Mongabay.co.id

Pelibatan Masyarakat Adat Penting Dalam Kelola Hutan, Kenapa?

 

Hutan merupakan sumber daya alam yang berperan penting dalam kehidupan manusia, dengan berbagai fungsinya seperti mencegah bencana hidrologi, mengurangi dampak perubahan iklim.

Sebatang pohon menghasilkan sekitar 1,2 kg oksigen per hari dan satu orang perlu 0,5 kg oksigen per hari untuk bernafas. Dengan begitu, satu batang pohon dewasa tunggal bisa menunjang kehidupan dua orang.

Pada 21 Maret 2012, PBB menetapkan hari hutan sedunia sebagai hari saling berbagi mengenai visi misi kehutanan dan kaitannya dengan perubahan iklim di seluruh dunia serta strategi yang harus dilakukan.

Selain itu penetapan hari hutan sedunia juga sebagai upaya membangun kesadaran publik tentang pentingnya hutan sebagai penyangga kehidupan.

baca :  Warga Suarakan Perlunya Penetapan Hari Hutan Indonesia

 

Kawasan hutan Egon Ilimedo di perbatasan antara kecamatan Waigete dan Mapitara, kabupaten Sikka, NTT, yang gundul akibat ilegal logging. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Masih Terkendala

Dominikus Karangora, Divisi Media dan Komunikasi WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Jumat (29/3/2019) menegaskan tujuan penetapan hari hutan sedunia masih jauh dari harapan.

Ekspansi kapitalis mengeksploitasi hutan di Indonesia masih terus terjadi. Bahkan dengan usaha deregulasi untuk menghalalkan eksploitasi.

Dominikus mengakui pemerintah melakukan revitalisasi pengelolaan hutan berupa skema Perhutanan Sosial dengan bentuk hutan adat oleh masyarakat adat berbasis kearifan lokal sehingga menjamin kelestarian hutan.

“Pengakuan hutan adat merupakan salah satu cara menangkal ekspansi kapitalis pada hutan adat. Namun pengakuan hutan adat yang selama ini diupayakan oleh masyarakat adat yang ada di NTT masih mengalami kendala yaitu soal Perda masyarakat adat dan SK pengakuan masyarakat adat sehingga sangat memungkinkan terjadinya ekploitasi hutan,” katanya.

Contohnya hutan adat Pukbabu, masyarakat Temukung (kampung adat) Polo di desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan, kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT.

Pada 2003, 2006 dan 2008, jelas Dominikus, terjadi pembabatan hutan secara besar-besaran seluas 1.050 hektar. Kasus ini pernah dilaporkan sebagai tindak pidana lingkungan namun prosesnya hukumnya hanya sebatas BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

“Tidak ada tindak lanjut untuk memberikan efek jera kepada oknum-oknum yang sedang merusak paru-parunya sendiri,” tegasnya.

Meski ada Putusan Mahkamah Konstitusi  No.35/2012 yang mengeluarkan hutan adat sebagai hutan negara dan Permen Lingkungan Hidup No.83/2016 tentang Perhutanan Sosial, hutan di NTT masih mengalami pembabatan secara besar-besaran atas nama investasi.

baca juga :  Penetapan Hutan Adat Hanya 1% dari Realisasi Perhutanan Sosial

 

Warga duduk di sebuah pohon tumbang diatas sungai Tunaohok di dekat perkampungan Leng dalam kawasan hutan Lindung Egon Ilimedo di desa Waiterang kecamatan Waigete kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Dominikus mencontohkan, investasi perkebunan monokultur yang dilakukan PT. Muria Sumba Manis (MSM) di Sumba Timur 4 tahun terakhir telah membabat kawasan hutan. Seperti terjadi desa Watuhadang, kecamatan Umalulu, kabupaten Sumba Timur.

Pemerintah terkesan membiarkan pembabatan hutan tersebut.  “Masyarakat yang menolak pengrusakan itu sebagian dianggap sebagai kelompok provokator dan sebagiannya lagi dianggap sebagai kelompok yang tidak mampu memanfaatkan sumber daya alam,” tuturnya.

 

Keberpihakan Gubernur

Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Paranggi kepada Mongabay-Indonesia, Senin (17/9/2019) mengatakan di Kabupaten TTS terjadi pembalakan liar oleh beberapa perusahaan. Pengiriman kayu Sonokeling illegal terjadi dari dalam kawasan cagar alam.

Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPUH) yang terdiri dari WALHI NTT, PIAR NTT, LAKMAS, FAN dan IRGSC kata Umbu Wulang, pun melakukan pertemuan bersama Sekda Pemprov NTT, Dinas Kehutanan NTT, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT di kantor Gubernur NTT.

“Setelah AMPUH melaporkan dalam pertemuan itu, Gubernur NTT mengeluarkan perintah pencabutan surat izin edar dan angkut kayu Sonokeling untuk beberapa perusahaan,” terangnya.

Namun, kata Umbu Wulang, penegakan hukum tidak berjalan. Sedangkan dua warga TTU yang menebang 4 pohon kayu untuk pembangunan rumahnya diajukan ke persidangan.

perlu dibaca :  Kisruh Dugaan Pembalakan Liar Kayu Sonokeling di NTT, Bagaimana Akhirnya?

