Mongabay.co.id

Wilayah Perairan Natuna Tetap Jadi Buruan Pencurian Ikan

 

Ketegasan Pemerintah Indonesia untuk memerangi aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) terus diperlihatkan sejak 2014 hingga sekarang. Selama hampir lima tahun itu, sudah 488 kapal ikan asing (KIA) pelaku IUUF ditenggelamkan di berbagai wilayah laut Indonesia. Tetapi, selama kurun waktu tersebut, aksi pencurian ikan masih sulit untuk dihentikan dan itu masih terus berlangsung hingga sekarang.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merilis data terbaru pelaku IUUF sepanjang 2019. Dari data selama 2,5 bulan terakhir itu, total sudah ada 16 kapal pencuri ikan yang ditangkap oleh kapal penjaga lautan yang dikawal oleh KKP, TNI Angkatan Laut, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dari 16 kapal, 12 kapal adalah KIA dan 4 kapal ada kapal ikan Indonesia.

Aksi paling mutakhir yang dilakukan para pencuri ikan itu, berlangsung pada Selasa (12/3/2019) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 711 Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Pelaku pencurian ikan tersebut, tidak lain adalah 1 KIA berbendera Malaysia dan ditangkap oleh kapal pengawasan perikanan (KP).

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Agus Suherman mengatakan, kapal berbendera Malaysia tersebut tertangkap saat sedang berlangsung operasi pengawasan yang digelar secara terpadu oleh tiga kapal pengawas perikanan. Ketiga kapal itu adalah KP Orca 01, KP Hiu 011, dan KP Hiu Macan 001.

“Kapal Malaysia tersebut adalah SFI-66 dengan bobot 47,87 gros ton (GT), mereka ditangkap sekitar pukul 10.00 WIB” jelasnya di Jakarta, Selasa.

baca :  Laut Natuna Masih Disukai Kapal Asing Penangkap Ikan Ilegal. Kenapa?

 

Sebuah kapal ikan asing berbendera Malaysia ditangkap pada Selasa (12/3/2019) di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, oleh kapal pengawas perikanan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Agus memaparkan, saat melaksanakan operasi pengawasan, ketiga kapal didukung dengan operasi udara (air surveillance) yang berperan menjadi penyuplai informasi sebelum menentukan target operasi. Dengan dukungan tersebut, ketiga kapal bisa beroperasi lebih baik dan akhirnya sukses menangkap KIA berbendera Malaysia yang di dalamnya ada tiga orang warga Negara Indonesia (WNI) dan bekerja untuk kapal tersebut.

Tentang penangkapan kapal berbendera Malaysia tersebut, Agus menuturkan bahwa mereka adalah pelanggar wilayah kedaulatan Indonesia karena menerobos perbatasan dan menangkap ikan di WPP-NRI. Seperti kapal-kapal pencuri ikan lainnya, kapal berbendera Malaysia itu juga melakukan hal sama: yakni tanpa ada izin dan tanpa memiliki dokumen yang lengkap.

“Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan asing secara umum sama,” ucapnya.

 

Kapal Vietnam

Sebelumnya, pada Jumat (8/3/2019), KKP juga sukses menangkap KIA pencuri ikan di wilayah laut Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara. Kapal yang ditangkap oleh kapal pengawas perikanan adalah kapal berbendera Vietnam dengan nama BV 9845 TS dan diawaki oleh lima orang berkewarganegaraan Vietnam.

Menurut Agus Suherman, kapal tersebut ditanglap oleh KP Paus 001 sekitar pukul 07.50 WIB pada posisi koordinat 03.09.091 N – 110.01.925 E. Seperti kapal pencuri sebelumnya yang ditangkap, kapal Vietnam tersebut juga melakukan pelanggaran hukum karena menangkap ikan di WPP NRI tanpa dilengkap dengan dokumen dan perizinan yang sah dari Pemerintah Indonesia.

“Tak hanya itu, kapal Vietnam tersebut juga menggunakan alat tangkap trawl yang dilarang di Indonesia,” sebutnya.

baca juga :  Vietnam, Negara Dominan Pelaku IUUF di Laut Indonesia

 

Sebuah kapal ikan asing berbendera Malaysia ditangkap pada Selasa (12/3/2019) di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau, oleh kapal pengawas perikanan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain di Natuna, penangkapan KIA pencuri ikan juga dilakukan Pemerintah Indonesia di ZEEI Selat Malaka yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Di sana, sebanyak dua KIA berbendera Malaysia ditangkap pada Senin (11/3/2019) sekitar pukul 1.15 WIB. Kedua kapal tersebut adalah KM. PKFB 1109 berbobot 50,99 GT dan KM PPF 634 berbobot 49,07 GT.

