Mongabay.co.id

Menyusul Temuan di Maluku Utara, Lebah Raksasa Perlu Perlindungan

Lebah yang akan masuk ke sarang. Setelah pengamatan dan pengambilan gambar, lebah dilepas kembali. Foto: Clay Bolt

 

 

 

 

 

 

Pertengahan Januari lalu, peneliti dari Amerika dan Australia, bersama satu fotografer dari Global Wildlife Conservation mengunjungi beberapa tempat di Maluku Utara. Mereka ikut riset lebah raksasa atau lebah raja di Halmahera yang pernah diidentifikasi Alfred Wallacea pada 1861. Tiga orang itu adalah Clay Bolt, fotografer Wildlife, Simon Robson dari Sidney University dan Ely Wyman, ahli entomologi. Dalam kunjungan mereka ke salah satu hutan di Halmahera Timur, mereka menemukan lebah raja Jumat (25/1/19).

Penelusuran lokasi hidup lebah ini berdasarkan data dalam jurnal yang pernah ditulis peneliti sebelumnya, Adam Meser pada 1981. Mereka menemukan spesies lebah raksasa yang diklaim punah sekitar 38 tahun lalu, atau terakhir ditemukan 1981 oleh Adam Meser. Lebah raksasa ini pertama kali teridentifikasi oleh Alfred Russel Wallacea , dengan nama ilmiah Megachile pluto.

Tim ini juga ditemani Iswan Maujud dan Eka Kaaba bersama Yohanes Momou dan Siber Sasamulare, warga Halmahera Timur.

Iswan kepada Mongabay mengatakan, sebelumnya sudah ada periset datang, pasca Adam Meser tetapi mereka tak menemukan lebah raksasa ini. Bahkan, sampai salah satu peneliti bernama Mr Paul, cukup dikenal warga setempat. Waktu itu dia berpesan kepada warga agar tak merusak hutan di belakang desa mereka.

Waktu itu dia menyampaikan, ada kekayaan sumberdaya tidak ternilai. “Dia tidak bilang kekayaan hayati lebah raksasa ada di hutan ini, karena itu warga mengira kekayaan itu berhubungan dengan tambang emas.”

Iswan menceritakan, penemuan lebah raksasa ini setelah pencarian hampir seharian. Sarang rayap di sebatang pohon nangka menjadi tempat lebah ini hidup.    Penemuan ini juga saat akan pulang sekitar pukul 15.00 waktu setempat.

“Waktu itu kami sudah mau pulang. Berniat menelepon sopir jemputan. Apalagi kami sudah lapar. Tiba tiba saya melihat ke sebelah kanan ada pohon nangka di situ ada sarang rayap,” katanya.

Iswan langsung menunjukkan sarang itu dan ketika dicek memastikan di dalam sarang itu. Saat itu Clay dan dua kawannya berusaha mengamati pakai binokuler. Lebah tak kelihatan. Iswan menawarkan diri memanjat pohon nangka itu guna memastikan benar atau tidak dlam sarang itu ada lebah.

Iswan naik pohon nangka membawa senter kepala untuk mengamati lubang sarang rayap. Sayangnya, cahaya terhalang dan tak bisa melihat ke dalam. Dia mengganti dengan senter handphone. Kali ini, dia bisa melihat ke dalam lubang di mana lebah itu hidup. Meski begitu, tidak melihat ada lebah. Dia hanya melihat sarang itu seprti lembab.

Ketika menyampaikan, lubang seperti lembab mereka meyakini ada lebah di sarang itu. “Mungkin karena lebah merasa terganggu dengan suara, ketika saya mengamati lagi melihat kepala lebah berwarna hitam keluar dari lubang. Saya langsung panik karena mengira kepala ular,” katanya.

Seketika  Iswan langsung loncat dari atas pohon nangka yang tidak terlalu tinggi itu.   “Saya takut sama ular jadi saya langsung turun,” katanya.

Iswan kemudian naik lagi memastikan lebah atau bukan. Setelah naik kedua kalinya dan pengamatan terlihat bokong lebah berwarna putih. Dia menyampaikan melihat ada warna putih di bokong hewan itu. Lebah itu sedikit panjang, lebar sepertu ibu jari.

Saat itu juga, mereka meyakini menemukan lebah raja yang dicari-cari. Untuk memudahkan proses foto dan pengamatan, dibuat panggung agar bisa menyaksikan dan memotret.  Mereka mencoba mengamati berulang- ulang.

