- Sebelumnya, area ini tambak garam ada mangrove. Pada 2000-2001, ada normalisasi Bengawan Solo guna mengatasi banjir di Lamongan Selatan. Anakan sungai di sekitar juga normalisasi. Mangrove hilang. Pemerintah pernah tanam mangrove tetapi banyak mati karena tak terpelihara.
- Mangrove hilang, satwa yang hidup tergantung mangrove pun hilang. Burung tak datang lagi. Arifin Jami’an, petani garam juga pegiat lingkungan, terpanggil mengembalikan hutan mangrove yang hilang, secara pelahan.
- Setelah Arifin menanam dan menjaga mangrove, akhirnya, banyak instansi tertarik membeli bibit dan menanam. Hingga kini, sudah sekitar 20 hektar dia awasi.
- Waktu berjalan, mangrove terus tumbuh dan penyebaran makin luas. Hutan gambut kembali, satwa pun kembali, salah satu berbagai macam burung…
Pantulan matahari terlihat malu-malu di antara ketenangan air di tambak garam. Semilir angin berembus, menciptakan riak gelombang kecil.
Pagi itu, matahari masih belum meninggi. Beberapa jenis burung berada di sekitar tambak di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Lamongan, Jawa Timur. Musim hujan, tambak-tambak garam tidak terpakai. Produksi garam tradisional sangat tergantung sinar matahari hingga terhenti sementara waktu saat hujan.
Burung-burung pun terlihat lebih leluasa bergerak di pematang maupun lahan yang dirancang untuk menghasilkan garam kristal itu.
Burung raja-udang meninting (Alcedo meninting) hinggap di sebatang kayu mati. Dia seolah menatap tajam ke arah mangsa di tambak. Burung kecil berukuran 15 cm itu, bolak-balik mengambil makanan.
Sepasang burung penetap seperti cerek kenyut (Pluvialis fulva) terlihat bercengkrama, sesekali memperebutkan ikan makanan mereka. Ada ganggang bayam timur (Himantopus leucocephalus), perenjak rawa (Prinia falviventris), perenjak padi (Prinia inornata), maupun madu sriganti betina (Anthereptes malacensis) dan banyak lagi. Mereka tampak melompat lompat.
Sesekali berkicau, mereka berpindah dari satu batang mangrove jenis bakau (Rhizhopora mangle) ke batang lain. Suasana terlihat asri dan menyenangkan.
Lalu datang segerombolan perandai (Calidris pusilla), jenis burung air migran, dan trinil pantai (Actitis hypoleucos). Mereka tampak tak takut difoto berjarak 160 meter.
Suasana semacam itu sudah lama hilang di pantai utara Lamongan itu. Burung-burung sudah lama pergi dari desa di tepi pantai ini.
Saat ini, burung-burung yang dulu hilang kini sudah kembali. Kondisi ini tak terlepas dari peran Arifin Jami’an, petani garam juga pegiat lingkungan di pesisir Lamongan. Berkat tangan dinginnya, kawasan awalnya gundul karena normalisasi Sungai Bengawan Solo itu, kembali rimbun.
Sebelumnya, di area tambak garam sudah ada mangrove. Pada 2000-2001, normalisasi Bengawan Solo guna mengatasi banjir di Lamongan Selatan. Anakan sungai di sekitar juga normalisasi. Akhirnya, mangrove hilang.
“Sempat ditanami pemerintah, karena tak ada yang jaga akhirnya banyak mati. Di situlah, saya tergerak menanam dan menjaganya,” kata pria kelahiran 1962 itu.
Bibit mangrove Arifin dapat dari desa tetangga, seperti Desa Labuhan, Paciran dan Mantren. Ketika itu, dia sebagai tukang loper buku. Hampir setiap hari dia membawa bibit untuk ditanami di sepanjang sodetan Bengawan Solo. Dia juga menanam dekat tempat tinggalnya yang kebetulan di antara tambak garam.
“Dulu panas, saya perlu udara segar. Buat adem-ademan, jadi itu yang membuat saya menanam mangrove,” katanya.
