Mongabay.co.id

Pro dan Kontra Pelegalan Jual Beli Benih Lobster

Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portinus Pelagicus spp.) dari Wilayah Negara Republik Indonesia, dinilai sudah tidak relevan untuk diterapkan sekarang. Penilaian itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Selasa (2/4/2019).

Menurut dia, pasal 7 dalam Permen di atas, yang mengatur larangan penjualan benih lobster untuk  budidaya, sudah tidak pantas lagi untuk diterapkan di masa sekarang. Bagi dia, segala aktivitas budidaya produk kelautan dan perikanan, tidak seharusnya dikenakan aturan pelarangan. Untuk itu, KKP harus segera melakukan revisi Permen tersebut secepatnya.

“Jadi, jangan ada pelarangan untuk pembudidayaan. Jadi pembudidayaan itu jangan dilarang lagi,” ucapnya kepada wartawan.

Luhut mengatakan, walaupun nanti Permen KP No.56/2016 sudah direvisi oleh KKP, Pemerintah Indonesia akan tetap mengontrol dan melakukan pengawasan secara ketat semua aktivitas budidaya benih lobster (BL) di seluruh Indonesia. Pengawasan tetap dilakukan, karena Pemerintah tidak mau terjadi penyelewengan untuk budidaya BL seperti aktivitas penyelundupan ke luar negeri.

“Iya, tapi diawasi. Itu kan memang Undang-Undang perintahnya begitu,” sebutnya.

Untuk pelaksanaan budidaya BL sendiri, Luhut menuturkan bahwa saat ini Pemerintah sedang menyiapkan proyek percontohan di Kabupaten Sukabumi, tepatnya di kawasan Sukabum Selatan seperti Pelabuhan Ratu dan Cisolok. Di sana, akan mulai dikerjakan proyeknya dan menjadi contoh untuk proyek serupa di masa mendatang.

baca :  Sampai Kapan Penyelundupan Benih Lobster Terus Terjadi?

 

Menko Maritim Luhut B. Pandjaitan saat kunjungan kerja ke Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (19/3/2019). Luhut menjanjikan adanya pelatihan pembudidayaan lobster kepada nelayan. Foto : maritim.go.id/Mongabay Indonesia

 

Revisi Permen KP

Direktur Perbenihan Direktorat Jenderal Perikanan Budididaya KKP Coco Kokarkin menjelaskan, permintaan dari Luhut terkait revisi Permen KP 56/2016, muncul saat rapat dengan Luhut pada Selasa. Saat itu, rapat membahas tentang pelarangan penjualan BL yang termaktub dalam pasal 7 Permen 56/2016. Pelarangan tersebut, harus dihilangkan, karena aktivitas budidaya adalah untuk menyejahterakan masyarakat.

Setelah itu, Coco mengaku langsung berkonsultasi dengan pejabat di lingkungan internal KKP dan langsung merencanakan rapat internal dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk membahas usulan perubahan Permen KP 56/2016. Dengan rapat tersebut, diharapkan ditemukan solusi yang bersifat menengahi dan menjadi jalan keluar untuk seterusnya.

“Prinsipnya, itu semua memang untuk masyarakat. Tapi kita juga tetap menjaga prinsip untuk kelestarian dan itu harus dijaga oleh kita semua,” ujarnya saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (4/4/2019).

Coco menambahkan, terbitnya kebijakan Permen 56/2016 adalah didasari kekhawatiran KKP terhadap BL yang banyak disalahgunakan dengan diperjualbelikan untuk pembeli dari negara lain. Padahal, BL yang ditangkap dari laut itu, pada awalnya ditangkap untuk kepentingan budidaya dan ternyata itu tidak terjadi sama sekali.

Namun, Coco kemudian tidak mengelak jika permintaan dari Luhut untuk mengecualikan BL di kawasan tertentu agar bisa diperjualbelikan, merupakan hal yang mungkin terjadi. Mengingat, maksud dari permintaan Luhut itu, tidak lain adalah BL yang berasal dari kawasan yang menjadi tempat sumber penangkapan BL.

“Itu memang perlu merevisi (Permen) yang ada. Revisi itu muncul atas saran dari Menko Maritim dan juga semua stakeholderyang hadir pada rapat bersama. Revisi akan fokus pada pasal 7,” ungkapnya.

Tentang banyaknya warga yang tertarik untuk menjual BL, menurut Coco, itu bisa terjadi karena proses budidaya lobster diperlukan waktu antara enam hingga delapan bulan sampai dinyatakan siap untuk dijual. Sementara, jika menjual langsung BL, tidak perlu menunggu waktu yang lama dan mendapatkan rupiah hingga jutaan.

Nah itu yang dikhawatirkan Menteri (Susi), jadinya dia bersikap dengan menerbitkan Permen,” tuturnya.

baca juga :  Fokus Liputan : Menanti Bu Menteri Meninjau Larangan Lobster Kembali (Bagian 5)

 

Benih lobster mutiara ini diperkirakan nilainya Rp130 ribu per ekor dan dijual ke Vietnam. Benih tersebut berhasil digagalkan dari penyelundupan lewat Bandara Ngurah Rai Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Susi Pudjiastuti sendiri sebelumnya pernah menyatakan bahwa penerbitan Permen KP 56/2016 memang didasari atas kekhawatiran semakin menurunnya benih lobster di alam. Hal itu terjadi, karena eksploitasi BL terus menerus dilakukan dengan cara menangkap dan menjualnya ke pedagang hingga ke negara lain seperti Singapura dan Vietnam.