Karena menunggu lama dan sulit mengabadikan dalam bentuk foto atau video, selanjutnya dipasang jaring menutupi pintu sarang. Mungkin karena suara membuat lebah terganggu, akhirnya keluar dan terperangkap. Perangkap juga dibuat lubang agar memudahkan pengambilan foto dan video. Pengamatan dan pengambilan gambar lumayan lama sebelum lebah lepas kembali.

Ketika dilepas,  lebah tak menuju ke sarang itu lagi tetapi terbang jauh. Sekitar 15 menit, lebah kembali masuk sarang.

 

Megachile pluto. Foto: Alisi/Istimewa

 

 

Tak ada pencurian, lebah dilepas lagi

Dia menyesalkan pihak-pihak yang menyatakan ada pencurian atau biopiracy terhadap lebah ini. “Sebagai orang yang mendampingi merasa tersinggung disebut mengambil plasma nutfah dan dibawa ke luar negeri. Tidak mungkin, karena saya menyaksikan dan ikut menemukan lebah raksasa ini. Sebagai orang Halmahera, saya bertanggungjawab melindung asset berharga ini,” kata Iswan.

Dia menilai, terjadi salah paham hingga muncul anggapan-anggapan miring itu. Iswan bilang, temuan ini patut disyukuri. “Mungkin mereka melihat Clay memegang sampel lebah dalam kotak yang telah diawetkan. Sebenarnya itu lebah di museum   saat penelitian   sebelumnya.”

 

Belum ada perlindungan

Kekayaan keragaman hayati lebah raksasa ini ternyata belum mendapatkan perlindungan serius. Apalagi kawasan tempat temuan lebah ini di dalam perkebunan warga atau di luar Taman Nasional Ake Tajawe Lolobata (TNAL). Misalnya menjamah hutan di kawasan yang memiliki lebah itu.

Iswan mengaku, selalu mengecek ke lokasi. “Setiap dua minggu sekali saya mengecek sarang lebah itu dan masih aman. Saya sudah menyampaikan kepada kepala desa agar mengingatkan warga tetap menjaga kawasan hutan ini karen menjadi aset wisata dan pengetahuan. Saya juga berencana jika punya biaya mengajak warga survei dan mencari lagi sarang lebah yang lain,” katanya.

Iswan menyarankan, kepala desa hati-hati dengan pihak luar yang datang mau menyaksikan atau mencari lebah ini. Pihak desa perlu mengecek atau menelusuri jangan sampai merusak atau mencuri lebah. “Sudah saya usul ke kades agar disampaikan dan di-ricek bersama. Kami juga sudah sosialisasikan ke kepala desa dan masyarakat yang bersama kami dalam pencarian lebah raksasa,”katanya.

Naser Tamalene, pengajar Jurusan Biologi Universitas Khairun Ternate yang konsen beberapa riset lebah mengatakan, bicara lebah di Indonesia, belum ada perlindungan khusus. Begitu juga lebah pluto yang ditemukan di Halmahera ini, belum ada perlindungan.

Lebah raksasa di Maluku Utara ini sebenarnya bisa dijumpai di semua pulau. Contohnya, di Pulau Bacan, juga ada. Lebah jenis ini dalam status konservasi adalah vulnerable atau kategori rentan dan masuk daftar merah. “Karena itu butuh ada regulasi. Kita harus punya data pasti untuk membuat regulasi dan perlindungan terhadap lebah jenis ini,” katanya.

Saat ini, pemerintah daerah belum memiliki kepedulian soal hal seperti ini. Badan Penelitian Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapelitbang), misal, hanya menerima penelitian titipan. Padahal, katanya, mereka sedikit serius, bisa ada data potensi sumber daya alam hayati di pulau-pulau di Maluku Utara. Data ini, katanya, bahkan bisa jadi sumber informasi penelitian d Indonesia, bahkan dunia.

Maluku Utara, katanya, sudah terkenal dengan kekayaan hayati karena masuk dalam garis Wallacea. Kalau, pemerintah daerah memanfaatakan kekayaan ini, Malut bisa mendunia.

Soal lebah raksasa ini, beberapa waktu lalu sempat ramai dalam pemberitaan media. Dalam artikel Clay Bolt juga anggota riset itu mengungkap keberhasilan timnya menangkap gambar pertama lebah raksasa langka itu saat menemukan sarang rayap pada pohon di sebuah pulau di Maluku Utara.

“Sangat menakjubkan melihat ‘bulldog terbang’ itu yang selama ini dianggap sudah punah” kata Bolt dalam tulisan yang dirilis Universitas Sydney, Australia.

