Mongabay.co.id

Banjir Bandang Sentani 89 Tewas, Ribuan Mengungsi, Apa Penyebab Bencana?

Banjir bandang di Sentani. Foto: BNPB

 

 

 

 

Banjir bandang dan longsor menghantam Kota Sentani dan Kota Jayapura, Papua, pada Sabtu (6/3/19), malam, menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Data sementara sampai Selasa pagi (19/3/19), Posko Induk Tanggap Darurat mencatat, korban meninggal dunia 89 orang, sebanyak 82 korban karena banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura, dan tujuh orang meninggal terkena tanah longsor di Ampera, Kota Jayapura.

Apa penyebabnya? Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, penyebab banjir bandang karena kejadian alam dan ulah manusia. BNPB merinci, curah hujan ekstrem 248,5 milimeter per detik selama tujuh jam dari pukul 17.00, salah satu penyebab.

“Penyebab lain, topografi bagian hulu Pegunungan Cycloop, memang agak curam dan curam. Sedangkan bagian hilir lebih datar dan landai. Batuan penyusun di hulu juga batuan remah yang mudah kena erosi,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusdatin Humas BNPB.

Baca juga: Ketika Banjir Bandang di Sentani Tewaskan Puluhan Orang

Kemudian, katanya, ada longsor sebagai proses alami di wilayah timur Sentani, membentuk bendung alam, lalu jebol ketika hutan ekstrem.

Lokasi titik banjir, di sembilan kelurahan, merupakan dataran aluvial dan berdekatan dengan lereng kaki, hingga secara geomorfologis merupakan sistem lahan yang tergenang.

Sutopo menegaskan, faktor alam ini bukan penyebab tunggal banjir bandang. Ada ulah manusia merusak hutan. Kerusakan hutan itu, katanya, antara lain karena, penggunaan lahan pemukiman dan pertanian lahan kering campur pada daerah tangkapan air banjir seluas 2.145 hektar. Juga penebangan pohon untuk buka lahan, perumahan dan keperluan kayu serta ada tambang galian C.

Selain itu, katanya, terjadi perambahan cagar alam oleh sekitar 43.030 orang sejak 2003.

Data BNPB, sembilan kelurahan terdampak yakni, Dobonsolo, Hinekombe, Hobong, Ifale, Ifar Besar, Keheran, Sentani Kota, Sereh, dan Yobhe.

“Titik terparah dengan korban terbanyak di Dobonsolo, Doyo Baru, dan Hinekombe,” kata Sutopo.

Pemerintah daerah juga mencatat jumlah kerusakan. Setidaknyanya, 350 rumah rusak berat, 211 rumah di BTN Bintang Timur Sentani terendam, dua gereja, satu masjid, delapan sekolah, 104 ruko, tiga jembatan, delapan drainase rusak berat. Satu pesawat jenis twin otter juga rusak di Lapangan Terbang Adventis Doyo Sentani.

Sejak kejadian Sabtu malam, penanganan darurat dilakukan oleh BPBD, TNI, Polri, SKPD, relawan dan masyarakat. Pencarian dan penyelamatan korban terus lanjut oleh Tim SAR gabungan.

Presiden Joko Widodo, kata Sutopo, juga memerintahkan BNPB segera evakuasi korban banjir bandang Sentani untuk hindari korban bertambah.

Presiden, katanya, juga memerintahkan penghijauan dan penanaman kembali hutan di hulu sungai yang bermuara di Danau Sentani.

Doni Munardo, Kepala BNPB tiba di Jayapura, dua hari pasca bencana melaporkan kepada presiden dampak bencana dan penanganan banjir, setelah koordinasi dengan Pemda Jayapuran dan Papua.

Pos komando didirikan di Kantor Bupati Jayapura, Gunung Merah Sentani. Kementerian PUPR melalui Ditjen Cipta Karya akan mendistribusikan prasarana dan sarana air bersh serta sanitasi ke lokasi terdampak.

 

Bongkahan batu dan kayu terbawa air kala banjir bandang melanda Kota Sentani. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Dua hari setelah banjir bandang. RSUD Yowaris sudah berfungsi kembali, Rumah sakit lain yang jadi rujukan yakni, RS Dian Harapan, RS Bhayangkara, RS Abepura dan RS Aryoko. Dinas Kesehatan Papua, mengerahkan 60 ambulans dan mobil jenazah untuk mengangkut korban.

Gardu listrik yang terdampak banjir baru pulih 45% atau 47 dari 104 gardu. Saat kejadian, 104 dari 244 gardu terdampak banjir bandang. Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) XVIII Jayapura mengerahkan empat eskavator, empat wheel loader (traktor dengan roda karet untuk mengangkut material), 10 truk jungkit untuk pembersihan ruas jalan nasional Jayapura-Sentani-Kemiri, sepanjang 70 km yang tertutup lumpur dan pohon tumbang.

Saat ini, kata Sutopo, kebutuhan mendesak korban, yakni makanan siap saji, selimut, air bersih, obat-obatan, pakaian, terpal, perlatan masak, alat berat, matras. Juga, makanan tambahan gizi dan peralatan rumah tangga untuk membersihkan lumpur.

Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, faktor utama banjir bandang curah hujan tinggi. ”Ini dibuktikan dari material yang hanyut dibawa banjir,” kata Ida Bagus Putera Parthama, Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung KLHK, di Jakarta.

Berdasarkan dari data yang dihimpun KLHK, katanya, hal paling mungkin terjadi adalah terjadi longsoran alami di hulu karena jenis tanah dan curah hujan tinggi.

Dia bilang, kondisi daerah tangkapan air juga sangat rawan longsor karena tingkat kecuraman tinggi dan jenis tanah sangat mudah longsor.

Jadi, timbunan tanah membentuk bendungan alami, saat hujan ekstrem, akan hanyut. Material yang terbawa ke hilir pun, antara lain, batu, kayu dan air.

”Yang kita yakini terjadi di hulu itu terjadi longsor mungkin sekian bulan atau sekian tahun lalu berbagai bendungan alami terbentuk, kemudian pada 16 Maret itu, selama tujuh jam hujan luar biasa maka bendungan alami itu jebol,” katanya.

Putera mengatakan, di hulu tak ada pembalakan liar. Hal itu terlihat dari, KLHK tak menemukan material kayu bekas tebangan hanyut terbawa banjir. ”Pohon-pohon itu masih lengkap dengan ranting dan akar. Ini menunjukkan, kayu-kayu bukan hasil penebangan yang menyebabkan banjir bandang.”

Dia bilang, akses sulit menuju hulu. Jadi, sangat tak mungkin terjadi pembalakan liar. ”Tidak ada jalan ke arah situ, jadi bukan manusia yang membikin longsor itu di hulu,” katanya.

Untuk hilir, dia benarkan kerusakan karena ada aspek manusia, misal, ada pengembangan kota tumbuh dari tahun ke tahun hingga daya serap di Sentani, berkurang.

Kala itu, beberapa lokasi terdampak banjir, seperti, Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram, Sentani dan sekitar. Lokasi-lokasi itu, merupakan dataran banjir (flood plain) dan berada di lereng Kaki perbukitan terjal. Luas daerah tangkapan air (DTA) di lokasi itu mencapai 15.199,83 hektar.

Putera bilang, luapan air Sungai Sereh atau Tahara dan Sungai Kemiri masuk ke DAS Sentani berhulu di Cagar Alam Pegunungan Cycloop.

Cagar Alam Pegunungan Cycloop, adalah suaka alam yang memiliki ciri khas tertentu, mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistem, sekaligus sistem penyangga kehidupan. Pegunungan Cycloop memiliki luas 31.479,89 hektar dan terdapat open area seluas 2.415 hektar, bersumber dari peta tutupan lahan 2017. Penyebab open area, antara lain pertanian tradisional, permukiman dan areal tak berhutan.

 

Tim evakuasi korban banjir bandang di Sentani. Foto: BNPB

 

 

Tata kelola pemukiman

Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), mengatakan, perlu memikirkan, tata ruang kawasan permukiman, terutama bila ada fenomena hujan ekstrem di Pegunungan Cycloop.

Wiratno mengelak, wilayah itu terjadi perambahan. ”Tidak ada perambahan, karena secara adat dikelola oleh lima suku besar di sana dalam bentuk kebun campuran. Kita bekerja sama dengan masyarakat adat,” katanya.

Laporan terkait pembalakan liar, katanya, hanya perorangan yang mungkin mengambil kayu untuk kebutuhan sehari-hari, bukan skala besar. ”Korporasi tidak ada di sana (yang membalak liar), medan berat sekali.”

Tudingan ada kerusakan di wilayah hulu, berdasarkan peta yang dimiliki KSDAE tak terjadi, kecuali daerah rehabilitasi. “Secara hutan masih bagus, cuma mereka memiliki kelerengan tajam. Walaupun tak rusak hutan, kalau kemiringan hutan tajam, curah hujan sangat ekstrem itu berdampak besar pada wilayah development (kota) di sini,” katanya.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus memikirkan tata ruang di hilir ketika ada fenomena hujan eksterem.

Cagar alam ini disebut memiliki keragaman hayati tinggi, ada 107 jenis satwa liar dan 279 jenis burung. ”Ini daerah evolusi penting, pusat endemis satwa dan sangat dimungkinkan ditemukan spesies baru sangat besar.”

Tak jauh beda dikatakan Prihananto Setiadji, Dosen Geologi di Dakultas Teknik Universitas Cenderawasih. Dia mengatakan, dalam fungsi cagar alam, salah satu aspek yang menjadi pertimbangan adalah wilayah itu rawan longsor dan sumber mata air.