Menurut Susi, jika terus dibiarkan tanpa ada intervensi Pemerintah Indonesia, bukan tidak mungkin BL akan mengalami kepunahan seperti halnya ikan sidat yang lebih dulu hilang dikarenakan benih sidat (glass eels) sudah tidak ada. Kepunahan itu bisa terjadi, karena di masa lalu Pemerintah mengizinkan ekspor benih sidat yang salah satunya diperuntukkan bagi aktivitas budidaya.

“Akhirnya terputuslah mata rantai kehidupan ikan sidat itu. Di laut dan muara tidak ada lagi, sekarang mencari pun sulit sekali,” tegasnya.

perlu dibaca : Fokus Liputan : Larangan Penangkapan Lobster, Permen Pahit bagi Nelayan Lombok (Bagian 1)

 

Petugas melepaskan benih lobster yang hendak diselundupkan di perairan Pulau Sugi, Karimun, Kepulauan Riau, Selasa (12/3/2019). Foto : KKP/Mongabay Indonesia

 

Kebijakan Salah

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, usulan untuk melegalkan aktivitas budidaya BL, merupakan kebijakan yang tidak tepat. Mengingat, hingga saat ini BL masih belum berhasil dibudidayakan di Indonesia, disebabkan karena Indonesia masih mengandalkan bibit dari alam dan bukan hasil dari pengembangan balai budidaya.

“Teknologi budidaya lobster kita masih belum berkembang,” ungkap dia kepada Mongabay, Kamis (4/4/2019).

Untuk itu, Abdi Suhufan menilai, kebijakan untuk melarang BL untuk dijual dinilai sudah tepat. Tetapi, itu harus diikuti dengan manajemen pengelolaan yang tepat melalui pendekatan konservasi BL di kawasan tertentu yang diketahui banyak ditemukan benihnya. Dengan manajemen konservasi, maka penguatan perlindungan BL bisa dilakukan lebih baik lagi.

Sementara, Peneliti DFW-Indonesia Muh Arifuddin menyatakan bahwa budidaya lobster hingga saat ini masih belum berkembang, dikarena sampai sekarang pemanfaatan teknologi reproduksi masih belum berjalan dengan baik. Selain itu, hingga saat ini Indonesia juga masih belum terbebas dari persoalan pakan dan penyakit pada komoditas budidaya yang belum juga berhasil dipecahkan.

“KKP mesti lebih proaktif melakukan promosi dan pendampingan terhadap kelompok pembudidaya agar mereka mau mengembangkan budidaya lobster,” tandasnya.

Jika ingin budidaya lobster berkembang, KKP harus melakukan perubahan fundamental terhadap program budidaya tersebut. Di antaranya, tidak boleh lagi hanya sekedar menyediakan dan membagikan bibit secara gratis kepada kelompok, namun harus memberikan pendampingan secara intensif.

Tak hanya melakukan pendampingan, KKP juga perlu segera menetapkan sentra pengembangan budidaya lobster berdasarkan lokasi yang dekat dengan ketersediaan benih alam. Dan juga harus memberikan dukungan terhadap pengembangan riset dan teknologi budidaya sehingga menjadi jelas proses budidaya dari hulu ke hiir.

“Sejauh ini Nusa Tenggara Barat, Bali dan Jawa Timur merupakan lokasi potensial pengembangan budidaya lobster di Indonesia,” papar Arifuddin.

baca juga :  Fokus Liputan : Larangan Penangkapan Lobster, Permen Pahit bagi Nelayan Lombok (Bagian 2)

 

Lobster, salah satu jenis unggulan hasil perikanan kelautan Indonesia. Foto: Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Untuk melaksanakan budidaya lobster dibutuhkan kesabaran dan ketekunan, sebab perlu 1-2 tahun untuk panen dan lobster sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan.

“Budidaya lobster juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Sehingga diperlukan konsistensi program dan kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan lobster sebagai salah satu komoditas unggulan perikanan Indonesia,” pungkasnya.

Di sisi lain, Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM KKP) Rina menyebut kalau keberadaan BL memang masih menjadi primadona di pasar gelap. Meskipun, BL dinyatakan terlarang untuk diperjualbelikan. Hal itu, mengakibatkan BL bisa dengan bebas keluar dari Indonesia dengan cara diselundupkan.

Akibat tingginya permintaan, sejumlah negara yang tidak memiliki komoditas lobster, secara terang-terangan melakukan transaksi jual beli. Salah satu negara tersebut, adalah Vietnam, yang beberapa tahun terakhir fokus mengembangkan lobster sebagai komoditas andalan untuk diperjualbelikan di pasar internasional.

Terus berlangsungnya transaksi BL ilegal ke luar negeri, Rina mengatakan bahwa itu terjadi karena negara seperti Vietnam terus mengembangkan komoditas tersebut untuk kebutuhan bisnis budidaya perikanan mereka. Agar itu terus berlangsung, maka Vietnam mencari BL dari negara seperti Indonesia yang diketahui memiliki sumber daya BL yang melimpah.

“Indonesia menjadi salah satu negara yang secara sembunyi-sembunyi sudah memasok benih lobster ke negara komunis tersebut dalam beberapa tahun,” tandasnya.

***

Keterangan foto utama : Seekor lobster yang tertangkap dalam bubu di Blongko, Sulawesi Utara. Foto : Tantyo Bangun/WWF/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version