Mongabay.co.id

Sungai Kampar Tercemar, Adakah Upaya Pemulihan?

Mengukur kedalaman Sungai Kampar, dengan echo sounder. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Dinas Lingkungan Hidup Riau, melakukan evaluasi kualitas Sungai Kampar, dari 2014 sampai 2018. Mayoritas titik pantau menunjukkan, Sungai Kampar, tercemar berat. Sayangnya, belum ada upaya perbaikan atau pemulihan di sungai tempat warga tangkap ikan, sumber air PLTA sampai tujuan wisata berselancar ini.

Pada penghujung 2018, warga Meranti, khawatir dengan pencemaran di Sungai Kampar dan berupaya mencari jawaban dengan uji laboratorium mutu air. Aet Rudianto dan Syahruddin, menyerahkan 10 botol air Sungai Kampar dari Desa Pangkalan Terap, Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan ke Pusat Studi Bencana (PSB) Universitas Riau. Masing-masing, enam botol kaca ukuran 140 ml dan empat botol kaca ukuran 100 ml. Ada terisi penuh, sebagian hanya separuh.

Adhi Prayitno, peneliti di PSB menyambut dua aktivis Jaringan Masyarakat Gambut Riau itu di ruangan Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Riau. Dosen Teknik Kimia berjenggot putih itu, hendak menguji sampel air pada laboratorium milik Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Riau.

“Kita pakai labor yang benar-benar sudah disertifikasi,” kata mantan Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Kerjasama dan Sistem Informasi Universitas Riau, itu.

Satu bulan kemudian, Adhi mengabari, pengelola laboratorium tak bersedia menganalisis sampel karena mekanisme pengambilan tak memenuhi syarat. Kurang lebih, maksudnya, pengambilan air harus di beberapa titik, pakai wadah khusus dan waktu tak lebih satu pekan dari peristiwa ikan mati dalam sungai.

Dalam keterangan yang dikirim lewat Whatsapp, Adhi berjanji turun kapan saja ambil sampel bila ada peristiwa serupa.

 

Sampai ke KLHK…

Pertengahan Desember, tahun lalu, Pangkalan Terap, banjir hampir satu bulan. Kala itu, warga makin kesulitan karena ikan-ikan di Sungai Kampar, mati mengapung termasuk dalam alat tangkap yang sehari-hari warga pakai. Reaksi warga hingga pemberitaan media kemudian sampai ke Jakarta.

Dari Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menugaskan Suryanta Sapta Atmaja, Kepala Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan Daya Tampung Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup, pada Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, Pekanbaru, ambil sampel air dan menguji di laboratorium.

Sapta menyerahkan hasil ke Jakarta, beberapa minggu kemudian. Kala ditanya hasil, dia bilang, tak punya kewenangan menjelaskan. Sapta mengarahkan ke Luckmi Purwandari, yang baru menjabat Direktur Pengendalian Pencemaran Air, KLHK.

 

Pertambangan sirtu yang diduga sebagai salah satu penyebab pencemaran air Sungai Kampar, Meranti, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Luckmi minta daftar pertanyaan dikirim ke Whatsapp, sembari minta waktu cari laporan untuk dipelajari terlebih dahulu. Satu minggu kemudian, belum ada jawaban. Luckmi menunggu staf masih di luar negeri. Minggu berikutnya, juga begitu. Staf tak ada yang tahu.

Komunikasi dengan Sapta dan Luckmi, berlangsung lebih dua bulan. Intinya, Sapta menyebut, tidak punya kapasitas menjelaskan. Luckmi, tetap minta waktu cari laporan itu. Hampir tiap minggu, jawaban sama. Sampai Selasa 12 Maret 2019, Luckmi beri jawaban lewat percakapan telepon.

Sampel air di diambil pada dua titik, Pangkalan Terap dan Kuala Panduk. Kata Luckmi, masalahnya, pada pH dan chemical oxygen demand (COD). “BOD (biochemical oxygen demand-red) dan TTS (total suspended solid-red) masih normal dan sesuai baku mutu,” katanya.

