Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial di Pemalang. Petani Membangun Kemandirian, Keluar dari Jerat Tengkulak dan Praktik Ilegal

 

Baca artikel sebelumnya: Sejak Ada Kejelasan Hukum, Petani Hutan di Pemalang Percaya Diri Garap Lahan Perhutani

 

Hujan di sore hari baru saja reda. Wajah perbukitan Gunung Jimat tampak diselimuti kabut. Kala kabut pelan-pelan terbuka, terlihat kawasan yang mulai menghijau. Meski belum terlalu rimbun, pepohonan dari kejauhan sudah tampak tumbuh.

Terlihat seorang ibu melintas. Dia baru saja pulang dari ladangnya di Gunung Jimat. “Tadi habis panen jagung sama singkong,” jelasnya (11/03).

Karni (56), sosok ibu itu, adalah seorang petani penggarap yang menerima Surat Keputusan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (SK-IPHPS). Bersama suami, dia tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Rimba Agro Abadi, Desa Simpur, Kecamatan Belik, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.

“Saya dan suami menggarap lahan seluas 0,5 hektar dengan tanaman albasia, jagung dan singkong.”

Warga lain, Darso (56), mengungkap dulu jika musim kemarau datang, kebakaran pasti terjadi di kawasan hutan pinus. Dia menduga kebakaran itu disengaja. Tapi sekarang kebakaran tak pernah lagi terjadi.

“Setelah ada SK, petani menjaga areal kelola masing-masing. Tak ada lagi cerita kebakaran di Gunung Jimat.”

Dengan telah mengantongi SK dan secara legal formal diakui, Darso menyebut saat ini petani tak lagi was-was saat menggarap lahan Perhutani. Dia pun amat bersemangat untuk terus menggarap lahan IPHPS 35 tahun yang dia terima.

Apalagi, dia menjadi salah satu perwakilan petani Pemalang saat menerima SK IPHPS di Boyolali. “Saya sempat salaman sama Pak Jokowi,” katanya.

Baca juga: Cerita Para Petani di Jawa yang Peroleh Hak Kelola Hutan

 

Pohon jati di kawasan Perhutanan Sosial Gunung Gajah, Randudongkal yang mulai ditanam para penggarap. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sejak mendapat IPHPS tahun 2017, para petani mulai bergerak menggarap kawasan Gunung Jimat yang totalnya 793 hektar. Total ada 739 petani yang berasal dari lima desa, yaitu Simpur, Sikasur, Bulakan, Mendelem dan Beluk.

Untuk masalah bibit, mereka punya Kebun Bibit Rakyat (KBR). Diantaranya adalah bibit tanaman keras. Baik kayu maupun buah.

“Ada berbagai bibit seperti albasia, durian, petai, jengkol, mangga dan kopi. Semua dikelola masing-masing kelompok, nantinya didistribusikan kepada para anggota,” ucap Robai, pendamping petani KTH Rimba Agro Abadi. Sebutnya, satu KBR didesain untuk siap menanami 60 hektar lahan.

Lewat KTH, para petani penggarap juga mulai membangun koperasi. Sebelumnya, petani tergantung kepada tengkulak untuk mendapat pinjaman modal kerja untuk bibit, pupuk sampai obat-obatan. Jeratan tengkulak bagi petani dianggap amat mencekik leher.

‘[Kalau dihitung] dalam satu musim panen, hutang Rp5 juta, nanti kalau bayar pengembalian lewat cicilan, total bisa sampai Rp10 juta,” jelas Maun (47), petani asal Desa Kejene, Kecamatan Randudongkal.

Tengkulak pula yang menentukan harga beli di tingkat petani saat panen.

“Tapi kalau harga jagung di pasaran Rp4 ribu/kg, mereka belinya Rp3.800/kg, jadi lebih murah. Juga kalau pinjam bibit jagung 7 kg, nanti dikembalikan sebanyak 10 kg.”

 

Petani pulang dari perbukitan di Desa Kejene, Kecamatan Randudongkal, Pemalang. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Membongkar Belenggu

Perhutanan sosial IPHPS yang diatur dalam Permen LHK No. 39/2017 dianggap telah membuka belenggu sistem yang selama ini dianggap memiskinkan petani yang hidup dalam pola subsisten.

