- Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, merupakan tujuan wisata unggulan Gorontalo. Keberadaan Pulau Saronde, Pulau Mohinggito, Pulau Bogisa, dan Pulau Lampu, menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara karena keindahan pasir putihnya
- Persoalan sampah plastik dan rusaknya ekosistem terumbu karang menghantui Desa Ponelo. Sampah mengepung sepanjang pantai dan terumbu karang banyak rusak
- Penelitian yang dilakukan di gugusan karang pantai kedalaman 1-6 meter, menunjukan terumbu karang yang mati berbentuk bebatuan. Ancaman baru yang mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang diantaranya adalah kunjungan wisatawan
- Pemerintah Provinsi Gorontalo telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] 2018-2038. Isu strategis yang tengah digulirkan adalah penurunan kualitas lingkungan dan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, juga terkait mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim
Pesisir utara pantai Sulawesi, tepatnya Kabupaten Gorontalo Utara, Gorontalo, merupakan wilayah yang memiliki potensi wisata bahari menjanjikan. Sebut saja Kecamatan Ponelo Kepulauan dengan desa andalannya, Ponelo.
Pemerintah daerah setempat telah menjadikannya sebagai tujuan wisata unggulan Gorontalo. Keberadaan Pulau Saronde, Pulau Mohinggito, Pulau Bogisa, dan Pulau Lampu, yang merupakan bagian dari Desa Ponelo, menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri maupun mancanegara karena keindahan pasir putihnya.
Promosi sering dilakukan untuk memperkenalkan objek wisata ini, sebagaimana Festival Bahari Ponelo 2013. Namun, persoalan tekanan ekologis wilayah pesisir dan pulau kecil juga menimpa Ponelo, diantaranya; sampah plastik dan kerusakan terumbu karang.
Baca: Lokasi Wisata Hiu Paus Ini Bertabur Sampah Plastik
Kepungan Sampah
Menuju Ponelo hanya bisa dilakukan menggunakan perahu. Jaraknya sekira 20-30 menit dari Pelabuhan Kwandang, Gorontalo Utara. Atau satu setengah jam dari Kota Gorontalo. Pertengahan Maret 2019, ketika menginjakan kaki di pesisir pantai Ponelo, saya melihat tumpukan sampah yang tersebar hingga ke ujung kampung.
Sampah itu beragam; tumpukan kayu, styrofoam, botol dan gelas plastik, tali, popok bayi, hingga sampah rumah tangga. Pemandangan buruk untuk wisata bahari.
Sigit Katili, warga Desa Ponelo bercerita, sampah sudah ada sejak Desember 2018 dan masih menghiasi pantai. Sampah tersebut merupakan kiriman orang-orang darat. “Sampah ini karena musim angin timur dan barat. Biasanya angin timur sampai April,” ungkapnya.
Dia tak menampik di tempatnya juga banyak warga yang membuang sampah ke laut. Sudah ada larangan dari pemerintah desa dan kecamatan, namun sebatas lisan yang disosialisasikan ke setiap dusun. Desa ini juga mendapat bantuan pengolahan sampah dari pemerintah daerah di akhir 2018. “Namun, belum maksimal dan dampaknya tidak terlihat,” terangnya.
Kepala Desa Ponelo, Rotansi Lamandara, mengakui bantuan itu belum efektif karena sumber daya manusia yang terbatas. Masyarakat juga belum memiliki pengetahuan memilah atau mendaur ulang sampah plastik. “Untuk sementara bantuan sebatas penyediaan fasilitas, seperti dua armada pengangkut sampah,” ungkapnya.
Namun untuk musim angin timur, kata Rotansi, sampah-sampah memang banyak datang dibawa angin dan ombak. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. “Angin timur mungkin sampai April atau Mei. Saya berharap, persoalan ini ada solusi,” ucapnya.
Baca: Ancaman Sampah Plastik untuk Ekosistem Laut Harus Segera Dihentikan, Bagaimana Caranya?
Dalam tulisan Mongabay Indonesia sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [KIARA] mencatat, setiap tahun sebanyak 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13.000 plastik mengapung di setiap kilometer persegi. Fakta ini menasbihkan Indonesia sebagai negara nomor dua di dunia dengan produksi sampah plastik terbanyak di lautan.
