Mongabay.co.id

Tuntutan Jaksa Tidak Maksimal, Pelaku Kejahatan Satwa Liar Tidak Takut Hukuman

 

 

Maraknya perburuan dan perdagangan satwa ilegal di Indonesia, tidak hanya disebabkan lemahnya pengawasan tetapi juga rendahnya hukuman bagi pelaku kejahatan. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum mutlak diperlukan guna memberikan vonis maksimal bagi pelaku kriminal tersebut.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Noor Rochmad mengatakan, pihaknya sering menerima keluhan dari LSM maupun pegiat lingkungan terkait tuntutan jaksa di daerah yang rendah bagi pelaku kejahatan satwa liar. Untuk itu, pengetahuan jaksa penuntut umum dalam kasus tindak pidana satwa liar harus ditingkatkan.

“Harapannya satu visi, kita bersama memerangi kejahatan dan pelaku dihukum setimpal perbuatannya,” ujarnya pada Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penuntut Umum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait Satwa Liar, di Surabaya, Jawa Timur, awal pekan ini.

Noor Rocmad menambahkan, kejahatan satwa liar saat ini telah berkembang menjadi kejahatan ekonomi. Ini dikarenakan, hasil penjualannya dipakai untuk tindak krimianl lainnya. “Penanganannya tidak hanya satu aturan, bisa beberapa ketentuan untuk memberi efek jera pelaku,” katanya.

Kepala Kejaksaan Tinggi [Kejati] Jawa Timur, Sunarta mengatakan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan jaksa, khususnya satwa liar di Jawa Timur, memang harus dilakukan. “Seperti kasus di Jember beberapa waktu lalu. Penanganannya harus spesifik karena benda hidup, jadi harus lebih cepat tindakan hukumnya,” terangnya.

Baca: Pentingnya Analisis DNA untuk Perangi Kejahatan Satwa Liar

 

Awetan harimau sumatera yang disita dari pelaku kejahatan satwa liar di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak efektif

Ketua Umum International Animal Rescue [IAR] Indonesia, Tantyo Bangun berpendapat, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menjadi dasar konstitusi perlindungan tumbuhan dan satwa liar di Indonesia, saat ini sudah tidak efektif. Ini terkait ancaman pidana yang rendah bagi pelaku kejahatan, yang tidak menjadikannya jera.

IAR mencatat lebih 80 persen satwa yang diperdagangkan melalui pasar burung maupun media sosial, merupakan tangkapan atau hasil perburuan di alam liar. Menurut International Enforcement Agency [IEA], kejahatan satwa liar tingkat dunia menempati posisi kedua setelah narkotika. Sedangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], mencatat nilai kerugian negara akibat perdagangan satwa liar mencapai Rp13 triliun per tahun.

“Dampak perburuan dan perdagangan satwa liar menimbulkan kerugian ekonomi, karena diperlukan biaya tinggi untuk merehabilitasi. Belum lagi fungsinya di ekosistem yang hilang,” ujarnya.

Meningkatkan kualitas tuntutan jaksa, menurut Tantyo, tentunya akan mempengaruhi putusan hakim. Untuk itu, jaksa diharapkan tidak ragu membuat tuntutan tinggi terhadap pelaku kejahatan satwa liar. “Semakin serius, pembuktian kuat, hakim tentunya akan mendukung,” ujarnya.

Baca: Peran Saksi Ahli Ungkap Kejahatan Satwa Liar Sangat Penting, Mengapa?

 

Ini adalah kukang hasil sitaan Gakkum KLHK. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Edukasi

Hari Sutrisno, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] mengatakan, penindakan hukum merupakan langkah baik untuk jangka pendek. Sementara, jangka panjangnya perlu edukasi dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati.

“Yang paling penting adalah ekosistem dan habitat dijaga, karena kerusakan yang mengkhawatirkan berupa konversi lahan. Ini lebih dominan dibanding over eksploitasi, yang bukan berarti harus diabaikan. Kerugian ekosistem tidak akan pernah tergantikan,” imbuhnya.

Kontrol pemanfaatan satwa di suatu kawasan, kata Hari, ditentukan melalui kebijakan pemerintah dengan rekomendasi dan kajian dari LIPI melalui penetapan kuota. Setiap tahunnya, daftar tumbuhan dan satwa liar dilindungi didata oleh LIPI, dan dapat direvisi atau dievaluasi setiap 5 hingga 10 tahun.

“Kalau ada spesies di alam yang tertekan, jumlah populasinya menurun, dieksploitasi, akan dimasukkan ke up listing, atau down listing kalau kondisi sebaliknya.”

Hari yang juga pakar zoologi menambahkan, masih banyaknya kerusakan di alam yang berpengaruh terhadap populasi tanaman maupun satwa. Indikasinya dapat dilihat dari daftar satwa dan tanaman yang dilindungi. “Ketika sudah masuk perlindungan artinya di alam sudah langka. Kalau tidak langka berarti endemik, atau kemungkinan, kecenderungan populasinya menurun,” paparnya.

Baca juga: Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita

 

Julang sulawesi [Rhyticeros cassidix] di alam berfungsi sebagai pemencar alami tumbuhan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH], KLHK, Indra Eksploitasia mengungkapkan, maraknya perdagangan satwa liar ilegal merupakan tantangan yang dihadapi kementeriannya. Tantangan ini berupa penanganan konflik antara satwa dengan manusia, serta pengawasan dan mekanisme perizinan terkait perlindungan satwa sesuai peraturan yang berlaku.

“Ada dua tantangan, in situ dan ex situ, menangani konflik satwa dengan manusia dan pengawasan efektif, bagaimana semua mekanisme perizinan sesuai dengan perundangan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version