantikan,” katanya.

Ewong bilang, awal 2000-an, masih sekitar 6.000 orangutan di hutan Belantikan hulu. Ia populasi terbesar orangutan di luar kawasan konservasi, seperti taman nasional, suaka margasatwa atau hutan lindung. Di sana, populasi banteng lebih sedikit. Awalnya, mereka memperkirakan sekitar 30, tetapi sepanjang dua tahun terakhir, setelah meneliti serius bekerja sama dengan Tropical Forest Conservation Aid (TFCA), ternyata tak lebih 20.

Iman Safari, Program Manager Yayorin, mengatakan, populasi banteng itu, teramati periodik melalui kamera pengintai. Tempat yang dikunjungi banteng adalah salt lick atau mineral lick, yang oleh masyarakat lokal setempat disebut sopanan.

“Ada juga yang terekam bergerombol, anaknya dua. Umur sekitar setahun, ada yang tiga tahun,” kata lelaki yang pernah mengikuti konferensi soal banteng Kalimantan, di Sabah Malaysia ini.

 

Anggota Pokdarwis Desa Nanga Matu, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau dan rombongan Monitoring Site Banteng Kalimantan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Beda dengan banteng Jawa?

Iman mengatakan, sangat serius meneliti soal banteng ini, meliputi aspek bioekologi dan etnozoologi, guna mengetahui perkiraan populasi dan sebaran, karakteristik genetik molekulernya, hingga kondisi habitat.

“Karena di Indonesia, tak ada baseline data akurat, terbaru terkait banteng. Jadi selama ini, asumsi selalu ditarik dari banteng di Jawa,” katanya.

Berdasarkan analisis genetik molekuler yang dipimpin pakar dari Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Dedy Duryadi Solihin, banteng di Belantikan, sama dengan banteng Kalimantan lain, sebenarnya tidak sama dengan banteng Jawa (Bos javanicus javanicus). Selama ini, Bos javanicus javanicus (Jawa dan Bali), Bos javanicus lowi (Kalimantan), dan Bos javanicus birmanicus (Asia daratan), disepakati sebagai subspesies dari Bos javanicus.

Berdasarkan analisis genetik molekuler itu, banteng Kalimantan, disimpulkan lebih dekat ke Bos gaurus, dibandingkan banteng Jawa. Banteng Jawa ini lebih dekat ke banteng Birma.

Kesimpulan itu, katanya, diambil setelah melalui dua metode uji DNA untuk menentukan spesiasi, yaitu marka barcoding COI dan marka gen Cytochrome-B.

Material sampel untuk analisis itu pun dari tiga lokasi aktual banteng Kalimantan, yakni di Belantikan, Taman Nasional Kutai (Kalimantan Timur), dan Taman Nasional Kayan Mentarang (Kalimantan Utara).

Sampel itu meliputi tulang tengkorak, tanduk, kulit, daging kering, dan feces. Material itu dari enam individu banteng di Kayan Mentarang, dan masing-masing empat dari Kutai dan Belantikan.

Hasilnya, dengan marka gen barcoding cytochrome oxidase subunit I (CO I), perbedaan antara banteng Kalimantan dan banteng Jawa mencapai 4,3%. Dengan marka gen Cytochrome-B mencapai 5,5%.

Iman bilang, perbedaan 3% saja, sebenarnya sudah berbeda spesies. “Artinya ini memang soal keberanian para pihak mendorong, mendeklarasikan bahwa ini spesies baru.”

Kalau secara metodologi, katanya, ada 10 langkah harus dilewati guna menyatakan ini spesies baru. Namun, katanya, untuk orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) tidak 10 langkah. “Secara metodologi ada 10 standar, dalam praktik mungkin hanya satu atau dua, sudah bisa,” katanya.

Secara morfologis pun banteng Kalimantan terlihat berbeda dari banteng Jawa. Ia berpostur sedikit lebih kecil dibanding banteng Jawa.

Menurut Eddy, kemungkinan terjadi karena banteng Kalimantan harus beradaptasi dengan kondisi habitat di Kalimantan. “Dari hasil adaptasi, Kalimantan identik dengan hutan lebat, dengan tutupan rapat. Jadi, satwa-satwa besar itu mengalami adaptasi. Badan mereka mengecil untuk jalan. Salah satu jadi alasan itu. Mungkin juga karena makanan hingga mempengaruhi sistem pencernaan,” katanya.

 

 

Jejak kaki banteng Kalimantan yang dijumpai di sekitar Sopanan Pasiran saat Monitoring Site Banteng Belantikan, 13 Februari 2019. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Konservasi penting

Karena populasi sangat sedikit, tak mudah menyaksikan satwa yang menurut International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) berstatus endangered (terancam) itu. Dalam kegiatan monitoring, tak satupun rombongan menemukan banteng.

Meskipun begitu, jejak dan aroma banteng tak terbantahkan. Di Sopanan Pasiran, terlihat jejak dan aroma bekas kunjungan banteng. Beberapa tapak kaki terlacak di sekitar sopanan.

Iman memperkirakan, jejak itu belum lama, kemungkinan belum 24 jam. Bisa saja jejak di tanah basah itu terhapus andaikan lebih 24 jam, karena hujan deras turun sore hari sebelum monitoring itu.

Kondisi sopanan itu pun seperti kubangan bekas kerbau atau sapi. Di beberapa titik sopaan, terdapat sumber air alami (salt lick), dan dua kamera pengintai, yang memantau segala aktivitas di sana.