Di Kuala Panduk, pH air 5,65, Pangkalan Terap 5,82. Baku mutu 6-9. Kesimpulannya, tak memenuhi baku mutu air Sungai Kampar kelas II berdasarkan PP 82/2001 tentang, pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Untuk beban pencemaran COD terjadi di Kuala Panduk adalah 53,09 mg perliter dan Pangkalan Terap 61,09 mg perliter, lampaui baku mutu, 25 mg perliter.

Rendahnya pH air, kata Luckmi, karena pengaruh pasang surut air laut. Sedangkan sumber pencemaran paling banyak dari limbah rumah tangga atau pertanian.

“Ada PT RAPP di sana tapi jarak jauh dari lokasi ikan-ikan mati saat banjir kemarin. Sekitar 50 kilometer,” katanya. Dia meminta, pemerintah daerah cek langsung ke perusahaan.

Sebagai tindak lanjut hasil uji sampel, Luckmi menyarankan, pemerintah daerah bikin kajian daya dukung dan daya tampung sungai dan ditetapkan lewat peraturan gubernur.

 

Mengkukur morfologi Sungai Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tercemar berat

Panjang Sungai Kampar 580 km. Ia gabungan Sungai Kampar Kanan dengan Sungai Kampar Kiri, yang bertemu di Desa Muara Sako, Kecamatan Langgam, Pelalawan. Hulu sungai ini dari Bukit Barisan sekitar Sumatera Barat.

Bagian hulu untuk pembangkit listrik tenaga air dikenal dengan PLTA Koto Panjang berkapasitas 114 megawatt. Ombak Bono, di hilir sungai makin terkenal setelah banyak turis berselancar.

Sungai Kampar, mengaliri tiga kabupaten di Riau. Selain Kampar dan Pelalawan, ia juga melewati Kuantan Singingi.

Untuk mengawasi kualitas air sungai, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, memantau tiga sampai empat kali dalam setahun pada musim hujan dan kemarau. Titik pantau tersebar pada 17 lokasi mencakup tiga kabupaten. Dari hulu ke hilir dianggap mewakili keseluruhan sungai.

Hasil evaluasi dari 2014 sampai 2018, mayoritas titik pantau menunjukkan, Sungai Kampar tercemar berat. Tak ada perbaikan kualitas air sungai selama empat tahun atau belum memenuhi baku mutu air kelas I maupun kelas II, berdasarkan Keputusan Gubernur Riau Nomor 23/2003, tentang peruntukan dan baku mutu air Sungai Kampar.

Kesimpulan DLHK dalam evaluasi ini, parameter dominan penyebab penurunan kualitas air Sungai Kampar di beberapa titik pantau adalah dissolved oxygen (DO), BOD, COD, klorin bebas, fecal coli dan total fosfat. Di beberapa titik pantau lain dominan parameter TSS, besi dan total coliform.

Sumber pencemaran itu dari aktivitas domestik, industri, peternakan, perkebunan, pertanian, hutan tanaman industri, perikanan dan pertambangan.

Evaluasi ini menyatakan, limbah domestik jadi sumber utama pencemaran Sungai Kampar, selain industri, perkebunan dan pertanian. Belum ada metode pengawasan berkelanjutan untuk mengatasi pembuangan limbah dari rumahtangga.

“Kalau industri, bisa kita kenakan sanksi,” kata Nelson Sitohang, Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

 

Pengambilan sampel air di Sungai Kampar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Nelson mendorong, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal mulai dari tingkat RT. Dia mengharapkan, instansi terkait seperti Dinas Pekerjaan Umum, terlibat. Untuk pelaku industri, dia menyarankan, tiap daerah harus betul-betul mengkaji daya tampung dan daya dukung sungai atas limbah yang dikeluarkan.

Selama ini, Nelson melihat, izin pembuangan limbah di daerah hanya diperpanjang tanpa ada evaluasi. Baku mutu yang ditetapkan tidak berubah meski berlangsung bertahun-tahun. “Mestinya disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung sungai saat itu.”

