Mongabay.co.id

100 Tahun Tangkoko : Cerita Warga Membangun Ekowisata

Pantai Batuputih di Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Tulende Wodi tak pernah menyangka akan jadi sosok penting dalam sejarah pariwisata alam di kelurahan Batuputih, Bitung, Sulawesi Utara (Sulut). Ia adalah orang yang pertama kali mendirikan homestaydi sana. Kini, kelurahan itu menjadi tempat singgah utama bagi wisatawan dari berbagai negara, yang ingin menyaksikan satwa endemik di Taman Wisata Alam (TWA) Batuputih.

Lagi pula, bukan hitung-hitungan bisnis yang mendasari keputusan itu. Tulende hanya merasa iba pada para peneliti yang datang ke Cagar Alam Tangkoko. Pada tahun 1985, belum ada penginapan di sana. Sementara, dari pusat kota Bitung, perlu waktu 3 jam agar bisa sampai ke kelurahan Batuputih.

“Jalan belum sebagus sekarang, masih rusak. Mereka (peneliti) harus menginap, karena (jika ke Bitung) pulangnya jauh. Apalagi peneliti burung. Mereka bisa sampai 10 hari di sini. Pulang dari hutan, tidak tahu mau tidur di mana,” terang Tulende, Jumat (22/2/2019).

baca :  100 Tahun Tangkoko, Apakah Ekowisata Berorientasi Lingkungan dan Masyarakat Setempat?

 

Tulende Wodi mendirikan penginapan pertama di kelurahan Batuputih yang diberi nama homestay Mama Roos. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Karena kesibukan sebagai petugas Dinas Kehutanan, dia menyerahkan pengelolaan penginapan pada mendiang Isterinya. “Mama Roos” kemudian ditetapkan sebagai nama homestay. Saat itu hanya 3 kamar inap yang tersedia, dengan konstruksi bangunan didominasi bambu.

Ketiadaan jaringan listrik mengharuskan pengunjung, yang umumnya peneliti, suka-tidak suka menggunakan lentera sebagai alat penerangan. “Dulu karena belum ada kulkas, kalau bulemau minum bir dingin, harus rendam dulu di air,” ujar Tulende sambil tertawa. “Setelah pembangunan jalan, listrik masuk, mulai banyak permintaan dari wisatawan.”

Kini, terdapat 8 kamar di homestay “Mama Roos”, namun hanya 5 yang disewakan. Sebab, Tulende dan Alfons, anaknya, juga tinggal di sana. Satu kamar sisanya, digunakan untuk kerabat yang datang ke Batuputih.

Di bagian depan penginapan terdapat ruang makan. Halaman yang bersih dan beberapa macam tanaman memberi kesan asri. Saya menggunakan 1 di antara 5 kamar “Mama Roos” ketika meliput peringatan 100 tahun Tangkoko pada Februari 2019.

“Mama Roos” bukan penginapan mewah, tapi kamar dan ranjang yang saya gunakan cukup luas. Di kamar ini terdapat fasilitas Air Conditionerdan sebuah kamar mandi. Biayanya relatif murah, pelayanan ramah, dengan sajian makan siang dan malam yang sangat lezat.

Namun, saat itu pengunjung homestay terbilang sepi. Bagi pengusaha rumah inap, juga pemandu wisata di Batuputih, Februari dapat dikategorikan bulan paceklik. “Sekarang lagi sepi pengunjung. Nanti banyak di bulan Juni hingga September. Nyaris tiap hari semua homestay di Batuputih penuh,” lanjut Tulende.

baca juga :  100 Tahun Tangkoko : Kisah Wallace di Tangkoko

 

Jalan utama di kelurahan Batuputih Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Tepat di samping “Mama Roos”, terdapat penginapan bernama “Tangkoko Ranger”, yang didirikan 6 tahun setelah penginapan pertama. Yunus Masala, pemilik homestay ini menceritakan, “Tangkoko Ranger” pertama kali muncul di inflight magazine Garuda untuk menyebut Pos 3, tempat berkumpulnya petugas (ranger) di hutan Tangkoko.  Nama yang bagus dan promosi gratis jadi alasan dia untuk menggunakan nama itu.

Yunus mendirikan penginapan tersebut karena, pada kurun 1993-1994, jumlah wisatawan ke Batuputih melonjak hebat. Klaim itu bisa ditelusuri dari catatan historis terkait kunjungan wisatawan mancanegara ke Cagar Alam Tangkoko.

Pada tahun 1978, hanya ada 50 wisatawan asing yang datang ke Tangkoko, demikian tulis MacKinnon dan MacKinnon (1980) dalam “Cagar Alam GN. Tangkoko-Dua Saudara Sulawesi Utara: Management Plan 1981-1986”.

Kemudian, dalam riset berjudul“Ecotourism in the Tangkoko Dua Sudara Nature Reserve: Opening Pandora Box?”, Margaret Kinnaird dan Timothy O’Brien (1996) mencatat, tahun 1990 angka kunjungan wisatawan mancanegara ke Tangkoko berjumlah 634 pengunjung. Sejak itu, jumlah wisatawan mancanegara menyentuh angka 1515 pengunjung atau meningkat 250%, pada 1993. Sedangkan, wisatawan domestik relatif stabil pada angka 3000 pengunjung per tahun.

