Mongabay.co.id

Begini Upaya Konservasi Mencegah Krisis Air di Bali

 

 

Air bah dan banjir terjadi hampir tiap tahun di Bali, terutama jika kawasan hulu penangkap air dan daerah krisis air, terjadi hujan deras. Seperti yang terjadi di Jalan Amlapura – Singaraja di Desa Tulamben, Kecamatan Kubu, Karangasem sesuai laporan Pusat Pengendali Operasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pusdalops BPBD) Bali pada Senin (18/3/2019).

Akses jalan utama lintas kabupaten dan kawasan pesisir Bali timur dan utara yang sebelum sudah diperbaiki, kembali digerus oleh derasnya air sungai. Masyarakat tidak bisa melewati jalan itu, harus menunggu air surut.

baca :  Bali Terancam Krisis Air, Mengapa?

 

Sebuah jalan kembali putus diterjang air bah di Kecamatan Kubu, Karangasem,Bali, Senin (18/3/2019) dari hulu di kawasan yang kerap kekurangan air bersih saat kemarau. Perlu konservasi dan tangkapan air hujan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ironisnya, Kubu adalah salah satu area yang kerap mengalami krisis air bersih. Banyak warga terutama di pegunungan dekat kaki Gunung Agung harus membeli air bersih dari mobil tangki untuk keperluan sehari-hari. Embung juga kerap kering. Namun saat musim hujan, tak bisa ditangkap dan mengalir deras ke arah laut yang menjadi kawasan wisata bawah laut populer di Bali.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi memperingati Hari Air sedunia setiap tanggal 22 Maret di kampus Politeknik Negeri Bali (PNB), Badung, Jumat (22/3/2019) yang dihadiri peneliti PNB, perwakilan pemerintah dan industri pariwisata.

Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono menyampaikan upaya pengendalian dan pemenuhan air bersih. Dia mencontohkan bencana banjir bandang di Sentani, Papua tak bisa dibendung hanya dengan penyediaan sarana. Menurutnya infrastruktur sebesar apa pun tak bisa menangani bencana. “Lebih baik bersahabat dengan air,” katanya terkait konservasi sumber air.

Saat ini ada 391 daerah aliran sungai (DAS) di Bali. Namun masih ada gap karena ketersediaan 101,23 meter kubik/detik, sementara kebutuhan 118,42 meter kubik/detik. “Perlu air permukaan dan sungai untuk dijaga kelestariannya,” sebutnya.

Potensi ketersediaan air bersih di Bali menurut perhitungan Balai DAS mencukupi yakni sekitar 216 m3/detik, terdiri dari air permukaan 207,83 m3/detik, dan sisanya air tanah. Jadi, sumber utama air bersih adalah air permukaan seperti sungai, danau, dan lainnya yang kondisinya makin terancam kelestariannya. Air hujan juga tak dikelola optimal.

baca juga :  Isi Ulang Air Tanah Atasi Krisis Air Bali, Benarkah?

 

Sebagian besar sungai di Bali berisi air saat musim hujan saja. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ia menyebut saat ini Tukad Badung, muaranya sedang direvitalisasi untuk waduk guna meningkatkan kapasitas penyediaan air bersih dari 200 jadi 300 liter/detik. Sementara kebutuhan PDAM 1000 liter/detik. Karena posisinya muara, aliran masuk air harus dijaga.

Prasarana pengendalian banjir juga penting. Walau tanggul dibangun, tapi debit semakin besar dan air lewat begitu saja tak ada gunanya. Program utama Balai DAS adalah pemulihan sumber daya air saat terjadinya bencana serta untuk pencegahan.

Sedangkan Peneliti PNB Lilik Sudiajeng memaparkan program konservasi air tanah melalui pendekatan ergo-hidrogeologi, dengan roadmap 2013-2028 yang dimulai kajian air tanah, pemetaan air tanah, dan rekayasa program konservasi air tanah. Misalnya untuk konservasi air tanah dangkal di atas 4 meter muka tanah, dimulai dengan sumur imbuhan di Kota Denpasar.

Kemudian komersialisasi program konservasi air tanah dalam di atas 40 meter muka tanah. Sejumlah hasil adalah prototipe sumur Pemanenan Air Hujan Domestik (Spahudo) dengan beberapa tipe. Kemudian rekayasa Sumur Pemanenan Air Hujan (Sumpah) untuk konservasi tanah dalam.

menarik dibaca : Cara Ini Lebih Efektif Menyimpan Air ke Tanah Dibanding Biopori di Bali

 

Uji coba sumur imbuhan ini didukung – Sumur imbuhan di Sukawati, Gianyar, Bali ini didukung pembuatannya oleh Fiveelements. Cara ini lebih efektif dibanding biopori. Foto Luh De Suriyani

 

Lilik mengakui selama ini kampus menumpuk laporan penelitian saja. Karena itu sejak 2013 pihaknya kerjasama dengan LSM, pemerintah, dan perusahaan. Mulai riset dan pemetaan air tanah di Denpasar, lalu sejak 2018 ke seluruh kabupaten/kota. “Baru langkah kecil. Baru ada 19 pemanen air hujan domestik,” kata perempuan ini soal sumur imbuhan.

