Mongabay.co.id

Tembawang Tampun Juah, Cerita Perjuangan Warga Peroleh Pengakuan Hutan Adat

Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Jangin (65) atau sering dipanggil Boreh, bergumam mengucapkan mantra-mantra doa dalam Bahasa Dayak Sisang. Kepalanya terbebat kain batik segi empat yang warnanya sudah mulai pudar. Dia merupakan dukun perempuan utama di Dusun Segumon.

Di depan tempatnya bersimpuh, terdapat susunan bambu seperti meja. Di atas bambu itu terdapat beberapa daun kering, -sisa upacara sebelumnya. Di dekat tempatnya duduk terdapat tiang dari kayu belian, yang disebut sandung, yang diatasnya terdapat ukiran burung enggang.

Tak jauh dari lokasi itu terdapat dua patung, menyimbolkan laki-laki dan perempuan. Patung ini adalah pedagi, atau sesembahan kepada leluhur warga setempat.

Saat ia membacakan mantra, dihadapannya ada beberapa orang pendatang yang minta izin untuk bertandang ke hutan keramat milik warga adat Segumon, Hutan Adat Tembawang Tampun Juah.

Di hadapan para pendatang terdapat ayam panggang, beras ketan, botol arak, jam tangan sebagai pengganti besi, tembakau, sirih, batang bambu dan lilin. Semua merupakan persyaratan dalam ritual yang dilakukan.

“Sebutkan niat dalam hati,” titahnya kepada si pendatang.

Setelah itu, Jangin melanjutkan rapal mantera lain. Upacara ini disebut Rukut atau Bupoyo. Tujuannya meminta izin keselamatan bagi orang baru yang mau masuk ke lokasi.

Ritualnya menggunakan tata cara Dayak Sisang. Jangin lalu memanterai ketiga pendatang dengan seekor ayam yang telah disembelih. Ayam diputar-putarkan di atas kepala. Darah ayam lalu dioleskan ke kening para pendatang.

Ritual upacara itu total memakan waktu sekitar empat jam. Upacara diakhiri dengan makan bersama sekitar 30 orang yang saat itu hadir di tempat upacara itu.

 

Jangin saat membacakan mantra meminta perlindungan bagi orang yang akan masuk Hutan Adat Tembawang Tampun Juah. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Melihat dari peralatan upacara yang dilakukan oleh Boreh, yang melibatkan elemen seperti sandung dan pedagi, maka Hutan Adat Tembawang Tampun Juah merupakan lokasi keramat.

Bagi masyarakat suku Dayak, Tembawang Tampun Juah ini pun merupakan situs warisan budaya. Ada dua ketemenggungan di wilayah ini, Ketemenggungan Sisang dan Bi Somu dari Komunitas Adat Bidayuh, serta Ketemenggungan Iban Sebaruk dari Komunitas Adat Iban. Adapun lokasi ini berada di area perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.

Dulu, kawasan ini adalah pemukiman pada pendahulu mereka. Seperti halnya Tembawang di tempat lain di Kalimantan, Tampun Juah juga dipenuhi tanaman buah dan tanaman perkebunan. Pohon-pohon di dalamnya rata-rata berumur di atas 50 tahun.

Tempat ini pun dianggap sebagai tanah leluhur banyak subsuku Dayak yang tinggal dan berkerabat di Kalimantan, Malaysia hingga Brunei Darussalam. Sedikitnya bagi 50 sub suku Dayak yang berasal dari Suku Iban dan Bidayuh.  Saban tahun selalu ada kegiatan adat besar yang didatangi oleh ribuan warga Dayak dari berbagai  tempat.

Tampun Juah juga sebuah legenda. Diambil dari nama Juah, seorang pemuda di kawasan tersebut pada beberapa abad silam. Juah jatuh cinta dengan sepupu dekatnya; Lemay. Dalam adat setempat, menikah dengan sepupu dekat yang masih dalam garis keturunan bisa mendapatkan sanksi.

Namun keduanya tidak gentar. Hingga hubungan mereka menjadi pergunjingan warga, dan tetua adat setempat di desak untuk memberikan tindakan.

Keputusan adat adalah hukuman mati bagi keduanya. Hukuman mati itu dikenal dengan sebutan Tampun. Maka, di sebuah kawasan kedua pasangan kekasih ini meregang nyawa dengan cara ditombak.

Tempat hukuman mati itulah kemudian menjadi asal usul penamaan Tampun Juah. Tidak ada yang tahu lokasi persisnya. Namun, sepanjang alur Sungai Sekayam diyakini sebagai pemukiman warga lelulur suku Dayak tersebut.

 

Patung pedagi, berwujud laki-laki dan perempuan yang melambangkan leluhur masyarakat adat warga Segumon. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Tembawang sendiri merupakan penyebutan umum yang biasa digunakan masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Istilah ini merujuk pada sebidang lahan beserta tumbuhan di atasnya yang dimiliki oleh suatu komunitas adat.