Dalam laporan Pemantauan Sampah Laut Indonesia Tahun 2017, Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Pesisir dan Laut, KLHK, dijelaskan bahwa perkiraan para ahli, 80 persen sampah laut berasal dari daratan yang disebabkan kurangnya layanan pengolahan limbah padat. Sedangkan sumber sampah dari lautan dari kapal, jaring ikan yang tidak terpakai dan bencana alam [tsunami]. Sementara, sekitar 70 persen sampah laut [yang berat], seperti glass, logam, dan peralatan lainnya mengendap, sisanya yang lebih ringan, mengapung seperti plastik.
Sampah plastik diperkirakan membunuh 100.000 mamalia laut dan 2 juta burung laut setiap tahunnya. Mengutip laporan Scientific Reports 2015, peneliti dari Universitas Hasanudin dan University of California, Davis School of Veterinary Medicine, ditemukan 25 persen ikan yang dijual di pasar Kota Makassar telah mengandung plastik.
Baca: Benarkah Produksi Sampah Plastik Indonesia Terbanyak Kedua di Dunia?
Kondisi terumbu karang
Terumbu karang adalah ekosistem penting bagi Ponelo. Perairan laut desa ini berada di kawasan Teluk Kwandang, laut Sulawesi, sebagai jalur lalu lintas kapal barang dan juga kapal penumpang antar-pelabuhan.
Aktivitas yang dahulu sering dilakukan warga, yaitu pengeboman ikan, penggunaan bahan potasium, dan penambangan karang untuk bahan pembangunan rumah, merupakan pemicu utama rusaknya ekosistem terumbu karang. Meski cara-cara itu sudah ditinggalkan, namun dampaknya masih terasa hingga saat ini. Nelayan semakin jauh mencari ikan.
“Yang ada sekarang pengambilan pasir oleh satu dua orang. Ini sudah ada larangan,” kata Sigit Katili.
Baca: Mongabay Travel: Berteman Sepi di Pulau Cantik Popaya
Akbar Habibie, dari Institut Pertanian Bogor [IPB], dalam penelitian skripsinya, telah melakukan pemetaan ekosistem terumbu karang dengan metode Obia (Object Based Image Analysis) dan valuasi nilai ekonominya di perairan laut Desa Ponelo, 2018. Akbar melakukan pengamatan visual di gugusan karang perairan pantai Desa Ponelo pada kedalaman 1-6 meter.
Berdasarkan hasil pengamatannya, jenis-jenis karang yang ditemukan di Ponelo yakni Acropora sp, Montipora sp, Seriatopora caliendrum, Porites sp, Oulophylia sp, Fungia sp, dan Goniastrea sp. Namun, ada juga karang yang sudah mati, berbentuk batuan.
“Ancaman lainnya, PLTA Anggrek dan rencana pembangunan jembatan penghubung antara Kwandang dengan Pulau Ponelo,” tulisnya.
Penelitian Akbar menjelaskan, pemetaan zona geomorfologi dengan teknik segmentasi Obia pada perairan pantai Desa Ponelo, menghasilkan 3 bentuk, yaitu reef slope, reef crest, dan reef flat. Pemetaan habitat dasar perairan laut menghasilkan 5 kelas habitat yaitu: karang hidup 56,81 hektar; karang mati 90,57 hektar; padang lamun 18,08 hektar; pasir 82,5 hektar; dan rubble 6,3 hektar.
Hasil kalkulasinya menunjukkan, nilai ekonomi total diperoleh dari terumbu karang [manfaat, perlindungan pantai, dan keragaman hayati] sebesar Rp 144.850.924.637 per tahun atau Rp 569.696.077 per hektar per tahun.
Menurut Akbar, sebaran spasial ekonomi ekosistem terumbu karang menghasilkan nilai beragam. “Reef crest dan reef slope pada zona geomorfologi memiliki kemampuan mencegah abrasi.”
Baca juga: Ikan Purba Coelacanth Ditemukan di Raja Ampat, Apakah Spesies Baru?
Berdasarkan data rehabilitasi terumbu karang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo, pada 2007 telah dilakukan rehabilitasi dengan membuat terumbu karang buatan sebanyak 90 unit di Kecamatan Ponelo Kepulauan. Sementara, pada 2013 sebanyak 60 unit di Pulau Mohinggito.
Pemerintah Provinsi Gorontalo telah memiliki Peraturan Daerah [Perda] Nomor 4 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil [RZWP3K] 2018-2038. Salah satu isu strategis yang dikedepankan adalah menurunnya kualitas lingkungan dan ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan juga terkait mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, seperti tsunami atau longsor.