Dengan begitu, katanya, akan mendorong pelaku industri menambah teknologi pembuangan limbah sampai pada baku mutu yang ditetapkan. “Sungai juga punya daya tahan. Tidak selamanya mampu menampung limbah itu.”

Dia menginginkan, ada semacam rencana detail tata ruang untuk menetapkan jumlah dan kapasitas industri dalam satu kawasan. Sayangnya, dia tak punya data jumlah industri yang membuang limbah ke sungai.

Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera, pernah bikin kajian daya tampung beban pencemaran Sungai Kampar pada 2014. Modelnya, mereka membagi Sungai Kampar jadi lima wilayah dan menetapkan beberapa titik pantau. Parameter yang diukur, BOD, COD dan TSS.

Hasilnya, wilayah I, dari Muara Takus sampai Jorong Pertemuan, sepanjang 78,1 km, mengalami kelebihan beban pencemaran BOD 19,045 ton per hari. Beban pencemaran COD dan TSS masih di bawah baku mutu.

Sebaliknya, wilayah II, dari Muara Sako sampai Rantau Berangin, sepanjang 175,4 km, beban pencemaran BOD dan COD di bawah baku mutu, sedang TSS melampaui daya tampung 143,396 ton per hari.

Zuchri Abdi, Kasub Bidang Transportasi, Manufaktur, Industri dan Jasa, mengatakan, wilayah I dan II merupakan sumber bahan baku air minum.

Kondisi mengkhawatirkan justru terjadi di wilayah II, mulai Muara Sako hingga Sungai Subayang sepanjang 140,3 km. Beban pencemaran BOD melebihi daya tampung 170,108 ton per hari. Kelebihan beban pencemaran COD 108,764 ton per hari.

Paling parah beban pencemaran TSS. Dengan daya tampung 358,292 ton per hari, beban pencemaran sampai 1.635,838 ton per hari.

Beban pencemaran BOD dan COD paling tinggi di Kecamatan Langgam, Pelalawan dan beban pencemaran TSS sama parahnya antara Kecamatan Kampar Kiri dan Kecamatan Langgam.

“Wilayah itu parah keruh sungainya. Banyak pabrik sawit,” kata Zuchri Abdi. Sayangnya, kajian ini juga tak mencatat jumlah dan nama-nama pabrik sawit yang beroperasi.

Wilayah IV, dari Waduk Koto Panjang sampai Gunung Malintang, sepanjang 21,6 km, sungai seperti wilayah I. Beban pencemaran dominan BOD yang melampaui daya tampung 6,759 ton per hari dan COD maupun TSS, di bawah baku mutu.

Sumber pencemaran wilayah IV, kata Zuchri, terutama aktivitas manusia seperti penambangan emas tanpa izin pada anak-anak sungai di Kuantan Singingi.

Kondisi mengkhawatirkan juga terjadi di wilayah V, dari Teluk Meranti hingga Muara Sako, sepanjang 164,6 km. Kelebihan beban pencemaran BOD 580,819 ton per hari. Sedangkan kelebihan beban pencemaran COD 302,895 ton per hari. Kelebihan beban pencemaran TSS 297,725 ton per hari.

Berdasarkan grafik, beban pencemaran BOD dan COD paling tinggi di Kecamatan Kuala Kampar. Sementara, beban pencemaran TSS tidak hanya di Kecamatan Kuala Kampar, juga di Kecamatan Langgam alias dari hulu dan hilir.

Zuchri mengatakan, faktor pertemuan pasang surut sungai dan laut di bagian hilir yang menimbulkan ombak tinggi, atau sering disebut ombak bono, bisa jadi sebab utama kekeruhan sungai di wilayah V selain karena kegiatan industri.

Akhir dari kajian ini menyimpulkan, beban pencemaran Sungai Kampar, melebihi daya tampung. Sayangnya, setelah lima tahun berjalan, kajian ini tak pernah diperbaharui. “Harusnya begitu (diperbaharui). Anggarannya tak ada,” kata Zuchri.

 

Keterangan foto utama:     Mengukur kedalaman Sungai Kampar, dengan echo sounder. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version