Meski ada perbedaan penyebutan di beberapa kelompok, seperti kobunt, kampunk temawank, atau kebun kelokak, namun, namun semuanya tetap mengacu artinya pada sebidang lahan yang tanamannya dapat dimanfaatkan secara ekonomi, ekologi, serta adat budaya bagi sekelompok masyarakat.

Lokasi tembawang tidak serta-merta dekat permukiman masyarakat. Dalam buku “Palasar Palaya’ Pasaroh” Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan yang diterbitkan oleh Pancur Kasih (2013), tembawang didefinisikan sebagai lokasi bekas permukiman warga baik perorangan maupun kelompok.

“Tembawang ini tempat leluhur kami mencari penghidupan. Pada alam, leluhur kami bergantung,” kata Petrus Kenedi (40), tokoh dari Dusun Segumon. Secara administraf Dusun Segumon berada di Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.

Dia berkisah, meski dikelola dan dikeramatkan, secara hukum negara pengukuhan hutan adat tak didapat serta merta. Termasuk dari warga masyarakatnya sendiri.

Masyarakat setempat harus melalui pergulatan pemikiran yang mendalam, terlebih dengan masuknya korporasi. “Banyak warga yang tergiur untuk melepaskan menjual lahannya kepada perusahaan. Sebagian mereka tanami (sawit) sendiri. Sebagian dari mereka jadi pekerja di perusahaan,” ujarnya.

Hingga akhirnya, warga merasakan banyak hal yang hilang setelah lahan mereka lepas ke perusahaan. Sungai-sungai keruh dan dangkal, debit air dari bukit-bukit mengecil. Berburu pun sulit, babi atau rusa sudah susah di dapat.

Pada tahun 2011, mereka akhirnya bertekat untuk menyelamatkan tanah keramat warisan leluhur tersebut. “Kami minta pendampingan dari LSM, Institut Dayakologi dan Pemberdayaan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Pancur Kasih.”

Untuk mendapatkan wilayah kelola adat, mereka perlu mendapatkan pengukuhan sebagai desa adat. Dinamika menuju pengakuan desa adat pun beragam.

 

Membersihkan diri, sebagai bagian dari  upacara saat memasuki Hutan Adat Tembawang Tampun Juah. Foto; Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Beberapa warga masih ada yang belum paham pentingnya pengukuhan sebagai desa adat. Penetapan desa adat ini untuk pijakan awal pengukuhan wilayah kelola adat. Wilayah kelola ini berupa hutan yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat adat.

Namun warga akhirnya satu suara. Kegiatan dimulai dengan pemetaan partisipatif. Tua dan muda ikut serta dalam pemetaan. Tetua menunjukkan batas-batas wilayah, pendamping desa mencatat titik koordinat, yang lain ikut mengiringi tim menyusuri hutan.

Peta tersebut kemudian diajukan ke pemerintah daerah setempat. Target pemetaan tiga hari, bisa diselesaikan dalam waktu sehari saja di tahun 2016 lalu. “Kenangan yang sangat berkesan,” ujar Petrus.

Pada tanggal 7 September 2018 akhirnya Hutan Adat Tembawang Tampuh Juah, milik Masyarakat Hukum Adat Ketemenggungan Sisang Kampung Segumon mendapat penetapan dari pemerintah. Area seluas 651 hektar ini, ditetapkan lewat surat keputusan Menteri LHK bernomor SK 5771/MENLHK-PSKL/PKTHA-PSL-1/9/.

Peresmian penetapan Hutan Adat Tembawang Tampuh Juah dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 20 September 2018 di Jakarta, bersamaan dengan 15 perwakilan lain masyarakat adat dari seluruh Indonesia.

Dalam sambutannya, Jokowi menyebut “Pengakuan hutan adat, pengakuan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, berarti adalah pengakuan nilai-nilai asli Indonesia, pengakuan jati diri asli bangsa Indonesia,”

Dari 16 pengakuan hutan adat yang diberikan itu, selain Hutan Adat Tembawang Tampuh Juah, dua lainnya juga berada di Kalimantan Barat yaitu Hutan Adat Pikul Dusun Melayang di Kabupaten Bengkayang, dan Hutan Adat Tae di Kabupaten Sanggau.

“Keterlibatan Pemerintah Daerah sangat membantu. Salah satunya dengan Perda Nomor 1/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” ungkap Paskalis Bendi (26), pendamping desa dari Institut Dayakologi menjelaskan.

Menurutnya, aturan itu menjadi pintu masuk bagi terbitnya SK Mentri LHK tentang pengakuan Hutan Adat Tembawang Tampun Juah di tahun 2018. Setelah hampir 7 tahun masyarakat adat melakukan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap hutan adat mereka.

Bagi Petrus dan komunitas Segumon, pengakuan keberadaan Hutan Adat Tembawang Tampun Juah menjadi teramat penting. Tak sekedar pengakuan kawasan, hal ini juga berarti mendapat pengakuan terhadap keberadaan komunitas masyarakat adat. Mereka pun dapat menjaga tradisi budaya yang telah ada selama berabad-abad.

Foto utama: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Video: Hutan Adat Tembawang Tampun Jauh

 

 

Exit mobile version