Untuk kapal pertama, Agus menyebutkan, di dalamnya terdapat empat orang berkewarganegaraan Myanmar dan pada kapal kedua di dalamnya terdapat lima orang warga negara (WN) Myanmar. Seluruh WN Myanmar tersebut diketahui menjadi awal kapal selama pelayaran di perairan Indonesia. Kapal-kapal tersebut masuk ke wilayah perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan perizinan yang sah dari Pemerintah Indonesia.

“Juga, karena mereka menggunakan alat tangkap trawl yang dilarang di Indonesia,” tandasnya.

Berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan, kapal sementara diduga melanggar Undang-Undang No.45/2009 tentang Perikanan dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp20 miliar.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa pemberantasan IUUF di wilayah perairan Indonesia membutuhkan komitmen bersama dan perjuangan yang berat. Agar efek jera bisa dirasakan oleh para pelaku IUUF dan kapal-kapal lain yang belum tertangkap, dia meyakini kalau kebijakan penenggelaman kapal adalah kebijakan sangat tepat untuk saat ini.

“Aktivitas IUUF akan berkurang, meskipun prosesnya akan sangat panjang. Tetapi, untuk bisa mencapai itu, perlu kemauan dari semua pihak dan menyatukan pikiran serta tekad untuk melaksanakannya. Jika itu berjalan, maka pelaku IUUF akan takut dan itu akan memberi efek jera kepada calon pelaku lainnya. Tinggal kita mau atau tidak,” tuturnya.

baca juga : Pelaku Penangkapan Ikan Ilegal Pakai Modus Baru di Indonesia?

 

KKP menangkap kapal ikan asing bernama BV 9845 TS berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara, Kepulauau Riau pada pada Jumat (8/3/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

 

Keterlibatan Petugas

Menurut Susi, dengan adanya peraturan larangan kapal asing masuk ke Indonesia untuk mencari ikan, seharusnya perairan Indonesia bebas dari aktivitas IUUF. Tetapi, dia menduga, ada keterlibatan dari petugas penegakan hukum (gakkum) di lapangan yang menyebabkan kapal asing masuk hingga jumlahnya mencapai 70 ribuan.

“Saya mengerti untuk memberantas IUUF dengan tuntas tidak mudah. Maka dari itu konsolidasi orang-orang yang berani dan berintegritas diperlukan,” ucapnya.

Untuk kapal-kapal yang ditangkap, Susi menyebutkan, adalah kapal yang melakukan berbagai tindakan pidana di bidang perikanan, seperti menangkap atau mengangkut di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI) tanpa surat izin usaha perikanan (SIUP). Selain itu, pelanggaran lain adalah menangkap ikan di WPP RI tanpa surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan mengangkut ikan tanpa surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).

“Kemudian, juga menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang dan merusak lingkungan,” jelasnya.

Akan tetapi, tentang kebijakan tersebut, pendapat berbeda diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanity Abdul Halim. Menurut dia, kebijakan penenggelaman hingga saat ini masih belum memberikan efek jera. Itu terbukti dengan masih maraknya aktivitas pencurian ikan di berbagai wilayah perairan Indonesia.

Halim menyebutkan kenapa hingga sekarang pencurian ikan masih terus terjadi, adalah karena terus menurunnya stok sumber daya ikan yang ada di sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Kondisi seperti itu, memaksa nelayan di negara-negara tersebut untuk tetap mencari ikan, meskipun harus mencuri dari perairan laut Indonesia.

Kemudian, alasan kedua kenapa praktik pencurian ikan masih terus terjadi, menurut Halim adalah karena diterapkannya sejumlah aturan berkaitan dengan upaya menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Aturan tersebut tidak hanya muncul di satu negara saja, melainkan di hampir semua negara Asia Tenggara.

“Alasan ketiga, adalah Pemerintah terlalu fokus pada kebijakan pengeboman atau penenggelaman kapal ikan dan justru telah mengabaikan betapa signifikannya ikhtiar menghadirkan praktik pengelolaan perikanan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab di dalam negeri,” tuturnya.

Tiga alasan tersebut, menurut Halim, bisa menjelaskan bagaimana kondisi sektor kelautan dan perikanan Indonesia untuk saat ini. Selama 48 bulan atau 4 tahun usia kabinet kerja Presiden RI Joko Widodo, pengelolaan sumber daya kelautan sektor tersebut justru terlihat kehilangan arah.

 

Exit mobile version