Mongabay.co.id

Cerita Redupnya Kejayaan Kopi Lahan Gambut Desa Gandang Barat

 

Tubuh tua itu terlihat cekatan memutar gandar, atau alat pengupas kulit kopi. Buah kopi kering hitam dimasukan dalam ember wadah diatas gandar, perlahan turun dan digilas dengan dua lempeng semen bundar. Tak lama keluar biji dengan kulit yang pecah dengan kulit terkelupas.

Sejurus, Mbah Sujarno (74) berhenti memutar tuas kayu. Dia lalu memasukan lagi sejumlah kopi hitam kering yang masih tersisa, begitu terus sampai semua habis.

Setelah ditampi, biji kopi itu pun disangrai oleh Muawana (43) anak perempuan mbah, sebelum digiling atau ditumbuk menjadi bubuk kopi siap seduh.

Seperti warga Desa Gandang Barat, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau lainnya, pekerjaan pembuatan bubuk kopi yang dilakukan oleh Mbah Jarno, -biasa dia dipanggil, bukanlah pekerjaan utama mereka. Kopi bagi desa yang berada di dekat kanal primer eks PLG ini adalah untuk sekedar memenuhi kebutuhan harian dan ‘pengaman’ ekonomi warga saat harga komoditas lain jatuh.

Baca juga: Kopi Aroma Unik ini Bersahabat dengan Lahan Gambut

Sejak tahun 1980-an, kopi telah menjadi salah satu komoditas yang ditanam di lahan gambut oleh warga trans di Desa Gandang. Tanaman ini cepat tumbuh dan mampu beradaptasi dengan pH asam di lahan serasah ini. Jenis kopinya sendiri campuran antara liberika dengan robusta.

Sujarno adalah profil petani transmigran awal yang datang ke Kalteng. Tuturnya, dia datang di awal tahun 1980 bersama dengan istri dan keenam anaknya. Dia berasal dari Jombang, Jawa Timur. Sujarno sendiri masih ingat awal-awal bermukim di Gandang.

“Awal hidup di sini, selama tiga tahun saya cuma bisa ‘nangis’. Tanah di sini itu berair, rawa begitu. Kalau tanam singkong, daunnya keriting semua,” tuturnya (6/3).

 

Usai digiling, kopi disangrai dengan proses tradisional. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Karena hidup terlalu sulit dengan tanah gambut yang tebal serta membutuhkan pengolahan ekstra, hampir separuh warga desa tersebut pindah. Bahkan di kampung sebelah dilakukan relokasi ke lokasi berbeda.

Beberapa warga trans pun memilih untuk kembali pulang ke Jawa. Beberapa mencoba mengadu nasib ke kampung sebelah atau mencari pekerjaan lain.

Berbekal pengalaman di Jawa, para transmigran itu pun mencoba untuk bertani sawah. Sayangnya usaha itu cukup sulit, karena pH tanah yang terlalu asam.

Beruntung, pemerintah memberikan perhatian dengan memberikan sejumlah bibit, salah satunya bibit karet dalam program padat karya. Namun, sayang harga karet semakin tahun semakin menurun harganya.

Beberapa waktu lalu, warga sempat mencoba menanam nenas. Tanaman ini berhasil tumbuh baik, sayangnya pasarnya kurang baik. Sehingga petani beralih ke komoditas lain.

Berjalan dengan waktu, pamor kopi meningkat. Pada tahun 2000, Mbah Jarno menanam 100 pohon kopi di lahannya. Empat tahun kemudian, setelah mulai panen kopi, ia mencoba membuat alat pengupas biji kopi yang dia tiru dari cara kerja penggilingan padi.

 

Mbah Parjo dan sepedanya. Dia adalah salah satu generasi transmigran pertama di Pulang Pisau, Kalteng yang masih bertahan hingga saat ini. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Beberapa tahun kemudian, tren perkebunan berubah, harga dan permintaan akan minyak sawit semakin banyak. Perkebunan dan konsesi semakin luas, kebutuhan akan pekerja juga semakin banyak.

Hal ini berpengaruh besar terhadap warga trans di Gandang Barat. Para petani karet dan kopi berbondong-bondong melamar menjadi buruh di perkebunan sawit. Beberapa yang sudah punya modal bahkan tergoda menjadi petani sawit.

Hal itu pun terjadi dengan keluarga Sujarno. Pohon kopinya dia babat dan berganti dengan sawit. “Itu (sawit) punya anak saya, saya hanya menjaga saja. Kalau kopi tinggal 12 batang sekarang,” katanya.

Meski tidak lagi menjadi komoditas primadona, namun baginya kopi tetap menjadi komoditas cadangan yang cukup menjadi pengaman kondisi ekonomi. Saat ini, harga biji kopi bersih cukup menjanjikan, harga terendah Rp25 ribu bahkan dapat mencapai Rp30 ribu/kg nya.

Beberapa warga lain pun masih mempertahankan pohon-pohon kopinya. Seperti halnya Mbah Jarno, warga yang mengolah kopi kebanyakan adalah kaum tua atau perempuan yang tidak mampu bekerja di kebun sawit. Kopi pun kebanyakan ditanam di pekarangan sekitar rumah atau kebun yang tidak jauh dari rumah mereka.

Rata-rata warga Gandang Barat, -desa yang berjumlah 350 kepala keluarga dan 930 jiwa ini, memiliki 10-50 batang kopi per rumah. Kopi merupakan tanaman lama, bahkan beberapa sudah ditanam sejak tahun 1980-an.

Perangkat desa, Suripno menyebut sebenarnya nilai kopi masih tinggi, namun minat warga untuk menekuni pengembangan usaha kopi relatif rendah. Sebutnya, kendala utama karena pengerjaan kopi butuh keuletan.

Jelasnya, ketergantungan terhadap cuaca untuk penjemuran cukup menyulitkan petani, meski buah kopi bisa dipanen harian. Walhasil, sekarang kopi hanya untuk usaha sambilan. Itupun tidak dijual dalam bentuk bubuk. “(Warga) jarang jual bubuk, karena tidak ada pembeli.”

 

Kopi, tanaman yang sekarang naik daun di Indonesia seiring dengan permintaannya yang semakin meningkat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, jelasnya perangkat desa sedang mencari alternatif untuk peningkatan sumber mata pencarian masyarakat, lewat program fasilitasi yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) bekerjasama dengan CSO Kemitraan.

Gandang Barat pun terpilih menjadi salah satu Desa Peduli Gambut (DPG). Di tiap DPG, terdapat fasilitator desa yang bertugas melakukan dampingan. Revitalisasi mata pencarian masyarakat merupakan bagian dari program pemulihan lahan gambut dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) atau yang disebut dengan program R3 (Rewetting, Revegetation, Revitalization).

Program ini mencakup pembasahan kembali lahan-lahan gambut yang sebelumnya kering, mencari tanaman komoditi yang cocok untuk masyarakat sampai melakukan revitalisasi kehidupan masyarakat yang hidup di lahan gambut.

“Tidak neko-neko. Saya inginnya masyarakat bisa hidup sejahtera di lahan gambut. Itu saja,” tutup Sujarno saat ditanya apa keinginannya di masa tuanya.

 

 

Exit mobile version