Meski dalam konsesi HPH, kondisi hutan di sekitar tiga sopanan ini relatif masih baik. Batang-batang pohon berdiameter besar, sekitar satu meter masih tampak. Ada pohon ulin, bengkirai yang bernilai jual tinggi. Situs-situs yang disebut rada (hamparan semak belukar) yang biasa jadi tempat rehat banteng terjaga apik.

Iman mengatakan, ada 56 jenis tanaman pakan banteng, dari 240 jenis tumbuhan (teridentifikasi 138) di hutan Belantikan hulu. “Bambu, rebung juga dimakan, sama beberapa rumput,” katanya.

Bukan hanya terkait banteng, dalam perjalanan ini juga bisa dijumpai apa yang orang Belantikan Hulu bilang balai ruai. Ruai atau kuau besar (Arguasianus argus) adalah burung endemik, sekaligus legendaris di Kalimantan, ekor dan sayap panjang bisa mekar.

Balai ruai, adalah hamparan tanah kosong di tengah hutan, tempat sepasang burung ruai bercengkerama. Ido, pemuda Nanga Matu, mengatakan, burung ini unik, selalu membersihkan tempatnya. “Sekarang lagi tak di sini, maka kotor. Kalau ada, bersih di sekeliling ini, tanpa ada satupun daun,” katanya.

Catatan Yayorin, sekitar hutan ini ada 92 jenis satwa. Sebanyak 58 spesies mamalia, 31 burung, dan reptil tiga spesies. Selain banteng, ada beberapa satwa terekam kamera, seperti orangutan, kijang, kucing kuwuk, trenggiling, kuau kerdil, kijang kuning Kalimantan, kucing merah Kalimantan, macan dahan, dan bangau storm .

Menurut Iman, Karda Traders, menetapkan seluas 1.700 hektar hutan sekitar tiga sopanan sebagai kawasan konservasi plasma nutfah. Pemerintah Lamandau, katanya, juga menetapkan kawasan itu wilayah konservasi.

Upaya konservasi juga oleh sejumlah desa di kawasan itu. Sebanyak tiga desa, yakni, Nanga Matu, Kahingai, dan Bintang Mengalih, menerbitkan peraturan desa tentang perlindungan satwa liar jenis banteng dan perlindungan kawasan hutan setempat.

Juga ada peraturan adat. “Ada denda adat bagi yang melanggar. Bukan hanya orang desa, buat orang luar juga. Artinya, siapapun yang melanggar bisa didenda adat.”

Ada juga kesepakatan untuk tak membuat ladang di sekitar sopanan. Hasil kesepakatan itu, tiga sampai lima kilometer. “Kalau dulu ada cerita ladang mereka terlalu mepet sopanan, hingga ada padi diserang, dirusak, banteng otomatis dibunuh,” katanya.

 

 

 

Wisata terbatas?

Upaya konservasi ini, katanya, jadi pembahasan serius dalam agenda monitoring site banteng ini. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nanga Matu, punya niat mengembangkan site banteng ini sebagai destinasi wisata. Staf dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, pun turut serta dalam kegiatan ini.

Edmond Lamey Mambat, dari Dinas Pariwisata Lamandau mengatakan, punya keinginan mengemas Belantikan Hulu, sebagai wisata konservasi banteng. Dia bayangkan, Belantikan, sebagai obyek wisata khusus, bukan wisata massal (mass tourism). “Karena itu paketnya harus mahal.”

Ade Soeharso, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) yang ikut dalam kegiatan itu mengatakan, alternatif-alternatif pengelolaan banteng Kalimantan dan habitatnya itu harus dirumuskan dalam satu dokumen. “Harapannya, ada alternatif pengelolaan kita nanti akan punya konsep akan mau konservasi lokal atau mau konservasi daerah atau kawasan khusus,” katanya.

Senada dikatan Eddy Santoso, perumusan konsep ini harus selaras antarkepentingan para pihak. “Antara pemerintah daerah, pusat dan masyarakat itu harus kita perhatikan. Kalau bungkusnya konservasi, (mungkin bagi) pemda kurang menarik. Kalau konservasi itu ada nilai penting buat daerah dan masyarakat sebagai bagian dampak konservasi itu, pasti mendukung. Kalau sekadar banteng, enggak akan pernah dapat support,” katanya.

Pembahasan pengembangbiakan dengan membuat sanctuary bagi banteng Kalimantan, pun sempat mengemuka. “Yang jadi masalah, banteng itu satwa liar yang gampang stres. Kalau mau berhasil harus banteng anak, kalau banteng dewasa tak akan hidup. Memang, secara genetis banteng mudah berkembang biak. Membuat model sanctuary, pengelolaan, penangkapan itu bukan proses mudah,” kata Iman.

Kegiatan monitoring site banteng ini berakhir dengan pembentukan Forum Konservasi Banteng Belantikan (Forum Sibatik) yang akan bertugas merumuskan kelanjutan konservasi banteng Kalimantan, di Belantikan Hulu ini.

“Paling tidak banteng ada perhatian mungkin status bisa dinaikkan. Orangutan yang masih banyak saja status critical endangared. Banteng populasi sangat kecil masih endangered,” ucap Iman.

 

Keterangan foto utama:      Banteng di Sopanan Penggaraman. Foto: Yayasan Yayorin

 

Eddy Santoso, Direktur Yayorin, menunjukkan buah kekali dan pompaan, buah endemik hutan Kalimantan yang ada di hulu Sungai Belantikan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

:

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version