Mongabay.co.id

Limpahan Panen Bumi Warga Wadas di Tengah Ancaman Penambangan

Muji Mupangat, petani durian Wadas, ingin membuat wisata kebun durian. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Tiga gunungan durian setinggi satu setengah meter tertata di halaman Mesjid Nurul Huda, Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Satu durian diletakkan persis di jalan masuk, dua yang lain mengapit kanan kiri panggung. Setiap gunungan tersusun sekitar 150 durian, total 450 buah.

“Itu sumbangan petani durian Desa Wadas. Masing-masing petani memberikan satu durian dari kebunnya,” kata Fuad Rofiq, Ketua Kamudewa.

Kamudewa, adalah kelompok pemuda Desa Wadas, yang gigih menolak penambangan pasir untuk material Bendungan Bener, Purworejo.

Baca juga:   Jaga Lahan Tani, Warga Wadas Tolak Penambangan Batu (Bagian 1)

Tak jauh dari panggung, berjejer lapak menjual berbagai dagangan. Ada sandal ukir, kaos bertuliskan Save Wadas. Juga aneka hasil kebun seperti petai, durian, gula jawa, kopi, madu.

“Hari ini, kita mengadakan istighosah, pentas kesenian, dan bazar. Puncaknya, durian dimakan bersama-sama oleh seluruh warga yang hadir,” katanya, penghujung Februari, lalu.

 

Durian, salah satu jenis buah andalan di berbagai penjuru negeri Indonesia, salah satu di Desa Wadas, Purworejo. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tekad petani

Warga Desa Wadas, protes penambangan pasir, untuk pembangunan Bendungan Bener, yang akan menghancurkan kebun dan lahan tani mereka.

Marsono, petani Badas, bilang, warga gigih tolak rencana penambangan pasir. “Tak ada pilihan lain kecuali rencana penambangan dibatalkan,” katanya..

Masyarakat, katanya, bertekad bulat tolak tambang pasir. “Kalau bendungan silakan. Jika akan dibangun kami tidak menolak. Tapi pengerukan jangan dari sini.”

Dia memperlihatkan durian lokal, bukti Wadas, kaya hasil pertanian. Di belakang Marsono, ada papan tulis berisikan syair lagu Lestari Alamku, karya Gombloh.

Baca juga:Ribuan Pohon Durian Terancam Proyek Bendungan Bener (Bagian 2)

Saya bertemu Marsono, di salah satu ruang Madrasah Diniyah Hidayatul Muslimah, satu kompleks dengan Mesjid Nurul Huda. Ruangan itu jadi tempat berlatih anak-anak Wadas, memainkan operet tentang Desa Wadas, yang lestari.

Menurut dia, pengerukan bukit hanya akan meninggalkan kerusakan alam. Padahal, itu lahan berkebun dan bertani warga. “Kalau ini diteruskan, warga Wadas, tak tambah kaya tetapi miskin. Satu-satunya, pekerjaan mencukupi kebutuhan hidup warga adalah bertani.”

Dalam setahun, katanya, bisa mendapat uang Rp25 juta dari durian. Pohon durian itu warisan kakeknya, sekitar 50 pohon. Dia juga mendapatkan hasil dari kemukus, vanili, lada, manggis, sampai petai. Ada sekitar 200-an petani punya pohon durian seperti Marsono.

Muji Mupangat, petani lain, punya 30 pohon durian tengah berbuah. Tahun kemarin, dia dapatkan hampir Rp40 juta dari jual durian.

“Saya lagi bikin benih. Ada 200-an pohon akan ditanam sendiri. Rencananya, saya ingin buat wisata durian pribadi di Wadas. Nanti, orang bisa datang langsung ke kebun.”

Begitulah Muji, bercita-cita. Dia ingin punya tempat wisata kebun durian. Cita-citanya bakal pupus kalau rencana pengambilan material bendungan dari Desa Wadas, berjalan. Kebun dia ada di rencana penambangan.

 

Hasil kopi dari Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Menjadi petani laksana panggilan jiwa baginya. Dalam pandangannya, jadi petani adalah orang paling merdeka.

“Mengapa? Semua kerja sendiri, tidak dipengaruhi orang lain. Saya berharap petani Wadas bisa menjadi petani andalan, bisa hidup di atas kaki sendiri.”

Saat ini, banyak pecinta durian sengaja datang ke rumahnya. Mereka berburu durian terbaik dari Wadas. Rasanya macam-macam. Ada yang pahit, juga manis susu. Para penggemar itu dari kota-kota sekitar seperti Magelang, Yogyakarta, maupun Bantul.

Tak jauh beda, Ahmad Supriyadi, punya 15 pohon durian yang berdaging tebal. Tiap hari, rata-rata ada 25-30 durian jatuh di kebunnya. Durian jatuh dijamin masak pohon. Pagi hari, tak kurang dari Rp300.000, bisa dia dapatkan.