Seiring waktu berjalan, tanpa disadari mangrove yang dia tanam terus mengalami pertumbuhan dan penyebaran makin luas. Akhirnya, banyak instansi tertarik membeli bibit dan menanam. Hingga kini, sudah sekitar 20 hektar dia awasi.
Burung pun bermunculan. “Dulu tidak ada, begitu ada pohon besar-besar akhirnya ditempati. Burung mulai ramai sekitar 2011-2012. Itu baru ada,” kata pria juga terlibat dalam Komunitas Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan (Kapal) itu.
Perjuangan tak hanya di situ. Arifin juga dapat panggilan lain. Selain memantau penebangan pohon, dia harus mengawasi perburuan burung yang masih marak oleh masyarakat sekitar. Pengawasan harus ketat, karena hampir saban hari ada orang yang membawa senapan berburu.
Beruntung pula, Arifin mendapat banyak dukungan dari kerabat-kerabat dekat untuk memberi tahu kalau ada orang yang sedang berburu. Dia sendiri merasa kuwalahan, kalau harus mengawasi sendiri.
Meski begitu, bapak lima anak ini tak mudah mencegah perburuan burung. Bahkan, dia pernah mengalami kejadian buruk. Kala itu, dia harus menelepon aparat keamanan untuk mengamankan pemburu.
Arifin pun pernah meminjam pakaian perangkat desa untuk menakut-nakuti pemburu yang melawan. “Orang ya, kadang-kadang ada yang gampang, ada juga yang ngamuk-ngamuk. Kalau tidak begitu, ya tidak takut,” katanya.
Dia berpesan, supaya masyarakat tak mengambil enaknya saja. Dia berharap, masyarakat tak mengusik ketenangan burung lagi. Arifin sadar, ada beberapa burung termasuk kategori dilindungi oleh UU.
Dia bilang, kalau burung tak dilindungi, bagaimana dengan rantai makanan di area tambak. “Boleh kita makan, tapi ya, harus hati-hati. Burung kan sudah nyaman sekarang. Itu saya anggap seperti perusahaan. Jadi harus saya lindungi, kalau dibiarkan, ya habis.”
Burung-burung kembali seiring rimbunnya hutan mangrove tak pernah Arifin, bayangkan.
Waskito Kukuh Wibowo, dari Komunitas Birdpacker mengatakan, hubungan mangrove dengan tambak itu saling berkaitan. Burung air migran memang memerlukan makanan. Begitu pula dengan burung tetap yang sangat bergantung ketersediaan makanan maupun tempat bersarang.
Ketika musim migrasi, biasa ada beberapa jenis burung air. Paling umum, trinil pantai dan kedidih leher merah. Pola penyebaran di tambak, kalau yang di pepohonan pinggir tambak seperti mangrove itu kebanyakan dipakai untuk bertengger.
Migrasi burung-burung air pada waktu-waktu tertentu. Di Indonesia, mengikuti musim dingin suhu bumi bagian Utara, sama musim dingin bagian Selatan. Burung air migran mulai bermigrasi pada Agustus, puncaknya Oktober-November. Populasi banyak datang ke Indonesia dari Sumatra sampai Papua.
“Hanya singgah mencari makan, termasuk trinil,” katanya yang sudah mengamati burung mulai 2009.
Dia bilang, ada beberapa alasan burung bermigrasi ke tambak garam, pertama, faktor makanan salah satu penentu. Kedua, keamanan dari gangguan manusia. Ketiga, ada mangrove sangat mempengaruhi burung itu bermigrasi. Mangrove terjaga, biota air seperti ikan, udang, sampai kepiting juga banyak sebagai pasokan pakan burung.
Waskito juga membeberkan ancaman terhadap burung-burung tambak itu, seperti alih fungsi lahan hutan mangrove sangat berpengaruh pada ketersediaan makanan dan perburuan.
Keterangan foto utama: Cerek kernyut (Pluvialis fulva), bermigrasi ke pesisir Amerika utara dan selatan, Eropa barat, Afrika, Asia Selatan, Indonesia dan Australia. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia