Mongabay.co.id

Sejak Ada Kejelasan Hukum, Petani Hutan di Pemalang Percaya Diri Garap Lahan Perhutani

Krisis ekonomi, kerusuhan sosial, serta pergantian tampuk kepemimpinan terjadi pada tahun 1998. Dampaknya terasa hingga ke daerah-daerah. Di tengah situasi carut marut politik di tingkat nasional, dimana-mana terjadi perambahan hutan.

Di Randudongkal dan Belik, Pemalang, Jawa Tengah misalnya, pohon jati habis ditebangi. Hingga bertahun-tahun setelahnya, penjarahan yang dilakukan menyisakan kawasan gunung dan perbukitan yang gersang. Jika musim hujan rawan terjadi longsor, kalau kemarau tiba area itu berdebu dan panas.

“Bertahun-tahun sejak 1998, daerah itu jadi gundul,” ungkap Maun, (47) salah seorang petani di Desa Kejene, Kecamatan Randudongkal, Pemalang kepada Mongabay Indonesia (11/3) lalu.

Dia bercerita, warga bukannya tak berusaha menanami lahan dengan berbagai pohon dan tanaman. Namun mereka terkendala. Kawasan itu secara legal formal dibawah wilayah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pemalang.

“Tidak jarang, ketika kami tanam [tak lama] sudah dibabati tanamannya. Ya, pastinya oleh petugas,” ungkapnya.

Maun bilang dirinya termasuk yang dulu nekad menanami kawasan setempat dengan jagung. Kadang dibiarkan sampai masa panen. Agar tanamannya tak dibabat, dia mengaku biasa dimintai “uang bakaran”; semacam “upeti’ yang dipungut oknum petugas.

Tidak hanya Maun, para petani lain juga mengalami hal serupa. Problemnya sama, mereka tidak memiliki lahan. Satu-satunya jalan agar mampu mencukupi kebutuhan pokok adalah menanam di lahan Perhutani, meski itu bukan tanah milik warga.

Bertahun-tahun masalah itu pun tak unjung usai. Berangkat dari keprihatinan, para pemuda Desa Gongseng, Randudongkal, mencoba untuk mencari solusi untuk menghijaukan lahan gersang di Gunung Gajah yang gersang.

Sekitar tahun 2013, para pemuda yang tergabung dalam Gongseng Pecinta Alam (GPA) bertekad ingin mengembalikan hutan di Gunung Gajah. Tujuannya agar gunung itu tampak hijau. Kusnendar, salah satu tokoh pemuda, ingat betul saat itu pembicaraan dengan pihak Perhutani cukup alot.

 

Kawasan Gunung Gajah sebelum ada program perhutanan sosial. Foto Dok: KTH Gunung Gajah Lestari

 

“Niatan kami hanya ingin Gunung Gajah kembali asri. Tidak gersang,” jelasnya.

Tanaman yang mereka pilih adalah mangga. Alasannya pohon itu tidak akan ditebang warga di kemudian hari, tapi hanya diambil buahnya. Kisaran penyumbang antara Rp10-Rp20 ribu. Total uang terkumpul Rp250 ribu, yang segera mereka belikan bibit.

Di tengah suara skeptis. Ada yang bilang upaya pemuda tak akan berhasil. Kusnendar dan rekan-rekannya pun tetap bergeming.

Setelah setahun berjalan, perubahan mulai terlihat. Pepohonan yang ditanam di lahan gersang itu ternyata hidup. Bantuan dari berbagai instansi pemerintah lalu mengalir.

“Setahun kemudian, kami gerakkan siswa SD dan SMP di Gongseng untuk ikut menanam berbagai bibit. [Ada pihak] yang menyumbang 1.500 batang, ada juga yang hanya 100 batang maupun 150 batang.”

 

Cikal Bakal Perhutanan Sosial

Tak dinyana, apa yang dilakukan para pemuda Desa Gongseng ternyata menjadi modal di kemudian hari, seperti dijelaskan M. Hanafiah, Direktur LSM Yayasan Mitra Desaku Mandiri Pemalang. Yayasan ini bekerja mendampingi petani dan warga desa memulai penghijauan di kawasan Perhutani yang gundul.

“April 2017, saya dan Siti Fikriyah, Direktur Yayasan Kehutanan Indonesia (YKI), dipanggil ke KLHK. Kami ketemu Dirjen Planologi Prof San Afri Awang. Beliau sebut KLHK ada wacana perhutanan sosial di lahan Perhutani,” sebutnya.

Sebelumnya, Hanafi bilang Menteri LHK telah mengeluarkan Permen LHK No. 83/2016 yang mengatur mengenai Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK).