“Semoga bumi Wadas, seterusnya utuh. Baik masyarakat, dan tanamannya. Tanaman saya itu untuk anak cucu,” katanya.

 

 

Bukan tanah tandus

Insin Sutrisno, tokoh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa), menolak tudingan, Wadas sebagai daerah tandus.

“Dulu, Wadas dianggap desa tandus, gersang, tak produktif. Kami tidak rela dianggap demikian. Lihat, Wadas, subur. Hasil melimpah, bisa menghasilkan durian bergunung-gunung. Ini alasan kenapa kita mengadakan kenduri durian malam ini.”

Desa Wadas, katanya, juga makmur. Banyak petani bisa menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Tak sedikit berangkat haji dari hasil tani.

“Desa Wadas, bukan rakyat bodoh. Kita buktikan, anak-anak cucu kita banyak kuliah, sudah lulus juga banyak. Ketika Wadas, buminya akan dikeruk, kami bersama-sama bersepakat menolak secara hukum. “

“Tanah di Desa Wadas, milik rakyat Wadas.”

Fuad Rofiq mengatakan, bazar warga Wadas untuk menunjukkan potensi desa.

“Kenduri durian adalah selamatan hasil bumi. Memamerkan sebagian hasil bumi, dan industri kreatif berupa sablon dan ukir sandal. Sekalian donasi. Hasilnya, akan disumbangkan untuk perjuangan Gempadewa.”

Sablon kaos dengan tulisan Save Wadas, cukup banyak diminati. Banyak warga mengenakan kaos ini saat acara berlangsung.

 

Marsono, petani durian Desa Wadas,bertahan tak mau kebun hilang ditambang. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Konflik infrastruktur

Muhammad Al-Fayyadl, intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) dan pegiat di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) berpendapat, sikap penolakan warga seperti di Wadas, merupakan pendekatan keliru.

“Ini bagian rentetan konflik infrastruktur di pesisir selatan Jawa, yang punya corak khas yaitu militansi dari warga untuk bertahan. Saya kira tantangannya juga besar,” kata Gus Fayyadl, panggilan akrabnya, kepada Mongabay.

Sikap NU, katanya, sama dan sejalan dengan warga Wadas. Dikenal sebagai tokoh yang peduli masalah pertanahan dan sumber daya alam, Fayyadl, banyak mengangkat persoalan yang menimpa Nahdliyin.

“Kata para ulama, salah satu tanda, suatu negeri makmur kala tumbuh hijau, subur. Semoga Wadas seperti itu,” katanya kepada ribuan orang yang menghadiri pengajian, disambut tepuk tangan.

Dia pun menerangkan, bagaimana kitab suci Al-Quran melukiskan hubungan saling menghidupi antara manusia, tanaman, dan bukit.

“Demi buah tin, dan demi buah zaitun… Apa artinya Tuhan bersumpah dengan buah-buahan? Kalo di Wadas, tidak ada buah tin dan zaitun. Adanya di Arab, sana. Buah ini tumbuh di atas perbukitan. Pada ayat berikutnya Tuhan berfirman demi Bukit Thursina. Seandainya, ayat suci turun di di Purworejo, yang disebut mungkin adalah durian atau semangka, buah-buahan yang mengandung banyak manfaat.”

Bukit Thursina, adalah tempat penting di mana Tuhan memberikan wahyu kepada Nabi Musa, untuk pertama kali, hingga dia jadi nabi dan rasul bangsa Israel.

“Sesungguhnya Allah menciptakan bukit, gunung, dan makhluk di sekitarnya itu ada manfaatnya, untuk menjaga makhluk yang ada di sekitarnya sejahtera.”

“Saya dengar di sini bukitnya subur, sudah bisa menjadi sumber penghidupan yang bermanfaat bagi warga dan keluarganya. Maka kita wajib menjaganya supaya bermanfaat sampai anak cucu kita,” ujarnya yang kembali disambut tepukan warga.

“Jadi ini bukitnya sudah seperti Thursina kalau yang ini Thurwadas. Kalau bukit itu sampai rusak jangan pernah Anda berharap bisa menikmati hasil bumi semua ini.”

Sebelumnya, Kamis, (10 /1/19), kembali ratusan warga Wadas, mendatangi Kantor Bupati Purworejo. Mereka meminta, bupati mendukung sikap warga Wadas yang ingin desa tetap lestari. Mereka gagal bertemu bupati.

 

***

Kenduri durian menjadi penutup acara pengajian, pada Jumat malam itu. Satu persatu buah durian diturunkan. Warga menikmati gunungan durian tanpa berebut. Selepas acara, seorang pria memunguti pongge atau biji durian. “Untuk ditanam kembali,” kata pria itu. Beberapa orang lain memunguti sampah yang ditinggalkan di lokasi acara. Jam menunjuk pukul setengah satu dini hari.

 

 

Keterangan foto utama:     Muji Mupangat, petani durian Wadas, ingin membuat wisata kebun durian. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Spanduk berisi penolakan perusakan bukit di Desa Wadas. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version