Ia menunjukkan sebuah sekolah yang halamanannya selalu basah tergenang saat hujan. Dengan percobaan sumur imbuhan, satu jam setelah hujan deras, genangan air sudah tak ada. Untuk mendekatkan ide ini pada warga, juga dibuatkan di sebuah pura di Kerambitan, Tabanan.

Program Konservasi Air Tanah melalui Pendekatan Ergo-Hidroergologi ini dilakukan dengan roadmap sampai 2028. Hingga lahirnya konsep pengelolaan air terpadu untuk masukan ke pemerintah.

Peneliti PNB lainnya, Lanang menjelaskan potensi air permukaan dari sungai kini hanya di DAS yang berhulu di Danau Batur, cadangan air terbesar dibanding danau lain di Bali.“Tampungan air danau hampir 1 juta kubik. Tak perlu bendungan mahal, cukup konservasi sekitarnya. Sebagian air sungai di Bali berisi air saat hujan saja,” katanya.

Kenapa mulai krisis air?

Salah satunya kebiasaan dulu mandi di sungai, sekarang di rumah. “Anak saya tak pernah mandi di sungai. Budaya beda, karena air dibawa ke rumah. Sehingga debit di sungai berkurang. Terutama kemarau. Jumlah terbatas, kebutuhan makin banyak,” Lanang menyontohkan.

baca juga :  Desa Wanagiri: Air Terjun dan Harumnya Kopi Bali

 

Anak-anak bermain dengan riang gembira di Sungai Tukad Bindu, Denpasar, Bali. Foto : denpasarkota.go.id /Mongabay Indonesia

 

Kesimpulan satu penelitian soal intrusi air laut menunjukkan ada indikasi krisis air berupa kesulitan air bersih karena intrusi air laut. Namun ada potensi air bersih, jika dikelola bisa mengatasi masalah air di wilayah lain. Diperlukan metode pengelolaannya.

Contohnya di dua wilayah pertanian di Tabanan kerap kekeringan saat kemarau, tak dapat air bersih. Namun dalam jarak 1-3 km ada potensi air melimpah yang terbuang ke drainase, sungai, dan laut. Mahasiswa dan dosen melakukan pipanisasi dari sumber air tersebut. “Apabila mendeteksi semua potensi air dan kembangkan model pengelolaannya, maka masalah air bisa diantisipasi,” yakin Lilik.

Sementara indutri pariwisata juga dimintai pertanggungjawabannya mencegah krisis air makin meluas. CEO Waterbom Bali, Sayan Gulino menyadari usahanya harus menerapkan keberlanjutan.

Take and give for sustainibility. Banyak salah dan perlu perbaiki. Saya percaya progress. Semoga Bali bisa jadi contoh untuk dunia, saya percaya itu terjadi,” sebut Sayan.

Melalui film produksinya, Balancing The Water, membuka perdebatan atas krisis air di Bali. Misalnya petani yang merasa air sungai kini direbut usaha pariwisata sementara sawahnya makin mengering. Padahal di sisi lain, Bali masih membanggakan sistem irigasi pertanian tradisional Subak.

menarik dibaca :  Merekam Krisis Air di Bali Melalui Film. Seperti Apakah?

 

Subak, salah satu sistem irigasi tradisional di Bali yang memberikan pasokan air untuk pertanian setempat secara berkelanjutan. Foto: Rhett Butler/Mongabay Indonesia

 

Lilik Sudiajeng, peneliti PNB menyebut dari sekitar 2500 sumur dalam di Bali, yang masih produktif 70% dan sisanya krisis.

Kebutuhan air bersih rata-rata warga sekitar 200 liter per hari, tapi turis bisa mencapai 4000 liter/hari. Karena itu harus terus diedukasi, air tanah sudah sedikit. Jika turis hilang yang tersisa adalah warga lokal tanpa air.

Waterbom, salah satu waterpark besar di dunia ini menyebut menggunakan kembali 85% air dari wahana lazy waterdengan sistem sirkular ke wahana-wahana lainnya, sisanya sistem tertutup. Air yang disaring dikembalikan ke tanah.

 

Exit mobile version