Fenomena tersebut membuat Yunus Masala menarik sebuah kesimpulan, tak mungkin satu penginapan bisa menampung seluruh wisatawan. Dengan pengetahuan seadanya, ia mulai menggeluti usaha homestay. Dia tahu, pengalaman akan memberinya pelajaran. Terpenting, wisatawan punya tempat menginap.

“Pengunjung makin banyak, 1 homestay tidak cukup. Saya pikir, perlu penginapan lain di Batuputih,” ujar Yunus. “Hingga 1994 hanya ada 2 homestay. Mama Roos dan Tangkoko Ranger”

baca juga :  100 Tahun Tangkoko : Kisah Wallace di Tangkoko

 

Homestay Tangkoko Ranger didirikan oleh Yunus Masala 6 tahun setelah homestay Mama Roos. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Seperti pendahulunya, konstruksi awal penginapan ini juga terbilang sederhana. Dinding dan atap berbahan rumbia, lantainya menggunakan papan, serta petromax sebagai penerangan malam. Juga, tak ada pelayanan istimewa. Fasilitas yang terbatas, kemudian disikapi dengan cara yang unik oleh beberapa wisatawan, misalnya membeli kebutuhan pribadi yang tidak terdapat di homestay.

“Karena mereka tinggalnya lama, untuk penelitian, bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan, jadi mereka beli barang-barang seperti kasur dan genset. Kan, tidak mungkin dibawa pulang, jadi tinggal di sini. Biaya penginapan dipotong belakangan.”

“Untungnya, ya itu, barang yang mereka beli, kami pakai. Akhirnya, homestay kami dengan sendirinya terisi. Hanya barter sebenarnya,” tutur Yunus sambil tertawa.

Seiring waktu, homestay “Tangkoko Ranger” mengalami perubahan. Bangunan telah direnovasi, kamar yang dulunya hanya 3, kini berjumlah 7 dan seluruhnya digunakan untuk penginapan. Yunus juga membeli sepetak tanah di seberang jalan untuk dijadikan ruang makan.

Perkembangan juga bisa disaksikan dalam peningkatan jasa homestay di kelurahan Batuputih Bawah. Pada tahun 2017, telah terdapat 7 homestay dengan total kamar berjumlah 52. Kini, terdapat 10 penginapan dengan total 117 kamar. Seluruh usaha dikelola masyarakat lokal.

“Ya, semua lokal. Kami bikin homestay bukan karena ingin bersaing. Tahun 1995, saya pernah mengajak warga untuk mempersiapkan paling tidak satu kamar dan ada kamar mandi. Karena, di high season jumlah wisatawan membludak, tidak cukup tempat. Tapi belum banyak yang tertarik. Sekarang warga sudah mulai tertarik dengan pariwisata,” masih dikatakan Yunus.

“Mungkin, kedepannya, baik juga ada asosiasi homestay untuk saling melengkapi, satu ada kelemahan yang lain memperkuat. Dulu saya sudah sempat sampaikan, supaya kompak. Tapi ini perlu keberanian juga,” tambahnya.

menarik dibaca :  Kampanye Tangkoko dalam Karya Fotografer Lokal

 

Elang sulawesi atau sulawesi hawk eagle (Nisaetus lanceolatus) di TWA Batuputih, Bitung, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Jumlah pengunjung TWA Batuputih juga meningkat. Pada tahun 2017, jumlah wisatawan mancanegara adalah 6.352 orang dan wisatawan domestik 5.314 orang. Kemudian, pada 2018, jumlah pengunjung TWA Batuputih dan TWA Batuangus menyentuh angka 12.000 wisatawan. Wiratno, Dirjen KSDAE KLHK dalam perayaan 100 tahun Tangkoko mengatakan, pariwisata di kawasan itu berkontribusi pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 1,14 miliar.

Sedangkan Olly Dondokambey, Gubernur Sulawesi Utara, pada peringatan100 Tahun Tangkoko di Kota Bitung, pada Kamis (21/2 2019) pariwisata dianggap sebagai motor pembangunan yang dapat memberi kontribusi positif pada sektor-sektor lainnya. Dicontohkan, pada 2018 total kunjungan wisatawan mancanegara ke Sulut mencapai 113.000 orang.

Fenomena itu diyakini berkontribusi atas peningkatan pertumbuhan ekonomi pada Triwulan III 2018 yang mencapai 6,01%. Angka ini disebut lebih tinggi jika dibanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional, yakni 5,27%.

“Namun demikian, terlepas dari capaian-capaian membanggakan yang kita torehkan bersama, ada beberapa aspek yang perlu kita tingkatkan. Baik infrastuktur, SDM, aksesbilitas maupun destinasi, guna perbaikan-perbaikan serta capaian yang lebih signifikan ke depannya,” terang Kepala Dinas Pariwisata Pemprov Sulut Daniel Mewengkang, Kamis (21/2/2019) di pantai TWA Batuputih.

 

Tarsius, salah satu primata terkecil dunia yang menghuni Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

***

Keterangan foto utama : Pantai Batuputih di Tangkoko. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version