Dia berharap, lebah ini akan jadi simbol konservasi di Indonesia. Dia bilang, panjang lebah ini sebesar ibu jari orang dewasa atau berukuran sekitar 3,5 sentimeter dan lebar sayap 6,4 sentimeter. Rahang seperti kumbang rusa. Ukuran tubuh empat kali lebih besar dari lebah madu dan berwarna gelap hingga tak terlalu mencolok.

Eli Wyman, ahli entomologi Universitas Princeton, turut bergabung dengan tim penemu menyatakan, temuan ini bisa jadi landasan mencari lebah yang sulit ditemukan. Wyman berharap, penemuan ini memicu penelitian selanjutnya. Sejarah kehidupan lebah itu, katanya, juga dapat memberikan informasi dalam usaha melindungi mereka dari kepunahan.

 

Iswan saat mengecek langsung sarang lebah menggunakan senter hp. Foto: Clay Bolt

 

 

Perbincangan ilmuan dunia

Penemuan kembali lebah raksasa Wallace atau lebah pluto (Megachile pluto Smith 1861) di Maluku Utara menjadi perbincangan hangat ilmuwan bidang zoologi. Rilis resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Biro Kerja Sama, Hukum, dan Humas LIPI , menyebutkan, lebah dengan rahang bawah (mandibula)  sangat besar ini dikoleksi Alfred Russel Wallace pada 1859, kemudian dideskripsi dan diberi nama oleh Frederick Smith pada 1861. Penemuan ini memberikan harapan baru di tengah penurunan keragaman jenis dan populasi serangga secara global.

Sejak penemuan pertama, lebah raksasa ini telah ditemukan beberapa kali, yaitu pada 1863, 1951, 1953, 1981, dan 1991. Koleksi yang diperoleh itu disimpan di beberapa museum besar di dunia, berada di Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. “Kendati jenis asli dan endemik Indonesia, namun koleksi ilmiah lebah raksasa Wallace belum tersimpan di  Museum Zoologicum Bogoriense sebagai pusat depositori nasional sekaligus museum zoologi terbesar di Asia Tenggara,” kata Plt Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI, Joeni Setijo Rahajoe.

Dia bilang, dari 29.794 nomor koleksi bangsa Hymenoptera (lebah, tawon dan semut) terdapat 4.368 nomor koleksi lebah (Apidae), hanya punya beberapa koleksi lebah dari marga Megachile, yang memiliki mandibula besar, di antaranya Megachile clothoM. lachesisM. catinifrons, dan M. disjuncta. 

Dia bilang, akan jadi perhatian LIPI   agar memprioritaskan penemuan jenis-jenis langka dan endemik agar dapat jadi referensi ilmiah bagi masyarakat Indonesia dan internasional.

Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, mengungkapkan, tahun 2018, jenis ini ditemukan kembali dan dipublikasikan pada Journal of Insect Conservation. Kemudian pada Januari 2019, penemuan jenis ini kembali dilaporkan dalam Global Wildlife Conservation dari Maluku Utara.

“Lebah ini rentan perburuan dan kepunahan. Pengambilan koleksi lebah raksasa dengan tidak memperhatikan keberadaan sarang dapat mempengaruhi keberlangsungan hidup dari generasi lebah berikutnya hingga meningkatkan risiko kepunahan jenis,” kata Cahyo.

Peneliti lebah Pusat Penelitian Biologi LIPI, Sih Kahono mengatakan, lebah raksasa Wallace,  salah satu dari 456 jenis lebah di Indonesia dan hanya ditemukan di sejumlah pulau di Malut.

“Perilaku lebah Wallace sangat unik. Lebah betina menggunakan resin dari tanaman seperti Anisoptera thurifera  untuk membuat sarang di dalam sarang rayap Microcerotermes amboinensis,” katanya.

Menurut Kahono, keunikan asosiasi seperti ini masih belum banyak diketahui hingga perlu penelitian lebih lanjut.Lebah raksasa  ini masuk kategori rentan dalam daftar merah  International Union for Conservation of Nature  (IUCN). Untuk itu, perlu upaya konservasi terukur pada masa mendatang agar dapat memastikan kelangsungan hidup jenis dan habitatnya.

LIPI mendukung, upaya semua pihak termasuk peneliti, pengamat, konservasionis, dan pihak lain baik dalam maupun luar negeri bersama-sama memberikan perhatian kepada kekayaan hayati Indonesia sekaligus upaya penyelamatan.

LIPI mengimbau, semua pihak yang ingin berkontribusi dalam pengungkapan keragaman hayati, penyelamatan jenis dan habitatnya menghormati dan mematuhi hukum dan peraturan di Indonesia.

 

Lebah yang akan masuk ke sarang. Setelah pengamatan dan pengambilan gambar, lebah dilepas kembali. Foto: Simon Robson
Exit mobile version