 

Potongan kayu sonokeling yang ditebang di dalam kawasan hutan negara di kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT. Foto : Aliansi Masyarakat Peduli Hutan (AMPUH) NTT/Mongabay Indonesia.

 

Sementara di kabupaten Malaka, terjadi pembabatan hutan mangrove untuk industri garam oleh PT. Inti Daya Kencana. “Masyarakat mendesak agar pengrusakan mangrove untuk pengembangan tambak garam segera dihentikan. Selain merusak ekosistem mangrove, lahan pertanian, peternakan dan perikanan milik masyarakat pesisir pun dirusak,” ungkapnya.

Masyarakat yang protes melalui media sosial juga dipidanakan. WALHI NTT menduga ada perlindungan terhadap pihak perusahaan.

Pembabatan hutan mangrove untuk tambak ikan bandeng juga terjadi di desa Aerabo kabupaten Nagakeo sejak 10 tahun terakhir. Hal itu berdampak pada masyarakat yang hidup dari menangkap ikan dan udang di hutan mangrove itu.

“Cerita penghancuran hutan ini akan terus berlanjut apabila pemerintah terus melakukan pembangunan di hutan maupun kawasan hutan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan maupun daya tampung lingkungan,” tegas Umbu Wulang.

Pembukaan hutan mangrove itu dibiarkan oleh Pemprov NTT, dan bakal membuat investor terus membabat hutan demi investasi.

“Pada titik ini kita patut mempertanyakan di manakah keberpihakan Gubernur ? Sementara itu masyarakat akan terus berhadapan dengan alat berat dan senjata. Kami menunggu keberpihakan Gubernur NTT,” tegas Umbu Wulang.

baca juga :  Upaya Selamatkan Kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo Lewat Perdes

 

Kondisi Hutan Mangrove di pesisir Pantai Oesapa, Kupang, NTT. Foto : Tommy Apriando

 

Perda Masyarakat Adat

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga yang meliputi wilayah Flores dan Lembata, Philipus Kami kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (30/3/2019)  menegaskan dalam putusan MK No.35/2012  terhadap UU Kehutanan No.41 Tahun 1999, hutan terbagi menjadi 3 bagian yakni hutan negara, hutan adat dan hutan hak.

Philipus berharap program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus menjawab persoalan hutan, termasuk pada kawasan taman nasional, taman wisata alam dan hutan lindung sesuai putusan MK dan UU Kehutanan.

Pemerintah selama periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK).

Philipus meminta masyarakat harus dilibatkan dari perencanaan sampai pelaksanan program kegiatan agar berdampak pada perekonomian masyarakat., sehingga masyarakat sejahtera dan hutan tetap lestari.

Tetapi AMAN Nusa Bunga mencatat masih banyak terjadi konflik antara masyarakat adat dengan pengelola taman nasional dan dinas kehutanan.

“Masyarakat adat telah lama tinggal di dalam kawasan hutan dan selalu menjaga hutan dengan kearifan lokalnya. Masyarakat adat hampir tidak ada yang terlibat dalam kasus ilegal logging karena filosofi hutan dalam masyarakat adat sangat penting,” terangnya.

menarik dibaca :  Memilih Tinggal Menetap di Hutan Lindung, Warga Berkomitmen Tidak Rusak Hutan

 

Warga dusun Todang melintas dalam kawasan hutan produksi menuju perkampungan mereka di perbukitan Iligai, kecamatan Bola, kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Menyikapi permasalahan ini, AMAN Nusa Bunga mendorong pembuatan Perda Masyarakat Adat di berbagai kabupaten, seperti Perda No.2/2017 tentang Penyelenggaraan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Ende.

AMAN Nusa Bunga juga sedang mendampingi pembuatan draft Perda sejenis di kabupaten Sikka dan beberapa kabupaten lainnya di Flores dan Lembata.

“Kehadiran Perda ini diharapkan untuk bisa mencegah konflik antara masyarakat adat dan pemerintah termasuk soal tanah ulayat dan hutan,” jelasnya.

 

Solusi Terbaik

Di Kabupaten Sikka sendiri terdapat dua kawasan hutan, kawasan hutan lindung Egon Ilimedo seluas 19.456 hektar dan kawasan hutan produksi Iligai seluas 1.226 hektar.

Kawasan hutan lindung Egon Ilimedo ditetapkan sejak 1932, kemudian disahkan Menhut lewat SK No.423/KPTS-II/1999 tentang peta penunjukan Kawasan Hutan Propinsi NTT, meliputi lima kecamatan, yaitu Waigete, Mapitara, Doreng, Talibura dan Waiblama.

Hery Siswandi, Kepala Bidang Konservasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Kabupaten Sikka kepada Mongabay Indonesia menjelaskan telah diterbitkan 18 Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUP HKm) untuk 9.000 hektar lebih di 5 kecamatan tersebut. HKm sebagai solusi mengatasi penebangan liar dan aktivitas illegal lainnya.

“Masyarakat yang mendapat izin IUP mendapat kepastian hukum untuk mengelola lahan yang harus benar-benar dimanfaatkan. Di sisi lain, HKm harus didorong agar terdapat tujuan ekologis dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dapat dicapai,” ungkapnya.

Pemanfaatan hutan dalam HKm hanya diperbolehkan untuk hasil hutan non kayu, agro forestry dan pemanfaatan jasa lingkungan yang dapat dikelola sebagai obyek wisata.

 

Exit mobile version