“Rawan longsor karena kemiringan lereng sangat curam dan tanah relatif tipis serta batuan dasar mudah hancur. Hingga akar tanaman tak dapat menggenggam kuat pada tanah atau batuan dan menjadi beban untuk kondisi lereng yang labil,” katanya.

Pegunungan Cycloop juga daerah tangkapan hujan dan jatuhan hujan karena letak antara samudera yang luas dan bersuhu relatif panas di utara dan pegunungan tengah Papua dengan bersuhu relatif dingin. Cycloop pun menjadi sumber air.

Saat ini, katanya, intensitas curah hujan sangat ekstrem, tampungan air di atas di ketinggian lebih dari 600m dpl mengalami kejenuhan.

“Bobot massa bertambah maka secara gravitasi mudah bergerak turun atau meluncur menjadi longsor bebatuan. Massa inilah dikenal sebagai longsoran.”

Masalah lain, katanya, kawasan penyangga Pegunungan Cycloop, rusak. Sebenarnya, dia bilang, perubahan lebih banyak terjadi di zona penyangga daripada di kawasan Cycloop. Kondisi ini, berperan dalam memicu ketidakseimbangan, baik hidrologi maupun ekologi

“Contoh penggalian bebatuan di sungai, itu dapat menyebabkan berkurangnya daya menahan terhadap beban. Kehilangan satu bagian di bawah akan digantikan oleh satu bagian dari atasnya. Ini juga memberi ikutan bagi material lain, seperti tanah dan pepohonan.”

Sayangnya, hal ini tidak disadari oleh banyak pihak. Penggalian material, marak di berbagai titik.

Aiesh Rumbekwan dari Walhi Papua menyatakan, banjir bandang ini bukan peristiwa alam biasa. Ada para pihak mengalih fungsi dan pembalakan, baik secara sadar maupun tidak.

Pemerinta Kabupaten Jayapura, katanya, diminta segera meninjau dan mengkaji perencanaan pembangunan dan tencana tata ruang wilayah (RTRW), dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak langsung.

 

Kepala BNPB Doni Monardo, bersama rombongan di Sentani. Foto: BNPB

 

 

Tutupan lahan bagus

Putera mengatakan, perubahan tutupan lahan dari hutan menjadi non-hutan tak terjadi signifikan. Berdasarkan data 2012-2017, terjadi alih fungsi lahan 3,3% atau 495,47 hektar. ”Jadi kurang kuat mengasosiasikan kejadian ini kaitan dengan perubahan tutupan hutan,” katanya.

Untuk hutan lahan kering primer terjadi penurunan dari 6.524,92 hektar (2012) menjadi 5.839,61 hektar (2017). Hutan lahan kering sekunder dari 2.108,25 hektar bertambah jadi 2.298,08 hektar. Keduanya, merupakan tutupan lahan daerah tangkapan air banjir di wilayah itu.

Meski demikian, pada daerah tangkapan air, ada pemukiman dan lahan pertanian kering yang dikelola masyarakat total 2.415 hektar. “Itu stabil dari waktu ke waktu.”

Untuk pertanian lahan kering campur, bertambah 16,19 hektar, dari 3.907,19 hektar menjadi 3.923,38 hektar pada 2017, sedangkan semak belukar dari 465,74 hektar jadi 944,07 hektar. Selain itu, hutan rawa primer (463,29 hektar), hutan rawa sekunder (139,15 hektar), pemukiman (158,29 hektar) dan sebagai luasan relatif sama tak terjadi perubahan.

 

 

Kirim tim

KLHK melalui Keputusan Menteri akan mengirimkan satuan tugas untuk mempelajari banjir bandang yang melanda Sentani, Jayapura. Adapun, satgas ini dipimpin oleh M Saparis Sudaryanto, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai.

”Kami akan mengumpulkan fakta seakurat mungkin dan rekonstruksi longsor hingga punya gambaran lebih komprehensif penyebab longsor dan kontribusi dari mana,” kata Saparis.

Fakta ini, akan menjawab seluruh anggapan yang bermunculan. KLHK juga akan membentuk posko informasi untuk memperbaharui informasi terkait banjir bandang Sentani.

Selain itu, KLHK akan meningkatkan alokasi rehablitasi hutan dan lahan di Papua dari 1.000 hektar jadi 2.500 hektar, serta pembangunan sarana konservasi tanah dan air (KTA), yaitu dam penahan erosi (gully plug) dan DAM pengendali dan saluran pembuangan air (SPA).

 

Keterangan foto utama:    Banjir bandang di Sentani, yang menewaskan hampir 90 orang dan merusak rumah dan fasilitas lain. Foto: BNPB

 

Rumah rusak di Jalan Sosial, Sentani, setelah dihantam banjir bandang. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version