Dalam pertemuan itu, KLHK meminta Hanafi mencari lokasi yang cocok untuk pilot project perhutanan sosial.  Hanafi ingat apa yang telah dilakukan GPA di Gunung Gajah. Dia pun lalu ajukan usulan perhutanan sosial di Gunung Gajah, Kecamatan Randudongkal dan Gunung Jimat di Kecamatan Belik.

Saat dicocokkan, tim Planologi KLHK menemukan kondisi jika di kedua wilayah itu telah gundul selama bertahun-tahun.

Tak lama berselang, lewat Permen LHK No. 39/2017 KLHK mengeluarkan aturan Perhutanan Sosial di wilayah kerja Perum Perhutani.

 

Maun, petani dan anggota KTH Geralang Asri Jaya. Kelompok tani mengembangkan pembibtan tanaman kayu. Foto: L. Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dalam konsep yang dibikin, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) dapat diberikan kepada masyarakat untuk 35 tahun lewat Surat Keputusan (SK). Lahan tetap milik negara, tetapi dikelola oleh masyarakat.

“Pasal 4 [dalam aturan] menyebut kalau Perhutanan Sosial dapat diberikan pada wilayah yang tutupan hutannya kurang dari 10 persen secara terus-menerus dalam waktu 5 tahun atau lebih,” sebut Hanafi.

Hingga akhirnya pada November 2017, bertempat di Boyolali, Presiden Jokowi sendiri yang memberikan SK IPHPS kepada para petani, termasuk para petani dari Pemalang. Dari total sekitar 1.600 hektar lahan gundul di Kabupaten Pemalang kini dimasukkan dalam program IPHPS.

Di Kecamatan Randudongkal, Kelompok Tani Hutan (KTH) Gunung Gajah Lestari Desa Gongseng mengeola 294 ha dengan jumlah penggarap 197 KK. Di kawasan Geralang yang meliputi Desa Kejene, Kreyo dan Mereng dengan luasan 537 ha dikelola oleh 443 KK lewat KTH Geralang Asri Jaya.

Di Kecamatan Belik, IPHPS seluas 793 ha dikelola oleh KTH Rimba Agro Abadi dengan anggota 739 KK. Wilayah itu meliputi lima desa yakni Simpur, Sikasur, Bulakan, Mendelem dan Beluk. Masing-masing petani menggarap antara 0,5 hingga 1,5 ha.

Lalu apa yang terjadi setelah penyerahan SK IPHPS bagi para petani?

Suwaryo (53) anggota KTH Geralang Asri Jaya, menyebut dengan adanya SK mereka tak lagi was-was saat berangkat ke ladang. “Kami bisa tanam beragam jenis tanaman. Selain mangga, kami masih dapat menanam tanaman pangan seperti jagung.”

Juga Rohati (40) petani asal Dusun Puncangsari, Desa Kejene bilang kalau panen jagungnya berhasil.

“Dari 1 hektar, tidak seluruhnya ditanami jagung, harus ada pohon seperti mangga dan albasia. Panen sekarang, saya dapat hasil 50 karung jagung, sekitar 2 ton.”

 

Kawasan Gunung Jimat di Kecamatan Belik yang menjadi salah satu lokasi perhutanan sosial di Pemalang. Foto: L. Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Selain menggarap lokasi, petani juga mengelola Kebun Bibit Rakyat (KBR), seperti yang dilakukan KTH Geralang Asri Jaya. Sebagian bibit dibantu pengadaannya oleh Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pemali Jratun.

“Ada pembagian buat masing-masing kelompok. Misalnya, saya sebagai koordinator memasok bibit untuk lahan 60 ha. Bibitnya ada sengon, nangka, petai, jengkol, durian, kopi. Bibit dipasok kepada masing-masing anggota agar ditanam di lahan,” sebut Maun.

Kusnendar yang sekarang terpilih menjadi Ketua KTH Gunung Gajah Lestari menyebut sekarang kelompok taninya telah menanami 100 hektar lahan gersang di Gunung Gajah dengan bibit jati.

“Per hektar sebanyak 1.000 batang, jadi totalnya ditanam 100 ribu pohon. Usianya masih muda, baru kisaran setahun,” jelasnya.

Menurut Kusnendar, di sela jati masyarakat masih dapat menanami jagung. Juga tanaman buah lainnya seperti mangga, petai, dan jengkol.

“Jangan ditanya semangat para petani. Begitu ada kepastian hukum, mereka langsung antusias, terus menanam dan menggarap lahan.”

Hanafi pun mengamini dampak yang terjadi di tingkat petani. Sebagai pendamping, dia merasakan betul bahwa sekarang petani telah berani bermimpi.

“[Karena] mereka tidak lagi terbelenggu aturan larangan penggarapan lahan. Kami bersama petani akan terus berproses, karena program perhutanan sosial ini efektif baru berjalan setahun lebih,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version