“Sebelum ada perhutanan sosial, mereka sering ada yang ditarik Rp1 juta saat menggarap lahan [Perhutani]. Bahkan di tempat lain di luar Pemalang ada yang sampai Rp5 juta,” jelas Siti Fikriyah, Direktur YKI yang menjadi pendamping masyarakat.

Di kalangan petani penggarap, praktik rente sewa lahan ini disebut dengan “uang bakaran” yang ditarik oleh para oknum. Dengan membayar sejumlah uang tertentu, petani diberi “izin garap kapling” untuk suatu waktu, semisal 2-3 tahun, hingga lahan itu akan ditanami secara siklus dengan jati atau tanaman kayu keras lainnya.

Sekarang lewat koperasi, para petani tetap bersepakat untuk menarik iuran garap yang besarnya Rp500 ribu. Namun, alih-alih dibayarkan kepada oknum, uang ini dikumpulkan untuk biaya kebutuhan kelompok. Sekarang dana terkumpul telah mencapai Rp500 juta.

“Jumlahnya tidak sedikit dan dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan kelompok,” ucap Fikri.

Dia menambahkan jika prinsip kerja perhutanan sosial adalah gotong royong, yang melibatkan unsur manajemen; manusia, lahan dan produksi. Semua dilakukan secara bersama-sama.

Fikri juga menyebut dengan izin IPHPS, membuat petani dapat bermitra dengan pihak lain di luar Perhutani.

Dia bilang, dulu Kementerian Pertanian memiliki program untuk masuk membantu petani menanami palawija di bawah tegakan hutan, namun tak terealisir, karena terhalang regulasi dimana kawasan ini merupakan kewenangan Perhutani.

“Sekarang Kementan membantu survei areal mana yang dapat ditanami durian, luasnya areanya 10-20 hektar.”

 

Petani di Desa Kejene, Kecamatan Randudongkal, Pemalang menguliti jagung hasil panenan dari lahan Perhutanan Sosial. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Demikian juga dengan Kementerian Koperasi yang sekarang dapat melakukan pelatihan keterampilan untuk para anggota koperasi. Kementerian Desa pun dapat masuk, membantu jaringan infrastruktur jalan produksi hingga di dalam kawasan.

Dengan model IPHPS yang punya 35 tahun waktu kelola, kelompok petani juga dapat turut terlibat dalam pengelolaan lokasi tanam. Termasuk mempertimbangkan beragam unsur ekologi, tak cuma ekonomi semata.

“Misalnya untuk areal yang berada di sekitar air dan berbukit, petai dan jengkol yang dipilih untuk ditanam. Di wilayah datar albasia dan jagung. Itu yang mengerti adalah pendamping dan petani. Mereka yang akan memutuskan.”

Lewat KBR, petani juga mengadakan dan memelihara bibit secara bersama-sama. Tujuannya agar bibit terus tersedia, tak tergantung kepada bantuan pihak lain, bahkan kedepannya diharap dapat berkembang menjadi usaha pembibitan. Iuran pengadaan bibit untuk petani, sebutnya diantara Rp1.000-Rp5.000.

Simpanan yang dilakukan dalam koperasi pun tak hanya dalam bentuk uang. Petani dapat menyetor sebagian jagung atau komoditi lain sebagai simpanan.

“Koperasi yang dimiliki bersama oleh petani akan menampung dengan harga yang pantas. Di sinilah pentingnya mitra dalam pemasaran.”

Meski demikian, pekerjaan utama yang terus didorong adalah memotivasi warga agar terus percaya bahwa lewat Perhutanan Sosial model IPHPS mereka dapat menuju kemandirian dan menggapai kesejahteraan.

“Membangun kesadaran tidaklah gampang, tetapi kami akan dorong terus. Lewat kelompok dan koperasi, selain meningkatkan kapasitas, kami juga akan terus motivasi warga,” jelas Kusnendar, salah satu tokoh penggerak kelompok tani hutan di Randudongkal.

 

Foto utama: Kebun bibit rakyat (KBR) di Desa Sikasur, Kecamatan Belik, Pemalang. Foto: L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version